Greenpeace: Awas Transaksi Haram dan Perbudakan di Tengah Laut
Penulis : Aryo Bhawono
Kelautan
Jumat, 26 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang telah melakukan alih muatan (transhipment) dengan dua Kapal Ikan Asing (KIA) di Laut Arafura, Maluku. Greenpeace Indonesia mengingatkan perizinan alih muatan ikan di laut menjadi celah penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, Unreported, and Unregulated / IUU fishing).
Pada 14 April 2024 lalu, KKP berhasil menangkap kapal ikan Indonesia bernama KM Mitra Utama Semesta (MUS) usai melakukan alih muatan di Laut Arafura, Maluku, dengan titik koordinat 05° 30.422″ LS – 133° 59.005″ BT. Penangkapan dilakukan usai kapal itu melakukan alih muatan dengan dua kapal ikan asing, Run Zeng (RZ) 03 dan 05, yang tak berizin. Dua kapal ikan asing tersebut kabur dan masih dalam tahap pengejaran hingga saat ini.
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menemukan sejumlah bukti foto dan video dari gawai milik anak kapal dalam proses alih muatan ikan dari dua kapal RZ. Total muatannya mencapai 100 ton dan dilakukan selama lima hari berturut-turut.
KKP juga menemukan 870 drum (setara dengan 150 ton BBM solar) dan 58 orang ABK. BBM solar tersebut sebagian sudah dipindahkan ke dua kapal RZ dan kapal-kapal mitra lainnya.
Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini. Menurut mereka praktik patgulipat dengan kapal ikan asing ini tak hanya mengindikasikan transhipment ikan ilegal di laut melainkan juga penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) dan perbudakan awak kapal perikanan.
Menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Sihar Silalahi,kegiatan alih muatan ikan di laut rentan mengarah pada IUU fishing. Semua bisa terjadi karena sifatnya yang terisolasi dari pemantauan.
Pemerintah Indonesia, kata Sihar, masih mengizinkan alih muatan ikan di laut untuk dilakukan, namun kurangnya kontrol dan persyaratan pemantauan yang ketat membuat celah yang besar bagi para pelaku IUU fishing untuk beroperasi.
“Padahal, laporan Environmental Justice Foundation (EJF) pada 2023 lalu menunjukkan persentase yang besar bahwa kapal yang melakukan alih muatan di laut juga melakukan praktik IUU fishing. Ini harus jadi perhatian. Kalau pemerintah tidak siap melarang praktik alih muatan ikan seperti yang dulu pernah dilakukan, setidaknya praktik itu sekarang harus melewati proses perizinan dan pemantauan yang baik, bisa lewat observer, pemantauan vessel monitoring system (VMS) yang transparan ke publik dan verifikasi izin yang menyeluruh. Tanpa ini, pemerintah masih mungkin kecolongan lagi,” kata Sihar.
Kasus ini seharusnya bisa mulai menyadarkan publik bahwa IUU fishing tak bisa dianggap remeh, dan bisa berujung ke rusaknya ekosistem laut Indonesia karena dieksploitasi tanpa batas. Ia pun mendesak KKP segera mengambil tindakan hukum yang tegas bagi para pemilik KM MUS dan RZ—yang saat ini masih dalam tahap pengejaran.
Pemerintah perlu segera melacak pemilik kapal-kapal, penerima manfaat dari praktik ilegal itu, dan ke mana jaringan regional dan global bisnis mereka berlabuh. Greenpeace Indonesia meyakini praktik seperti ini sangat sistematis dan terkoneksi antar negara. Itu artinya, potensi kerusakan ekosistem laut dan kerugian akibat IUU fishing ini tak hanya terjadi di Indonesia.
Sihar juga mendesak KKP untuk segera memberikan notifikasi kasus ini ke organisasi pengelolaan perikanan regional atau Regional Fisheries Management Organizations (RFMO), termasuk ke sekretariat The Regional Plan of Action (RPOA-IUU).
“Kami juga melihat bahwa peran pelabuhan perikanan di Indonesia dalam mencegah kapal-kapal yang terindikasi melakukan IUU fishing keluar dan masuk pelabuhan belum optimal. Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme inspeksi kapal berbasis risiko, di mana kapal-kapal ikan dikategorikan menjadi kapal berisiko tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan catatan sejarah aktivitas IUU fishing yang dilakukan oleh kapal atau perusahaan yang terafiliasi dengan kapal tersebut. Kemudian, dalam inspeksi kapal di pelabuhan perlu menyesuaikan kategori yang telah disusun. Hal ini penting untuk mencegah praktik IUU fishing dari hulu, sejak kapal masih berada di pelabuhan dan belum melaut,” kata Sihar.
Kasus ini juga seharusnya menjadi peringatan bagi para pengusaha dan konsumen seafood di level global. Negara-negara maju yang menjadi titik akhir rantai pasok seafood harus mulai berhati-hati dengan produk seafood dari Indonesia. Karena selain diduga didapat dari praktik IUU fishing, namun juga hasil eksploitasi para awak kapalnya.
Greenpeace Indonesia juga menyoroti praktik perbudakan dan perdagangan orang, khususnya yang terjadi pada awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja di kapal berbendera asing. Pada 2019 dan 2021 lalu, Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerbitkan dua seri laporan investigasi tentang praktik perbudakan terhadap awak kapal perikanan.
Kebanyakan korban adalah orang Indonesia. Mereka bekerja di kapal-kapal berbendera Taiwan atau China dan hasil tangkapannya dipasarkan di negara-negara maju seperti kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
Greenpeace Indonesia juga tergabung dalam Tim 9, koalisi informal sejumlah individu perwakilan masyarakat sipil yang fokus mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi tersebut mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.
Tahun lalu, Tim 9 merampungkan laporan berjudul Rekomendasi untuk Akselerasi Peta Jalan Ratifikasi Konvensi Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, 2007 (K-188). Laporan ini berisi sembilan rekomendasi untuk pemerintah Indonesia mempercepat pembahasan peta jalan untuk meratifikasi konvensi itu.