Kasus Kematian Akibat Konflik Buaya - Manusia di NTT Tinggi
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Jumat, 12 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konflik antara buaya dan manusia di Nusa Tenggara Timur menyebabkan lima kematian pada 2023. Kerusakan lingkungan dan berkurangnya habitat satwa tersebut disebut sebagai salah satu penyebab utama.
Plt. Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT Joko Waluyo mengatakan, tahun lalu terdapat 15 warga yang menjadi korban serangan buaya. Lima diantaranya meninggal dimangsa satwa tersebut. Menurutnya, angka tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
Sebaran konflik paling banyak ditemukan di Pulau Timor dengan tujuh kejadian dan Pulau Sumba dengan enam kejadian. Sedangkan Flores dan Lembata masing-masing satu kejadian. Sementara itu tahun 2024 terdapat dua kejadian konflik dengan satu korban manusia meninggal dunia.
“Hingga April 2024 terdapat dua kejadian konflik yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia,” kata Joko, dikutip katantt.com, Selasa, 9 April 2024.
Joko mengatakan kemunculan buaya di area manusia kemungkinan dipicu oleh berkurangnya habitat satwa tersebut. “Karena buaya yang mencari habitat baru akibat habitat aslinya yang rusak,” ujarnya. Selain itu, persaingan teritorial juga mendorong individu tertentu tersebut berpindah dan mencari wilayah baru.
Berdasarkan catatan BBKSDA NTT, kasus interaksi negatif antara buaya dan manusia terjadi di perairan Mulut Seribu, Desa Daiama, Landu Leko, Rote Ndao. Buaya berjenis kelamin jantan dengan panjang 3,97 meter tersebut meresahkan warga karena kerap memangsa hewan ternak serta merusak area budidaya rumput laut dan lobster. Satwa tersebut juga membuat khawatir nelayan yang melaut di perairan tersebut.
Setelah menerima laporan dari masyarakat, BBKSDA NTT melakukan verifikasi lapangan dan observasi. Petugas kemudian memasang jerat dan pada Senin dini hari, 8 April 2024, buaya berhasil ditangkap.
Joko mengatakan perbaikan habitat berupa hutan mangrove yang rusak diperlukan. Untuk mencegah konflik dengan manusia, pemerintah daerah juga harus menghimbau masyarakat untuk membatasi aktivitas masyarakat pada kawasan yang diperuntukkan sebagai habitat satwa. Di sisi lain, masyarakat yang mengalami pertemuan dengan satwa tersebut dianjurkan tidak mengambil tindakan sendiri. Melainkan melaporkan interaksi negatif kepada BBKSDA NTT.