Wilayah Adat Masih Ditekan oleh Investasi Berbasis Lahan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Selasa, 26 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kampung dalam konteks masyarakat hukum adat, bukan hanya sekadar sebuah wilayah geografis, tetapi juga melambangkan ruang masyarakat adat yang memiliki sejarah asal usul, menjalani kehidupan sosial yang terus dinamis serta interaksi dengan alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat. Tetapi pada masa transisi pemerintahan di Indonesia saat ini, kondisi kampung-kampung masyarakat adat terus mengalami tekanan investasi berbasis lahan.

Menurut Catatan Akhir Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2023, perampasan wilayah adat di Indonesia mencapai 2,5 juta hektare, yang disertai dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Sementara perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat belum ada peningkatan yang signifikan.

Tak hanya itu, pengakuan pemerintah terhadap wilayah adat juga rendah. Menurut Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo, luas total wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah baru mencapai 240 wilayah adat dengan luas mencapai 3,9 juta hektare.

Luasan tersebut hanya 13,8 persen dari total wilayah adat yang teregistrasi di BRWA. Padahal hingga Maret 2024, luas wilayah adat yang telah diregistrasi BRWA mencapai luas 28,2 juta hektare, terdiri dari 1.425 wilayah.

Papan penanda wilayah adat yang dipasang Komunitas Masyarakat Hukum Adat Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Pamonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Wilayah adat Tornauli ini berkonflik dengan areal izin PT TPL./Foto: AMAN Tano Batak

"Rendahnya capaian pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah karena belum adanya program dan dana memadai yang disediakan oleh pemerintah," katanya, dalam sebuah rilis, Selasa (19/3/2024).

Di sisi lain, Kasmita melanjutkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 terkait pengakuan hutan adat. Sampai saat ini, KLHK baru menetapkan 244.195 hektare hutan adat di 131 wilayah adat. Padahal potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistrasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektare.

"Kerumitan yang dialami masyarakat adat dalam menghadapi kondisi politik kebijakan daerah dan birokasi pengakuan wilayah adat, hak-hak atas tanah, hutan serta wilayah pesisir laut perlu segera dihentikan. Ia berpendapat, pemerintah pusat dan daerah perlu segera melakukan terobosan dan kemudahan bagi masyarakat adat melakukan pengakuan hak-hak masyarakat adat," kata Kasmita.

Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia 2024. Sumber: BRWA.

Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia 2024. Sumber: BRWA.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, belum adanya Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UUMA), telah menyebabkan urusan pengakuan masyarakat adat dijalankan mengikuti peraturan perundangan sektoral. Akibatnya tidak ada kelembagaan dan program di tingkat nasional yang dapat menggerakkan seluruh proses perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

"Oleh karena itu, AMAN menggugat Presiden dan DPR RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena 15 tahun tak kunjung sahkan RUU Masyarakat Adat,” kata Rukka.

Rukka menuturkan, ancaman terhadap masyarakat adat dan wilayah adat berpotensi masih terus berlangsung di masa transisi pemerintahan maupun pada masa pemerintahan mendatang. Menurutnya, ketiadaan UU Masyarakat Adat, masifnya investasi, dan implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah menjadi kombinasi yang sempurna terhadap perampasan wilayah adat serta penyingkiran masyarakat adat atas ruang hidupnya.

“Momentum Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara yahun ini pada 17 Maret hendaknya dijadikan pemerintah dan DPR untuk sungguh-sungguh menjalankan amanat konstitusi UUD 45 dalam melindungi dan mengakui masyarakat adat dan wilayah adatnya. Segera membahas dan mengesahkan UU Masyarakat Adat,” ucap Rukka.