Dari Langit, NASA Pantau Habitat Satwa Terancam Punah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Kamis, 09 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang biasanya mengurusi hal-hal terkait ruang angkasa baru-baru ini melebarkan perannya dengan membantu memetakan dan memantau habitat beberapa spesies terancam punah di berbagai belahan dunia dari luar angkasa.
“Satelit mengamati wilayah luas di permukaan bumi dalam jadwal harian hingga mingguan. Hal ini membantu para ilmuwan memantau habitat yang secara logistik sulit dan memakan waktu untuk melakukan survei dari lapangan--hal ini sangat penting bagi hewan seperti harimau yang berkeliaran di wilayah yang luas,” kata Keith Gaddis, Manajer Program Konservasi Ekologi NASA, dalam sebuah rilis, Kamis (2/5/2024).
Ada tiga spesies paling ikonik di Bumi yang dipantau habitatnya oleh NASA. Yang pertama harimau. Si belang ini telah kehilangan setidaknya 93% dari wilayah jelajah historisnya, yang dulunya membentang di Eurasia. Sekitar 3.700 hingga 5.500 harimau liar yang tersisa, naik dari perkiraan terendah 3.200 ekor pada 2010.
Dalam sebuah penelitian terbaru, para peneliti mengkaji lebih dari 500 penelitian yang berisi data tentang harimau dan habitatnya di seluruh Asia. Tim peneliti menemukan bahwa wilayah tempat tinggal kucing besar ini menurun 11%, dari sekitar 396.000 mil persegi (1025.635 km²) pada 2001 menjadi sekitar 352.000 mil persegi (911.6758 km²) pada 2020.
Dipimpin oleh Wildlife Conservation Society (WCS) dan didanai oleh Program Konservasi Ekologi NASA, tim tersebut mengembangkan sebuah alat menggunakan Google Earth Engine dan pengamatan NASA Earth untuk memantau perubahan habitat harimau. Tujuannya, untuk membantu upaya konservasi dalam waktu yang hampir seketika, dengan menggunakan data dari pencitraan Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) dan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), serta satelit Landsat.
Para peneliti memetakan bentangan "hutan kosong" yang luas tanpa kehadiran harimau baru-baru ini. Karena wilayah ini merupakan habitat yang cocok dan masih cukup luas untuk mendukung harimau, maka wilayah ini merupakan lanskap potensial untuk restorasi, dengan asumsi terdapat cukup makanan. Jika harimau dapat mencapai area tersebut, baik melalui penyebaran alami atau reintroduksi aktif, hal itu dapat "meningkatkan basis lahan untuk harimau hingga 50%," demikian laporan para ilmuwan.
"Masih ada lebih banyak ruang bagi harimau di dunia daripada yang diperkirakan oleh para ahli harimau. Kami hanya dapat mengetahuinya karena kami menyatukan semua data dari NASA dan mengintegrasikannya dengan informasi dari lapangan," kata penulis utama, Eric Sanderson, yang sebelumnya adalah ahli ekologi konservasi senior di WCS dan sekarang menjabat sebagai wakil presiden konservasi perkotaan di Kebun Raya New York.
Spesies kedua adalah jaguar. Salah satu kucing besar ini pernah menjelajah dari Barat Daya Amerika Serikat hingga Argentina. Namun dalam satu abad terakhir, mereka telah kehilangan sekitar 50% wilayah jelajahnya, menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Seperti harimau, jaguar harus menghadapi perburuan liar dan hilangnya sumber makanan. Jumlah jaguar liar antara 64.000 hingga 173.000 ekor, dan IUCN mengklasifikasikannya sebagai hewan yang hampir terancam punah.
Di Gran Chaco, hutan terbesar kedua di Amerika Selatan, jaguar dan hewan lainnya hidup dalam ekosistem yang sangat terancam. Hutan dataran rendah yang kering ini membentang dari Argentina utara hingga Bolivia, Paraguay, dan Brasil, dan telah mengalami deforestasi yang parah.
Jumlah jaguar di Chaco, Argentina, bisa mencapai ratusan ekor. Dengan menggunakan data penggunaan lahan dan infrastruktur, ditambah pengamatan bumi dari MODIS dan Landsat, para peneliti yang didanai NASA memetakan area konservasi prioritas untuk jaguar dan hewan penting lainnya. Sekitar 36% dari area prioritas di Chaco Argentina saat ini merupakan zona "perlindungan rendah", di mana deforestasi diperbolehkan.
"Para manajer dan konservasionis dapat menggunakan informasi spasial baru ini untuk melihat di mana zonasi hutan saat ini melindungi satwa-satwa kunci, dan di mana yang perlu dievaluasi ulang," kata penulis utama Sebastian Martinuzzi dari University of Wisconsin-Madison.
Spesies ketiga yakni gajah. Mamalia darat terbesar di dunia ini yang ada di sabana Afrika kini menempati sekitar 15% dari wilayah jelajah historisnya, dan jumlahnya telah menurun. Sebuah penelitian mensurvei sekitar 90% wilayah jelajah gajah dan memperkirakan bahwa jumlah mereka menurun sebanyak 144.000 ekor gajah dari 2007 hingga 2014, menyisakan sekitar 352.000 ekor. Pada 2021, IUCN memperbarui status gajah menjadi terancam punah.
Sebuah studi baru-baru ini menggunakan indeks vegetasi yang berasal dari satelit NASA dan data lainnya untuk mempelajari gajah di Cagar Alam Nasional Maasai Mara di Kenya, dan di zona semi-terlindungi dan tidak terlindungi di dekatnya.
Para peneliti menemukan bahwa, terutama di daerah yang tidak dilindungi, gajah lebih menyukai hutan dengan kanopi yang lebat, terutama di sepanjang aliran sungai, dan menghindari daerah terbuka seperti padang rumput, terutama ketika lebih banyak orang yang hadir. Pembangunan oleh manusia, seperti pondok-pondok wisata, sering kali dibangun di hutan-hutan tersebut.
Memprioritaskan akses gajah ke hutan di area yang tidak dilindungi harus menjadi hal yang sangat penting bagi pengelola lahan, kata para peneliti. Karena gajah menghindari padang rumput, beberapa area tersebut dapat digunakan untuk pembangunan atau peternakan--menyeimbangkan kebutuhan pembangunan ekonomi dan habitat gajah.
IUCN juga mengklasifikasikan gajah asia sebagai gajah yang terancam punah. Di Bhutan selatan, perusakan tanaman dan satwa liar yang mendekati pemukiman manusia meningkatkan konflik antara manusia dan gajah.
Pada 2020-2021, para sarjana Bhutan yang belajar di Amerika Serikat dipilih untuk berpartisipasi dalam program DEVELOP dari Program Pengembangan Kapasitas NASA. Bermitra dengan Bhutan Foundation, Bhutan Tiger Center, dan Bhutan Ecological Society, tim tersebut menggunakan pengamatan Bumi NASA, data kemunculan gajah, dan informasi lainnya untuk memodelkan kesesuaian habitat saat ini dan memetakan jalur satwa liar di antara habitat, sehingga dapat membantu strategi untuk mengurangi risiko konflik.