Peningkatan Kapasitas Batu Bara Bahayakan Transisi Energi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Rabu, 17 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Indonesia terus menambah kapasitas batu bara baru dan terkesan menjauhi energi baru dan terbarukan, ketika pertarungan berat terjadi untuk membuka pintu Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP) senilai US$20 miliar dengan sederet kreditur dari negara Barat, demikian menurut survei tahunan Global Energy Monitor atas pembangkit listrik batu bara dunia. Hal tersebut dianggap membahayakan rencana transisi energi di Indonesia.
Pada 2023, Indonesia menempati peringkat keempat di dunia untuk kapasitas batu bara baru yang diusulkan, dan kapasitas pembangkit batu bara bisa terus meningkat sebesar 13,8 GW hingga akhir dekade, sebagian besar sebagai sumber listrik captive untuk industri pengolahan logam.
Lebih dari seperempat pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi di Indonesia adalah captive, dan kapasitas pembangkit batu bara captive yang beroperasi di negara ini saat ini sepuluh kali lebih banyak dibandingkan pada 2013.
Pada saat yang sama, Indonesia tampaknya menurunkan target atas ambisi energi terbarukannya. Awal tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut akan menarik mundur target energi terbarukan dari 23 persen pada 2025 yang ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional menjadi berkisar antara 17 dan 19 persen. Langkah ini muncul meskipun Indonesia memiliki kapasitas solar dan angin berskala utilitas paling prospektif ketiga di Asia Tenggara, yakni sebesar 19 GW.
Data pada Global Coal Plant Tracker menunjukkan, 69,5 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara mulai beroperasi di seluruh dunia sementara 21,1 GW ditutup pada 2023. Itu menghasilkan peningkatan tahunan bersih sebesar 48,4 GW untuk tahun tersebut dan kapasitas total global sebesar 2.130 GW. Ini adalah peningkatan bersih tertinggi dalam kapasitas batu bara yang aktif beroperasi sejak 2016.
Lonjakan pembangkit batu bara baru yang mulai beroperasi di Tiongkok mendorong peningkatan 47,4 GW, atau sekitar dua pertiga dari penambahan global--berdampingan dengan kapasitas baru di Indonesia, India, Vietnam, Jepang, Bangladesh, Pakistan, Korea Selatan, Yunani, dan Zimbabwe. Secara total, 22,1 GW mulai beroperasi dan 17,4 GW ditutup di luar Tiongkok. Hal ini menghasilkan peningkatan bersih 4,7 GW untuk pembangkit listrik batu bara yang beroperasi.
Penutupan yang lebih rendah di AS dan Eropa berkontribusi pada kenaikan kapasitas batu bara. Dalam jumlah sebesar 9,7 GW, AS menyumbang hampir setengah dari kapasitas yang ditutup pada 2023, turun dari 14,7 GW yang ditutup tahun lalu dan rekor tertingginya pada 21,7 GW pada tahun 2015.
Negara anggota Uni Eropa dan Britania Raya mewakili sekitar seperempat dari penutupan global, dengan Britania Raya (3,1 GW), Italia (0,6 GW), dan Polandia (0,5 GW) memimpin penutupan di wilayah tersebut untuk tahun itu.
“Indonesia sederhananya tidak bisa memangkas pembangkit listrik tenaga batu bara apa pun, terlepas apakah terkait dengan industri tertentu atau tidak, dari perencanaan transisi energi bersih,” kata Lucy Hummer, peneliti di Global Energy Monitor.
Hummer mengatakan, pada tingkat global, negara-negara yang memiliki pembangkit listrik batu bara yang perlu ditutup harus lebih bergegas melakukannya, dan negara-negara yang memiliki rencana untuk pembangkit batu bara baru harus memastikan ini tidak akan dibangun.
Zakki Amali, peneliti untuk Trend Asia, mengatakan, masalah transisi energi di Indonesia adalah struktural. Dengan demikian, solusinya juga harus struktural. Penurunan target energi terbarukan (ET) dan peningkatan kuota batu bara, bersama dengan penambahan pembangkit listrik tenaga batu bara baru (PLTU) di Indonesia, menunjukkan langkah mundur dalam transisi energi.
"Pemerintah perlu segera memperbaiki arah sesuai dengan Perjanjian Paris. Memang, upaya luar biasa dan intervensi politik yang kuat diperlukan untuk Indonesia jika ingin menjalani transisi. Tanpa tindakan seperti itu, Indonesia hanya akan merencanakan kegagalan transisi energi,” kata Zakki.
Dalam sebuah laporan berjudul Boom and Bust yang diterbitkan Global Energy Monitor bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lain di dunia disebutkan, negara-negara industri besar yang tergabung dalam G7 menyumbang 15% (310 GW) dari kapasitas batu bara yang beroperasi di dunia, menurun dari 23% (443 GW) pada 2015. Dengan selesainya unit baru di Jepang pada 2023, G7 tidak lagi memiliki pembangkit batu bara dalam tahap konstruksi, namun masih menjadi rumah bagi satu proposal di Jepang dan dua di AS.
Kemudian negara-negara yang tergabung dalam G20 merupakan rumah bagi 92% dari kapasitas batu bara yang beroperasi di dunia (1.968 GW) dan 88% dari kapasitas batu bara prakonstruksi (336 GW). Tiongkok dan sepuluh negara yang mengikuti langkahnya menyumbang 95% dari kapasitas prakonstruksi global. Lima persen sisanya tersebar di 21 negara, 11 di antaranya hanya memiliki satu proyek dan berada di ambang pencapaian tonggak "tidak membangun pembangkit listrik batu bara baru".
Pada 2023, penurunan pembangkit batu bara yang diajukan di luar Tiongkok diredam oleh 20,9 GW proposal yang sepenuhnya baru, dipimpin oleh India (11,4 GW), Kazakhstan (4,6 GW), dan Indonesia (2,5 GW), serta 4,1 GW kapasitas yang sebelumnya ditangguhkan atau dibatalkan dianggap diusulkan lagi.