Masyarakat Adat Adalah Pusat Solusi Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Selasa, 30 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Saat ini manusia berada di ambang kekalahan dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Untuk membuat bertahan hidup, dibutuhkan dukungan dan lebih banyak kebersamaan dengan masyarakat adat. Demikian menurut Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam diskusi yang digelar di Pertemuan Akbar Masyarakat Adat di Brazil, Kamis lalu (25/4/2024).

“Jika kita tidak bekerja sama, berdasarkan prinsip menghormati hak asasi masyarakat adat maka kita tidak akan memenangi perang melawan krisis iklim. Ketika kita dikalahkan oleh iklim, ini adalah awal dari perang kita melawan alam. Dan sebagai masyarakat adat, kita bisa memenangi semua perang,” kata Rukka.

Kehadiran Rukka dalam pertemuan akbar masyarakat adat di Brazil merupakan bentuk solidaritas global terhadap sesama masyarakat adat. Rukka akan menghadiri beberapa pertemuan penting dengan pemerintah Brazil dan kedutaan-kedutaan asing di Brazil, serta menjadi narasumber dalam panel diskusi serta dialog-dialog antar sesama organisasi masyarakat adat.

Rukka mengatakan inilah saatnya untuk membalikkan keadaan menjadikan masyarakat adat sebagai pusat solusi iklim. Berdasarkan studi terkini, kata Rukka, mayoritas ekosistem aneka ragam hayati termasuk hutan yang kita miliki saat ini masih ada karena penjagaan masyarakat adat.

Seorang pengungsi menggendong anaknya di depan tenda pengungsian El Radoum, Dardur Selatan, Sudan. Dok UNHCR/Behrooz

Rukka mengingatkan agar masyarakat adat tidak lengah terhadap perubahan iklim. Sebab, satu perang yang tidak akan pernah dimenangi adalah perang melawan alam. Dikatakannya, perang ini yang akan dihadapi untuk masa depan umat manusia di dunia. Itulah sebabnya, mereka akan mengadakan COP (Conference Of the Parties) di Brazil tahun depan.

“Brazil harus menetapkan jalur sejarah, tidak hanya bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi kita semua. Karena melindungi masyarakat adat, perempuan adat, pemuda adat, wilayah, keanekaragaman hayati, hutan bukan sekadar melindungi kami masyarakat adat, tetapi juga melindungi kita semua termasuk cucu-cucu kalian, generasi penerus. Itu sebabnya, kita perlu berperang bersama,” katanya.

Rukka menceritakan pengalamannya dalam lima tahun terakhir di kampung halaman yang menderita akibat perubahan iklim. Rumput pun, katanya, tidak bisa bertahan karena iklim ekstrim. Bahkan, salah satu produk terbaik mereka yaitu kopi, tidak lagi berbunga.

“Tahun ini, komunitas saya tidak akan mendapatkan satu pun biji kopi pertama kami,” ujarnya.

Solidaritas untuk masyarakat adat di Brazil

Rukka mengungkapkan telah mendengar semua cerita-cerita tentang masyarakat adat di berbagai wilayah Brazil. Semua penderitaan, semua rasa sakit, semua pelanggaran Hak Asasi masyarakat adat serta diskriminasi sistematis dan historis terhadap masyarakat adat.

“Kami (masyarakat adat) merasakan penderitaan yang sama, dimana pun di seluruh dunia,” ujarnya, sembari mengucapkan selamat kepada Articulação dos Povos Indígenas do Brasil (AIPB) atas pelaksanaan Terra Livre ke-20.

Selepas menghadiri UNPFII ke-23 di New York, Rukka bertolak ke Brazil menghadiri undangan dari masyarakat adat di Brasil dalam acara The Acampamento Terra Livre (ATL) atau Pertemuan Akbar masyarakat adat untuk Tanah Merdeka (Free Land Camp) 2024.

ATL merupakan pertemuan akbar tahunan yang dihadiri oleh utusan berbagai masyarakat adat di Brazil, melibatkan 5.000 hingga 10.000 peserta setiap tahunnya. ATL bertujuan untuk membahas berbagai issue penting yang berdampak pada masyarakat adat di Brazil maupun secara global. Tahun 2024, merupakan penyelenggaraan ATL ke 20.

ATL diselenggarakan oleh The Articulation of Indigenous Peoples of Brazil (APIB) dan 7 organisasi lokalny Apoinme, ArpinSudeste, ArpinSul, Aty Guasu, Terena Council, Coaib, dan Guarani Yvyrupa Commission.

Koordinator Eksekutif APIB, Dinamam Tuxa mengatakan tahun ini merupakan tahun darurat bagi masyarakat adat di Brazil karena meningkatnya kekerasan dan pembunuhan terhadap pemimpin masyarakat adat di Brazil. Pengakuan hukum atas batas wilayah adat juga masih belum maksimal, meskipun Presiden Brazil Lula da Silva telah berkomitmen untuk mempercepat proses pengakuan tersebut.

Selain itu, sebut Tuxa, isu penting lainnya yang akan dibahas dalam ATL tahun ini adalah terkait kesehatan mental warga adat karena meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan komunitas akhir-akhir ini, terutama di komunitas yang mengalami kasus-kasus perampasan wilayah adat dan kekerasan.

“Kami berharap segala kasus yang terjadi selama ini di komunitas masyarakat adat di Brazil bisa mereda, syukur bisa dihentikan,” kata Tuxa.