Suhu Memanas, Ular Berbisa Berpotensi Migrasi ke Indonesia

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Selasa, 07 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kerusakan iklim kemungkinan besar akan menyebabkan migrasi besar-besaran spesies ular berbisa ke wilayah-wilayah baru dan negara-negara yang belum siap, termasuk Indonesia, menurut sebuah penelitian terbaru. 

Para peneliti memperkirakan bahwa Nepal, Nigeria, Namibia, Tiongkok, dan Myanmar akan memperoleh spesies ular paling berbisa dari negara-negara tetangga di bawah iklim yang memanas.

Negara-negara berpenghasilan rendah di Asia Selatan dan Tenggara, serta sebagian Afrika, akan sangat rentan terhadap peningkatan jumlah gigitan ular, menurut temuan yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Planetary Health. Di Indonesia, wilayah tengah dan barat diprediksi akan mengalami kelimpahan populasi. Negara tetangga yang akan mengalami hal serupa termasuk Malaysia, Brunei Darussalam, dan Timor-Leste. 

Studi ini memodelkan distribusi geografis dari 209 spesies ular berbisa yang diketahui menyebabkan keadaan darurat medis pada manusia untuk memahami di mana spesies ular yang berbeda mungkin menemukan kondisi iklim yang menguntungkan atau cocok baginya pada 2070.

Viper gaboon (Bitis rhinoceros), dengan taring terpanjang dari semua ular berbisa, merupakan contoh predator kelas atas. Ular ini memiliki kemampuan untuk tumbuh sepanjang lebih dari enam kaki dan berkamuflase di lingkungan sekitarnya. Dok. Eric Januszkiewicz/WCS

Meskipun sebagian besar spesies ular berbisa akan mengalami penyusutan wilayah jelajah karena hilangnya ekosistem tropis dan subtropis, habitat beberapa spesies seperti ular gabon viper Afrika barat akan meningkat hingga 250%, demikian temuan studi tersebut. Sementara itu populasi spesies asp Eropa dan ular bertanduk juga diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2070.

Namun, beberapa ular, termasuk ular berbisa semak endemik di Afrika dan ular berbisa pit viper di Amerika diperkirakan akan kehilangan lebih dari 70% wilayah jelajahnya.

“Dengan semakin banyaknya lahan yang diubah untuk pertanian dan peternakan, habitat alami untuk ular pun semakin hancur dan terfragmentasi,” kata Pablo Ariel Martinez dari Federal University of Sergipe di Brasil, salah satu penulis studi, Jumat, 3 Mei 2024. 

“Namun, beberapa spesies ular umum, terutama yang memiliki kepentingan medis, dapat beradaptasi dengan lanskap pertanian dan bahkan berkembang biak di ladang tanaman atau area peternakan tertentu yang menyediakan sumber makanan seperti hewan pengerat,” katanya. 

“Penelitian kami menunjukkan bahwa ketika ular berbisa mulai bermunculan di tempat-tempat baru, ini merupakan peringatan bagi kita untuk mulai berpikir tentang bagaimana kita dapat menjaga diri dan lingkungan kita tetap aman,” kata Talita F Amado, peneliti lainnya dari Pusat Penelitian Integratif untuk Keanekaragaman Hayati di Leipzig, Jerman. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1,8 hingga 2,7 juta orang digigit ular berbisa setiap tahunnya, menyebabkan 138.000 kematian dan setidaknya 400.000 amputasi dan cacat permanen. WHO mengkategorikan envenomasi akibat gigitan ular sebagai penyakit tropis terabaikan yang memiliki prioritas tertinggi pada 2017.

“Kita akhirnya mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana ular akan mengubah distribusinya seiring dengan perubahan iklim, tetapi ada juga kekhawatiran besar bahwa ular akan menggigit lebih banyak orang jika suhu menghangat, cuaca basah semakin parah, dan banjir yang membuat manusia dan ular mengungsi lebih sering terjadi,” kata Anna Pintor, seorang ilmuwan peneliti di kelompok penyakit tropis terabaikan WHO. 

“Kita perlu segera memahami lebih baik bagaimana hal ini akan berdampak pada lokasi orang yang tergigit, dan berapa banyak orang yang tergigit, sehingga kita dapat bersiap,” ujarnya. 

Soumyadeep Bhaumik, dosen kedokteran di University of New South Wales di Sydney yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan, gigitan ular pada dasarnya merupakan konflik antara manusia, hewan, dan lingkungan. 

"Pemodelan tersebut tidak memperhitungkan bagaimana manusia sendiri akan beradaptasi/berubah terhadap perubahan iklim. Namun studi global ini mengatasi kesenjangan pengetahuan yang signifikan,” kata Bhaumik. 

“Perlunya negara-negara dengan beban [gigitan ular] yang tinggi untuk berkolaborasi dengan negara-negara tetangga adalah sesuatu yang digarisbawahi oleh studi baru ini,” katanya.