Pascaputusan MK, 245k Ha Pulau Kecil Kadung Dikaveling Tambang

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Kamis, 28 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan uji materi aturan pertambangan di wilayah pesisir. Namun lahan seluas 245 ribu hektare di 242 pulau kecil telah dikuasai konsesi perusahaan. 

Keputusan MK ini dibacakan pada persidangan di hari Kamis (21/3/2024). Sembilan hakim konstitusi menolak uji materi Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 35 huruf K UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). 

"Menolak permohonan Pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.

Masalahnya, hingga kini sudah banyak pulau pesisir yang ditindih oleh konsesi. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat wilayah seluas 876 ribu ha di pulau-pulau kecil di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan, dan 245 ribu ha-nya telah dikaveling untuk pertambangan. Konsesi pertambangan ini menempati 242 pulau.

Dari ketinggian tampak kondisi Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel. Foto: Jatam Nasional.

Wilayah seluas 876 ribu ha di pulau-pulau kecil telah dikuasai perusahaan dan 245 ribu ha-nya telah dikaveling untuk pertambangan.

Tambang menjadi salah satu sektor yang paling mengancam eksistensi pulau-pulau kecil di Indonesia.

Indonesia memiliki lebih dari 19.108 pulau dan lebih dari 99 persennya merupakan pulau kecil. Luas pulau-pulau kecil di Indonesia mencapai 7 juta Ha atau setara 105 kali luas DKI Jakarta.

Infografis Tambang di Pulau Kecil. Sumber Data: FWI

Manager Kampanye Advokasi Media FWI, Anggi Putra Prayoga menyebutkan luas hutan alam di pulau-pulau kecil mencapai 3,49 juta ha atau setara 50 persen dari luas daratan pulau kecil di Indonesia. Hutan alam ini memiliki fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi yang sangat penting. Hilangnya hutan alam akibat konversi masif dapat mengancam eksistensi pulau-pulau kecil yang rentan terhadap perubahan lingkungan.

Ia mengingatkan judicial review ini diajukan oleh perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Perusahaan itu memiliki konsesi seluas 1.800 Ha di atas Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan yang luasnya 70,6 ribu Ha. Pulau Wawonii termasuk pulau kecil menurut undang-undang, sehingga PT GKP menggugatnya.

Operasi perusahaan ini penuh masalah karena diduga menyerobot lahan warga dan diwarnai dengan kriminalisasi warga. 

Menurut Anggi, putusan MK merupakan langkah maju dalam upaya melindungi hutan alam. Data FWI menunjukkan bahwa deforestasi hutan alam akibat tambang saja di pulau pulau kecil  Indonesia memiliki nilai yang cukup signifikan, yakni sekitar 13,1 ribu hektare (2017-2021). 

Setidaknya MK, dengan putusannya, telah berupaya menyelamatkan hutan alam tersisa yang luasnya mencapai 51,95 ribu ha dari aktivitas tambang di pulau-pulau kecil di Kabupaten Konawe Kepulauan.

“Menutup ruang bagi pertambangan di pulau kecil merupakan pendekatan pengelolaan yang tepat, karena pengelolaan pulau kecil tidak sama dengan pulau besar, setiap pulau kecil memiliki karakter dan keunikannya, dan banyaknya campur tangan hanya menyebabkan tumpang tindih kepentingan,” kata dia. 

UU No.27/2007 Tentang  PWP3K dengan jelas menerangkan bahwa pulau kecil merupakan pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi atau 200.000 ha. Undang-undang ini melindungi dan melestarikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan cara pembatasan aktivitas pemanfaatan. Terutama aktivitas ekstraktif seperti pertambangan.

Pulau kecil merupakan pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi atau 200.000 ha.

Akademisi Universitas Pattimura, Agustinus Kastanya, yang turut dalam Forum Akademisi Timur Melawan Tambang di Pulau Kecil menyebutkan putusan MK merupakan momentum untuk menghentikan aktivitas pertambangan di pulau kecil yang memiliki daya rusak yang luar biasa di wilayah Timur Indonesia. 

Saat ini di Provinsi Maluku dan Maluku Utara saja terdapat 32 jumlah izin usaha pertambangan (nikel, tembaga, bijih besi, emas, mangan, dan lainnya) yang mengkaveling 24 pulau kecil dengan total luas 118 ribu ha. 

Pasca putusan MK, ujarnya, upaya monitoring, evaluasi, dan audit usaha pertambangan di pulau kecil agar menjadi pertimbangan pencabutan izin. Selain itu harus dipastikan tidak izin baru pertambangan di pulau kecil khususnya di wilayah Timur, yang notabene sebagai ruang hidup masyarakat adat.

“Tambang mengakibatkan kerusakan lingkungan secara masif, yang menyebabkan pencemaran di sungai, pesisir, dan lautan, sehingga berdampak pada hilangnya mata pencaharian dan kemiskinan masyarakat. Termasuk hilangnya kehidupan biodiversitas,” kata Agus.

Akademisi Universitas Halu Oleo, Laode M Aslan, menegaskan banyak pulau kecil yang telah rusak bahkan hilang akibat tambang. Aktivitas pertambangan mengakibatkan pencemaran lingkungan, dan alih fungsi lahan-lahan produktif masyarakat lokal dan adat pada sektor perikanan dan pertanian ke non produktif. 

“Di Sulawesi Tenggara, ratusan ha tambak rusak dan tidak dapat digunakan lagi karena tercemar, nelayan pun terdampak sulit menangkap ikan. Evaluasi harus dilakukan  termasuk audit usaha pertambangandi pulau kecil secara komprehensif,” ucap dia.

Akademisi Universitas Mataram, Andi Chairil Ichsan, menjelaskan putusan MK memperkuat instrumen pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, baik pada sistem perundang-undangan di tingkat pusat maupun daerah. Sehingga dapat memastikan pulau-pulau kecil tumbuh dan berkembang berdasarkan karakteristik wilayahnya. 

Upaya ini, kata dia, menutup peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kejahatan lingkungan di wilayah kepulauan.