Untuk ke-4 Kalinya, Masyarakat Adat Kinipan Ajukan Pengakuan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 01 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komunitas Adat Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, terus memperjuangkan pengakuan atas wilayah adatnya. Sejauh ini sudah tiga kali Effendi Buhing dan warga di komunitas adatnya secara resmi memohonkan pengakuan dan perlindungan sebagai masyarakat adat, namun tiga kali pula usulan itu dimentahkan oleh pemerintah daerah.
Tak patah arang, masyarakat adat yang beberapa anggotanya sempat dikriminalisasi karena mempertahankan ulayatnya dari ekspansi perkebunan sawit itu untuk keempat kalinya menyerahkan usulan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya ke pemerintah daerah, Senin (29/4/2024).
Effendi Buhing, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lamandau, mengatakan masyarakat Kinipan kali ini berharap Pemkab Lamandau lebih serius dalam mengidentifikasi, verifikasi, dan validasi usulan ini. Sebab, menurut Buhing, Pemkab Lamandau sebelumnya tampak tak serius menyikapi usulan wilayah adat Kinipan. Itu terlihat dari tidak dilibatkannya AMAN dan masyarakat adat Kinipan dalam rapat-rapat dan proses teknis penyusunan masyarakat hukum adat (MHA), juga tak adanya pembahasan bersama terkait usulan MHA Kinipan.
“Seharusnya ini lebih mudah karena keberadaan kita justru membantu tugas pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mengakui dan memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat,” kata Buhing.
Ketua AMAN Kalteng, Ferdi Kurnianto, mengatakan secara organisasi pihaknya sangat kecewa atas sikap Pemkab Lamandau sebelumnya. Karena Pemkab memuat AMAN sebagai anggota panitia MHA, tapi AMAN tidak pernah dilibatkan.
"Kalau ingin jujur, libatkan AMAN. Termasuk, misalnya, usulan Kinipan. Undang AMAN Lamandau, AMAN Kalteng, agar kita sama-sama memikirkan bagaimana proses pengakuan ini berjalan,” ucapnya.
Ferdi Kurnianto mengatakan, panitia MHA Lamandau jangan hanya duduk di belakang meja. Mereka harus jemput bola ke lapangan, bersama masyarakat pengusul untuk melakukan verifikasi, identifikasi dan validasi usulan itu.
“Tugas panitia ngapain, kalau hanya terima beres, harus lengkap, sesuai pedoman, lalu tinggal acc saja. Tugas mereka melakukan verifikasi, identifikasi, validasi, termasuk jika dokumen tidak lengkap, termasuk tugas panitia untuk (membantu) melengkapi,” kata Ferdi.
Menurut Ferdi, Pemkab Lamandau seharusnya juga bisa belajar dari Kabupaten Pulang Pisau dan Sukamara, yang sudah memberikan pengakuan kepada sejumlah masyarakat adat di sana. Padahal saat itu SK Bupati Pulang Pisau dan Sukamara SK Bupati Sukamara tentang Panitia MHA belum terbit. Bahkan, di tingkat provinsi, SK Gubernur Kalimantan Tengah tentang Panitia MHA Provinsi juga belum terbit.
“Dua contoh kasus tersebut bisa jadi pembelajaran. Jika pun harus sesuai dengan pedoman tata cara yang diinginkan, ya tugas panitia bukan hanya duduk pangku tangan,” kata Ferdi.
Safrudin Mahendra, dari Save Our Borneo--salah satu organisasi yang terlibat dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan bersama AMAN, Walhi, dan YLBHI-LBH Palangka Raya--menambahkan, terbitnya Perda Lamandau Nomor 3 tahun 2023 tentang Pedoman, Pengakuan, dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak perlu diapresiasi. Namun, ia mengingatkan perda itu belum cukup jelas dan terperinci dalam pedoman
teknisnya.
“Harapannya, jika nantinya pedoman teknis tersebut akan dibuat dalam bentuk peraturan bupati, maka jangan sampai pedoman teknis tersebut memberatkan atau justru mempersulit komunitas dalam pengajuan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat-nya, apalagi target pemerintah dalam mengalokasikan pengelolaan kawasan hutan untuk dikelola masyarakat adat sangat besar dan capaiannya sampai masa-masa akhir Pemerintahan Jokowi ini masih sangat sedikit,” kata Safrudin.
Penyerahan dokumen usulan pengakuan masyarakat adat dari Komunitas Adat Kinipan itu dilakukan bersama seluruh tokoh adat dan pemerintah desa dan kecamatan setempat. Di antaranya, Mantir (Kepala) Adat Filemon, Ketua Komunitas Adat Berkat Arus, Kepala Desa Kinipan Willem Hengki, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Ating, Demang Adat Kecamatan Batangkawa Rudi, Camat Batangkawa Indra Yudi, dan Ketua AMAN Lamandau Effendi Buhing.
Menurut riwayatnya, usulan pertama yang diajukan masyarakat adat ini tak mendapat repons baik. Padahal Kinipan mengajukan usulan dengan merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B Ayat (2) dan Permendagri Nomor 52 Tahun. Karena tak direspons oleh Pemkab Lamandau, mereka kemudian menggugat Pemkab Lamandau ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya pada Januari 2021.
Uniknya, saat proses PTUN berlangsung, baru ‘terungkap’ informasi bahwa Pemkab Lamandau telah mengeluarkan surat keputusan tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 188.45/379/XII/HUK/2020 tanggal 01 Desember 2020. PTUN Palangka Raya menolak gugatan Kinipan.
Lalu, terbitlah Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lamandau No 3 tahun 2023 tentang Pedoman, Pengakuan, dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak. Tapi Komunitas Adat Laman Kinipan, dan AMAN yang disebut dalam lampiran SK Panitia MHA Lamandau, justru tak pernah dilibatkan sekalipun dalam pembahasan perda itu.
Dalam rilis itu disebutkan, selama proses itu, dua kali Kinipan mengajukan usulan. Semuanya ditolak. Pada usulan ketiga, semuanya dikembalikan. Pemkab Lamandau menjawab melalui surat, bahwa dokumen MHA Kinipan dianggap belum terverifikasi dan tervalidasi.
Kinipan sudah memetakan wilayah adatnya secara partisipatif pada 2015. peta itu diloka-karyakan dan dideklarasikan pada 2016. Seluruh laman (desa) tetangga Kinipan, perwakilan pemerintah daerah dan DPRD Lamandau juga hadir. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pun memberi sertifikat kelayakan atas pemetaan itu agar Kinipan mendapatkan pengakuan.
Tapi, pada 2018, hutan wilayah adat Kinipan malah dibabat untuk kepentingan perusahaan sawit. Pada 2020, Efendi Buhing dan sejumlah pemuda dan tokoh adat Kinipan, Effendi Buhing, justru ditangkap polisi karena tuduhan mencuri gergaji mesin perusahaan. Padahal mereka hanya mempertahankan hutan, lingkungan ruang hidupnya. Mereka kemudian bebas atas tekanan publik.
"Kinipan tak ingin masalah itu terulang. Bagi kami, hanya Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat Laman Kinipan adalah solusinya," kata Buhing.