Kerusakan DAS Sagea oleh Tambang Nikel Tak Kunjung Diselesaikan

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Jumat, 26 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea, di Halmahera Tengah, Maluku Utara akibat tambang tak juga diselesaikan pemerintah dan stakeholder-nya. Pertambangan di daerah kaya nikel itu setidaknya merusak 4 DAS dan berisiko bencana yang lebih besar. 

Sungai Sagea setidaknya mengalami kekeruhan selama lima kali sejak awal 2024 ini. Keruhnya sungai ini menunjukkan kondisi kritis kawasan DAS. Paling tidak kekeruhan periodik sudah terjadi pada 2023 lalu. 

Koordinator #SaveSagea, Adlun Fiqri, menjelaskan sejak lima tahun terakhir aktivitas pertambangan khususnya di Teluk Weda berjalan massif. Di Halmahera Tengah terdapat sekitar 19 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luasan 46.129 hektare. 

“Kondisinya saat ini telah menimbulkan dampak lingkungan seperti deforestasi dan tercemarnya sungai-sungai besar yaitu Sungai Kobe, Akejira, Waleh dan terakhir juga dialami oleh Sungai Sagea,” ucap dia dalam webinar ‘Di balik Keruhnya Sungai Sagea’.

Camp di Area PT WBN yang berada di DAS Sagea. Foto: FWI

Investigasi Forest Watch Indonesia (FWI) pada September 2023, mengungkapkan keruhnya Sungai Sagea disebabkan oleh erosi akibat pembukaan hutan di bagian hulu DAS Sagea yang masuk dalam konsesi tambang. Analisis deforestasi FWI dari tahun 2021-2023, menemukan telah terjadi deforestasi seluas 392 ha di DAS Sagea. Selain itu verifikasi lapangan juga menunjukkan fakta serupa. 

“Kami juga melakukan verifikasi langsung ke lapangan. Faktanya telah terjadi pembukaan hutan untuk jalan akses eksplorasi tambang dan pembuatan camp di area konsesi PT WBN (Weda Bay Nikel) dan PT HSM (Halmahera Sukses Mineral) yang masuk dalam DAS Sagea.” ujar Juru Kampanye FWI, Agung Ady Setiawan.

Lebih lanjut, kajian FWI memetakan potensi bahaya banjir pada wilayah pertambangan di 4 DAS di Teluk Weda. Mereka menemukan peningkatan potensi bahaya banjir yang dipengaruhi oleh perubahan tutupan lahan dan anomali curah hujan dari tahun 2016-2023. 

Peneliti FWI, Eryana, menjelaskan kajian tersebut menggunakan metode FHI (Flood Hazard Index) dengan tujuh parameter yang didasarkan pada pengaruh dan potensi terciptanya daerah bahaya banjir, yaitu curah hujan, tutupan lahan, akumulasi aliran, kemiringan lahan, topografi, buffer sungai, dan geologi. Nilai FHI digunakan untuk mengetahui tingkat bahaya banjir.

Berdasarkan analisis perubahan kedua parameter tersebut, terjadi peningkatan bahaya banjir yang digambarkan dengan peningkatan nilai luas area FHI. 

“Luas FHI pada kategori bahaya banjir rendah menjadi sedang yaitu sebesar 1.662,3 ha, areal rendah menjadi tinggi sebesar 229,87 ha, kategori bahaya banjir sedang menjadi tinggi naik sebesar 9.244,85 hektare, sedangkan kategori tinggi menjadi sangat tinggi naik sebesar 1.328,15 hektare,” kata Eryana.

Sungai Sagea merupakan perwujudan sistem sungai bawah tanah Gua Batulubang Bokimoruru yang muncul ke permukaan melalui mulut gua. Berdasarkan paparan BPDASHL Ake Malamo, aliran Sungai Sagea berasal dari DAS Ake Yonelo dan Ake Sepo yang berada di bagian hulu. Kedua sungai tersebut mengalir ke arah Selatan-Tenggara dan masuk melalui sistem gua di kawasan Karst Sagea, kemudian muncul kembali sejauh 4 km di Gua Bokimoruru.

Potret Goa Bokimoruru di Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: FWI

Fenomena sungai masuk dan muncul dari bawah permukaan tanah merupakan salah satu ciri kawasan karst. Bentang alam karst tidak hanya berkembang di permukaan, melainkan juga bagian bawah tanahnya. Salah satu bentuk perkembangannya yaitu ditemukan sistem perguaan dan sungai bawah tanah seperti yang ada di kawasan Karst Sagea. 

Ahli Hidrologi Karst Departemen Geografi Universitas Gadjah Mada, Ahmad Cahyadi, mengungkap sistem hidrologi kawasan karst perlu pendekatan khusus dalam pengelolaannya. Menurutnya pembahasan karst dari sisi hidrologi harus mencakup wilayah diluar kawasan karst yang mengimbuh air ke kawasan karst. 

Istilahnya, kata dia, dikenal dengan allogenic recharge atau imbuhan air yang berasal dari luar kawasan karst. 

“Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya air di kawasan karst juga harus mencakup wilayah-wilayah yang berada diluar batas batuan karst, apalagi yang memberi kontribusi sumber daya air ke kawasan karst. Beberapa peneliti menyebutnya dengan istilah Karst Drainage Basin,” ucapya.

Pengelolaan DAS Sagea seharusnya mencakup wilayah DAS Yonelo dan DAS Sepo karena dua sungai tersebut yang diduga kuat menjadi hulu dari sumber aliran sungai Sagea. Terlebih aktivitas pertambangan yang berada di wilayah DAS Yonelo dan Sepo telah memberikan dampak kepada Sungai Sagea. Keruhnya Sungai Sagea membuktikan bahwa sumber air Sungai Sagea merupakan allogenic recharge yang berasal dari luar kawasan karst.

“Harapan kami di Sagea untuk pemerintah baik pusat, provinsi dan daerah untuk melakukan evaluasi terhadap izin-izin tambang yang wilayah Teluk Weda. Kami juga meminta untuk memonitoring terhadap kinerja perusahaan tambang terhadap lingkungan. Kondisinya sekarang sebagian besar sungai-sungai di Teluk Weda telah hancur lebur. Dan belum ada satu perusahaan pun yang disanksi atas dampak yang ditimbulkan” ucap Adlun.