Gajah Aceh Mati Beruntun, UU Konservasi Mendesak Dievaluasi

Penulis : Gilang Helindro

Satwa

Selasa, 26 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Seekor gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) kembali ditemukan mati di Aceh Utara, Minggu 24 Maret 2024. Gajah tersebut ditemukan dengan kondisi tanpa gading di area perkebunan warga, di KM 35 Dusun Jabal Antara, Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara. 

Ujang Wisnu Barata, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, membenarkan kabar tersebut. “Saat ini teman-teman Tim dan dokter di lapangan masih mengidentifikasi,” kata Ujang, Senin, 25 Maret 2024.

Ujang mengatakan, gajah tersebut diduga mati karena tembakan. Namun pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan tim dokter hewan. “Kita masih menunggu tim dokter untuk melakukan nekropsi,” ungkap Ujang.

Kasus kematian gajah di Aceh dengan berbagai modus atau penyebab, baik ditembak, racun hingga sengatan aliran listrik, terus berulang. Afifuddin Acal, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, menilai ada yang tidak beres atas terjadinya kematian berulang gajah Sumatra di Aceh. 

gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus) kembali ditemukan mati di Aceh Utara, Minggu, 24 Maret 2024. Foto: ANTARA/Rahmat.

“Saya melihat dengan kejadian berulang ini, BKSDA dan aparat penegak hukum terkesan abai. Jangan hanya seperti pemadam kebakaran,” ungkap Afif.

Beberapa waktu terakhir konflik gajah di Aceh kian masif. Menurut Afif, salah satu penyebab lain adalah perebutan ruang antara aktivitas budidaya warga dan ruang jelajah gajah membuat satwa lindung itu kian terancam. Kemudian, kondisi diperburuk saat lahan-lahan pertanian di kawasan hutan dipagari dengan kabel listrik arus tegangan tinggi. Belum lagi perkebunan sawit, memutuskan koridor satwa. 

“Saat jalan gajah dirusak dan hilang, pasti mereka mencari jalan lain sehingga terjebak dalam ruang lain,” ungkap Afif.

Roni Saputra, Direktur Direktorat Penegakan Hukum Auriga Nusantara mengatakan, harapan bahwa hukuman pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi akan memberikan efek jera dan mengurangi angka kejahatan terhadap satwa dilindungi, merupakan sikap sangat keliru. 

Melihat fakta saat ini, kata Roni, banyak pelaku kejahatan yang mengulang kejahatannya terhadap satwa (residivis). “Lalu, hukuman yang dijatuhkan berkisar antara satu bulan hingga maksimal 5 tahun, tanpa ada kewajiban untuk mengganti rugi. Ini yang membuat kejahatan terus berulang,” kata Roni.

Roni menyebut, alasan bahwa pidana bertujuan untuk menghukum sifat jahat, tidak dipungkiri, tapi sifat jahat yang menimbulkan kerugian juga tidak bisa dihindari. 

“Kenapa satwa liar itu dilindungi? Pasti ada alasan hukum di baliknya. Kenapa jika dirampas di alam bisa dipidana? Karena ada alasan hukum di belakangnya,” ungkap Roni.

Untuk itu kata Roni, jika negara benar-benar serius ingin melindungi keberadaan satwa liar, tidak cukup hanya menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, tetapi juga perlu menjatuhkan sanksi berupa ganti kerugian dan perintah melakukan pemulihan.

Menurut Roni, UU KSDAE 5/90 belum mampu menjawab persoalan kejahatan terhadap satwa liar yang terjadi. Apalagi kejahatan ini terjadi lintas batas, dan melibatkan jaringan yang cukup kuat. “Serta ada korporasi yang terlibat, persoalan ini tidak terjangkau oleh UU nomor 5 tahun 1990 yang jauh ketinggalan,” ungkap Roni.

Roni melihat pengesahan Revisi UU KSDAE perlu, tapi pengaturan dalam RUU tersebut juga perlu dievaluasi, tidak hanya soal kejahatan terhadap satwa, bentuk perlindungan terhadap satwa dan kawasan konservasi juga masih diperdebatkan.

Ada beberapa analisis terkait kasus kematian satwa: 

  1. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak terbuka atas kasus-kasus yang terjadi, baik kematian karena sakit atau kematian karena perburuan, hal ini bisa kita lihat dalam Laporan Badak Auriga Nusantara. 
  2. Pemerintah cenderung untuk mendiamkan kasus-kasus kecuali telah tercium oleh media dan diangkat massif dalam pemberitaan. 
  3. Masyarakat belum memandang satwa liar dilindungi sebagai subjek yang memiliki peran penting dalam kehidupan dan mata rantai.