Raksasa Migas Dunia Omon-omon Soal Pengurangan Emisi 

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Minggu, 31 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Dalam beberapa tahun terakhir, hampir semua perusahaan minyak terbesar di dunia telah membuat janji perubahan iklim yang luar biasa. Namun dalam hal pengurangan emisi, perusahaan-perusahaan tersebut sudah “keluar jalur”, menurut temuan sebuah laporan baru.

Analisis dari lembaga pemikir Carbon Tracker menilai rencana produksi dan transisi 25 perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia. Laporan menemukan, tidak ada satupun yang sejalan dengan tujuan utama perjanjian iklim Paris tahun 2015 untuk menjaga pemanasan global “di bawah” 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

“Perusahaan di seluruh dunia secara terbuka menyatakan bahwa mereka mendukung tujuan Perjanjian Paris, dan mengklaim menjadi bagian dari solusi dalam mempercepat transisi energi,” kata Maeve O'Connor, analis di Carbon Tracker dan salah satu penulis laporan yang terbit pekan Jumat, 22 Maret 2024. “Namun sayangnya, kami melihat saat ini tidak ada satupun yang sejalan dengan tujuan perjanjian Paris.”

Dalam riset tersebut, para penulis mengkaji rencana eksplorasi dan produksi perusahaan, investasi, target pengurangan emisi karbon, dan kebijakan bonus eksekutif, lalu menempatkan hasilnya pada kartu skor penyelarasan Paris.

Fasilitas perusahaan minyak dan gas milik ExxonMobil. Dok Shutterstock

Mereka memberi setiap perusahaan nilai huruf dari A sampai H, dimana nilai A “berpotensi selaras” dengan tujuan perjanjian Paris dan H adalah “yang paling jauh dari keselarasan”, dengan aktivitas dan strategi yang konsisten dengan pemanasan dahsyat sebesar 2,4C di atas suhu pra-tingkat industri.

Berdasarkan metrik yang ditetapkan, setiap perusahaan menerima nilai gagal. Namun, ada “perbedaan yang jelas antar perusahaan”, kata O’Connor.

Perusahaan dengan peringkat tertinggi, British Petroleum (BP), mendapat nilai D. Saudi Aramco, Petrobras Brazil, dan ExxonMobil menerima nilai G, dan di posisi terbawah adalah ConocoPhillips, satu-satunya perusahaan yang menerima nilai H.

Sejumlah perusahaan raksasa ini juga beroperasi di Indonesia, seperti BP dan ExxonMobil melalui anak perusahaannya, ExxonMobil Cepu Ltd. yang menjadi perusahaan minyak dengan kapasitas produksi terbesar pada 2021. 

Sementara itu Saudi Aramco, memiliki kontrak kerjasama dengan Pertamina dalam pengembangan kilang minyak di Cilacap, Jawa Tengah. Anak perusahaan ConocoPhillips, yakni ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd, juga sempat menggarap lahan minyak dan gas di Sumatera Selatan sebelum menjual sahamnya ke PT Medco Energi Internasional Tbk. 

Setiap perusahaan yang dinilai selain perusahaan gas Chesapeake Energy memiliki rencana untuk memperluas produksi bahan bakar fosil dalam waktu dekat, demikian temuan analisis tersebut.

Menurut laporan tersebut, BP satu-satunya perusahaan yang bertujuan untuk mengurangi produksi bahan bakar fosil pada 2030. Sementara itu, hanya tiga perusahaan – Repsol dari Spanyol, Equinor dari Norwegia, dan Shell yang berbasis di Inggris – memiliki rencana untuk mempertahankan tingkat produksi tetap. Di sisi lain, ConocoPhillips bertujuan untuk meningkatkan produksi sebesar 47% pada akhir dekade ini, dibandingkan dengan produksinya pada 2022. 

Analisis ini muncul ketika perusahaan-perusahaan minyak dan gas secara terbuka mengingkari komitmen iklim mereka. Shell pada pekan lalu menyederhanakan target emisi sebelumnya, menyusul BP, yang membuat pengumuman serupa tahun lalu. Pada bulan Oktober, ExxonMobil juga membuat kesepakatan untuk membeli grup minyak serpih Pioneer Natural Resources, sementara Chevron mengumumkan rencana untuk mengakuisisi perusahaan minyak Texas Hess – yang menandai dua kesepakatan minyak dan gas terbesar di negara itu dalam beberapa dekade.

Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa rencana iklim yang dibuat oleh perusahaan minyak besar tidak cukup untuk mencapai tujuan iklim global, termasuk analisis tahun 2023 dari kelompok penelitian dan advokasi Oil Change International. 

Kedua laporan tersebut, kata David Tong, manajer kampanye industri global di Oil Change International, memberikan bukti bahwa “pemerintah harus turun tangan untuk mengelola penghentian industri minyak dan gas”.

“Tidak seorang pun akan percaya pada pelaku pembakaran yang berjanji akan mengurangi jumlah kebakaran, dan tidak seorang pun boleh mempercayai janji dan rencana iklim perusahaan minyak dan gas yang besar,” kata Tong.

Carbon Tracker mengatakan laporan barunya dapat membantu meminta pertanggungjawaban para eksekutif di raksasa minyak dunia. 

“Kartu skor baru ini memungkinkan investor untuk menilai tindakan perusahaan dibandingkan dengan perusahaan sejenis, dan untuk mengajukan pertanyaan sulit kepada kepemimpinan perusahaan mengenai realitas transisi energi dan mengatasi perubahan iklim,” kata Mike Coffin, kepala penelitian minyak, gas, dan pertambangan di Carbon Tracker.