Wilayah Adat Wambon Dilaporkan Dirusak Perusahaan Kebun Kayu

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Jumat, 19 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Wambon Kenemopte di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, melaporkan perusakan hutan adat oleh PT Merauke Rayon Jaya (MRJ). Perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman (HT) itu, menurut masyarakat kepada Pusaka, telah membabat dan merusak lahan adat sejak awal April 2024.

"Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) telah menerima laporan masyarakat adat terdampak bahwa PT MRJ telah menggusur lahan dan hutan adat dengan cara melanggar hukum adat, yakni penggusuran dan pembabatan hutan tanpa musyawarah dan restu izin sebagaimana hukum adat setempat," kata Tigor G. Hutapea, Staf Advokasi Yayasan Pusaka, Kamis (18/4/2024).

Menurut Tigor, kegiatan PT MRJ tersebut ditengarai bermasalah. Hingga saat ini, ujarnya, perusahaan itu belum menyampaikan kepada masyarakat dokumen perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman dari negara dan persyaratan seperti kelayakan lingkungan, rencana kerja usaha, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan lain sebagainya.

Selain itu, kata Tigor, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Selatan, dan Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan (DLHKP) Provinsi Papua Selatan, juga menyatakan tidak menerbitkan surat pemberian izin dan rekomendasi, dan persyaratan usaha lainnya, tentang keberadaan dan rencana operasi perusahaan kebun kayu PT MRJ.

Dari ketinggian tampak Wilayah Adat Wambon Kenemopte. Sejak awal April 2024 perusahaan kebun kayu PT MRJ dilaporkan menggusur dan merusak lahan wilayah adat itu. Foto: Yayasan Pusaka.

Persyaratan dan perizinan dimaksud mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2012, PP No. 22 Tahun 2021, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.28 Tahun 2018 dan perubahannya Permen LHK No. P.19/MenLhK/Setjen/KUM.1/4/2019, dan Permen LHK No. P.62/MenLHK/Setjen/KUM.1/10/ 2019.

Jadi, “Perusahaan PT MRJ tidak menghormati HAM Masyarakat Adat Wambon Kenemopte, perusahaan diduga melanggar hukum yakni beroperasi membongkar dan menggusur hutan, dan memanfaatkan hasil hutan kayu, tidak sesuai ketentuan negara dan tanpa izin masyarakat adat,” ujar Tigor.

Tigor mengatakan, Masyarakat Adat Wambon Kenemopte di Distrik Subur telah berkali-kali menolak rencana operasi perusahaan PT MRJ secara langsung terhadap operator perusahaan pada 2021, yang disampaikan melalui surat pernyataan pencabutan izin kepada Pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Dinas Kehutanan dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, DPMPTSP Provinsi Papua Selatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Namun belum ada tanggapan dan langkah kongkret yang dilakukan," ujarnya.

Operasi bisnis kebun kayu PT MRJ, menurut Tigor, menimbulkan kekhawatiran dan ancaman bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat adat, akibat hilangnya hutan alam dan tanaman asli, hilangnya sumber mata pencaharian, pangan dan pendapatan ekonomi masyarakat, terbatasnya hak dan akses usaha masyarakat, rusaknya lingkungan hutan alam dan kawasan gambut, maupun perairan sungai dan rawa di wilayah adat. "Ini merupakan bentuk pelanggaran hak-hak dan pengabaian keberadaan masyarakat setempat," katanya.

Masyarakat Adat Wambon Kenemopte memasang papan berisi peringatan agar PT MRJ menghentikan kegiatan di wilayah adat, di lokasi penggusuran. Foto: Yayasan Pusaka.

Tigor menuturkan, Masyarakat Adat Wambon Kenemopte bereaksi atas tindakan ilegal, perusakan hutan dan pembangunan camp perusahaan di wilayah adat masyarakat, dengan memperingatkan pihak pekerja setempat untuk menghentikan aktivitas perusakan hutan dan pembangunan logpond perusahaan. Masyarakat, katanya, akan memberikan sanksi adat jika kegiatan perusahaan melanjutkan perusakan hutan adat.

Berdasarkan hasil kajian Pusaka (2022), kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ didominasi kawasan hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektare dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektare, yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2. yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah.

Peta Kawasan Nilai Konservasi Tinggi di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Kredit: Yayasan Pusaka.

Pusaka, ujar Tigor, berpandangan dan meminta pemerintah nasional dan daerah konsisten dan sungguh-sungguh menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan menjunjung tinggi prinsip HAM dalam setiap rencana dan proyek pembangunan inklusif, yang sejalan dengan konsistitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang telah dirubah dengan UU Nomor 02 Tahun 2021, Bab X Perekonomian Pasal 38-42.

Tigor mengatakan, dalam kerangka perekonomian inklusif dan pemajuan hak dan pemberdayaan hak Orang Asli Papua, negara wajib menghormati dan melindungi hak-hak sosial ekonomi, mata pencaharian, pengetahuan modal sosial dan sumber-sumber hidup masyarakat adat Papua.

“Kami meminta pejabat Pemerintah Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua Selatan, dan KLHK untuk segera mengambil tindakan penertiban, dengan menghentikan dan mengevaluasi keberadaan dan aktivitas perusahaan PT Merauke Rayon Jaya, atas dugaan pelanggaran hukum yang terjadi dan telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat,” ucap Tigor.