Walhi Berikan Petisi Setop Pendanaan PLTP Muara Laboh Tahap 2

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Kamis, 04 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberikan petisi kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export Investment Insurance (NEXI) agar menghentikan pembiayaan PLTP Muara Laboh Tahap 2. Proyek energi itu selain merusak lingkungan juga dilaksanakan secara paksa. 

JBIC dan NEXI berencana membiayai proyek PLTP Muara Laboh Tahap 2 yang dikelola oleh PT Supreme Energy Muara Laboh (PT. SEML). Laman JBIC dan NEXI menyampaikan mereka tengah mempertimbangkan pemberian dukungan terhadap proyek PLTP Unit 2 ini. Sebelumnya, JBIC dan NEXI telah memberikan dukungan finansial untuk Proyek PLTP Muara Laboh Tahap 1 sejak tahun 2017.

Namun Walhi mengingatkan, proyek itu dapat mengakibatkan perluasan dampak negatif terhadap lingkungan dan komunitas serta melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia. Kepala Divisi Kampanye WALHI, Fanny Tri Jambore, menyebutkan PLTP Muara Laboh Tahap 1 sendiri melanggar Pedoman Lingkungan Hidup dan Sosial milik dan lembaga pendanaan investasi itu. 

“Keduanya telah gagal memastikan bahwa proyek PLTP Muara Laboh/PT SEML mematuhi Pedoman tersebut. Sehingga tidak ada alasan pembenar bagi JBIC/NEXI untuk melanjutkan dukungan mereka pada pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2,” ucap Rere, nama sapaan Fanny Tri Jambore, pada Rabu (3/4/2024). 

Aksi petisi kepada Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export Investment Insurance (NEXI) agar menghentikan pembiayaan PLTP Muara Laboh Tahap 2. Foto: Walhi

Dalam petisinya, Walhi menyampaikan empat alasan utama penolakan ini. Pertama, PLTP Muara Laboh Tahap 1 dan 2 gagal mempertimbangkan proses pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa dan diskriminatif  yang terjadi pada proyek ini sebelumnya. Kedua, pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat memperparah dampak gagal panen yang dialami masyarakat di WKP Liki Pinangawan Muara Laboh akibat pencemaran dan berkurangnya pasokan air. 

Ketiga, pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat memperparah ancaman gangguan kesehatan dan keselamatan masyarakat akibat konsentrasi gas di  WKP Liki Pinangawan Muara Laboh. Dan keempat, pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 dapat memperparah dampak banjir di WKP Liki Pinangawan Muara Laboh akibat perubahan bentang alam

Penelitian Walhi menunjukkan proses pembebasan lahan untuk proyek PLTP Muara Laboh Unit 1 telah mengabaikan hak warga. Intimidasi pun juga dialami oleh petani untuk melepas lahan-lahan mereka, terutama bagi petani yang sebelumnya mengelola lahan eks HGU PT Peconina Baru. 

Akibatnya mereka kehilangan pendapatan utama yang sebelumnya dipenuhi dari mengelola sawah dan kebun mereka. Masyarakat yang terpaksa pindah meninggalkan lahan tersebut, harus beralih mata pencaharian menjadi pedagang, kuli atau buruh tani, bahkan terpaksa terlibat dalam kegiatan pertambangan maupun logging.

PLTP Muara Laboh Tahap 1 juga telah menimbulkan dampak yang parah terhadap petani yang menggantungkan pertaniannya pada aliran sungai Bangko Janiah, Bangko Karuah, dan Liki.  Pada tahun 2021, 2 tahun pasca PT SEML resmi berproduksi, sebagian besar petani di sekitar perusahaan itu mengalami gagal panen padi karena air irigasi membawa material berat berwarna hitam, yang menyebabkan tanah sangat keras, sehingga selama setahun lamanya lahan pertanian tersebut tidak bisa diusahakan. Hal ini dialami petani di daerah Jorong Kampung Baru Pekonina, Jorong Taratak Tinggi Pekonina, dan Jorong Sapan Sari Pekonina

PLTP Muara Laboh Tahap 1 juga beresiko tinggi untuk meracuni lingkungan dan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Aktivitas pertanian dan pemukiman masyarakat, utamanya di Jorong Taratak Tinggi Pekonina dan Jorong Kampung Baru Pekonina di sekitar PLTP Muara Laboh yang hanya berjarak 250-500 meter saja dari aktivitas penambangan panas bumi dan pembangkit listrik.

“Walhi juga mencatat meski perhitungan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dari AMDAL PLTP Muara Laboh menunjukkan bahwa wilayah proyek tersebut merupakan daerah yang memiliki TBE sedang hingga sangat tinggi, namun pada wilayah tersebut justru terus melakukan pembukaan lahan dan perubahan bentang lahan untuk tapak pembangunan proyek,” kata Rere. 

Akibatnya, dampak-dampak penurunan daya dukung lingkungan tersebut langsung dirasakan masyarakat di sekitar tapak PLTP Muara Laboh. Masyarakat pun lebih rentan terhadap kegagalan panen karena banjir dan kekeringan, ataupun kerusakan rumah, lahan, dan fasum akibat banjir dan banjir bandang.

Bagi Walhi, upaya mencapai transisi yang cepat, adil, dan merata dari bahan bakar fosil ke sistem energi terbarukan, tidak boleh dilakukan dalam bentuk solusi palsu. Peran JBIC dan NEXI mendukung proyek-proyek besar dari korporasi besar yang justru menyebabkan kerusakan lingkungan, merugikan masyarakat lokal dan melanggar hak-hak masyarakat, sebagaimana yang telah terjadi di PLTP Muara Laboh ini. 

“Ditambah dengan pendanaan yang berasal dari dana utang yang akan menambah beban masyarakat yang saat ini telah mengalami berbagai krisis, termasuk krisis iklim, bukanlah bagian dari transisi energi yang diharapkan,” ucap dia.