Riset: Perdagangan Karbon bagi Hutan dan Warga Cuma Omon-omon
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Rabu, 08 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Keyakinan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar soal manfaat perdagangan karbon ditantang hasil penelitian terbaru mengenai dampak bisnis ini.
Menteri Siti sebelumnya mengatakan perdagangan karbon telah berjalan di Indonesia. Menurutnya, pemerintah telah mengatur skemanya sebagai bagian dari aksi iklim untuk menurunkan emisi. Yang paling penting, perdagangan karbon juga ditujukan sebagai bagian dari upaya membangun kesejahteraan masyarakat.
“Adalah mutlak gambaran bahwa langkah aksi iklim untuk penurunan emisi (gas rumah kaca) serta untuk kelestarian alam harus embedded dengan upaya-upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Artinya dari setiap kerja masyarakat, harus ada penghasilan yang didapat sebagai reward,” kata Siti, dikutip detik.com, Senin, 6 Mei 2024.
Siti mengatakan, skema perdagangan ini mencakup cap and trade, carbon offset, perdagangan emisi, result-based payment serta pungutan atas karbon (meskipun belum diatur secara rinci). “Sedangkan skema carbon offset, perdagangan emisi serta result based payment telah diatur dan di antaranya sudah beroperasi dan telah ada kinerja yang dihasilkan," kata Siti.
Namun, laporan terbaru dari kelompok ilmuwan terkemuka menyatakan, pendekatan berbasis pasar terhadap konservasi hutan seperti penyeimbangan karbon dan skema sertifikasi bebas deforestasi sebagian besar telah gagal melindungi pohon atau mengentaskan kemiskinan.
Kajian global tersebut, terbit Senin, 6 Mei 2024, merupakan tinjauan ilmiah paling komprehensif hingga saat ini. Para peneliti menemukan bahwa inisiatif-inisiatif yang didorong oleh perdagangan dan keuangan hanya menghasilkan kemajuan yang “terbatas” dalam menghentikan deforestasi dan dalam beberapa kasus memperburuk kesenjangan ekonomi.
Berdasarkan hasil kerja akademis dan lapangan selama bertahun-tahun, laporan yang disusun oleh Persatuan Internasional Organisasi Penelitian Kehutanan (IUFRO), sebuah kelompok yang terdiri dari 15.000 ilmuwan di 120 negara, akan dipresentasikan pada forum tingkat tinggi PBB mulai Senin pekan ini.
Para penulisnya mendesak adanya “pemikiran ulang secara radikal” terhadap pendekatan berbasis pasar yang semakin populer dan sering dipromosikan sebagai pendekatan yang efektif dalam menyelamatkan hutan, membatasi pemanasan global, dan meningkatkan standar hidup di negara-negara berkembang.
“Bukti yang ada tidak mendukung klaim win-win atau triple win untuk lingkungan, ekonomi, dan masyarakat yang sering kali dibuat melalui mekanisme pasar sebagai respons kebijakan terhadap permasalahan lingkungan,” kata Maria Brockhaus, salah seorang penulis dari University of Helsinki, dikutip AFP, 6 Mei 2024.
“Kasus yang ada justru menunjukkan bahwa kemiskinan dan hilangnya hutan terus terjadi di berbagai wilayah di dunia… di mana mekanisme pasar telah menjadi pilihan kebijakan utama selama beberapa dekade,” katanya.
Akuntabilitas yang dipertanyakan
Sejak penilaian IUFRO terakhir pada 2010, laporan tersebut mencatat adanya peningkatan skema berbasis pasar yang kompleks dan tumpang tindih “di mana pelaku keuangan dan pemegang saham lebih sering tertarik pada keuntungan jangka pendek dibandingkan tata kelola hutan jangka panjang yang adil dan lestari”.
Penulis utamanya, Constance McDermott dari University of Oxford, mengatakan hal ini mungkin tidak berlaku untuk semua proyek individual. "Tetapi secara keseluruhan, sulit untuk mengatakan bahwa proyek tersebut sukses besar," katanya.
Laporan tersebut mengatakan bahwa proyek senilai $120 juta di Republik Demokratik Kongo telah “memperkuat kepentingan yang sudah mengakar” dengan membatasi masyarakat lokal untuk mengakses hutan tanpa menangani penebangan oleh perusahaan ekstraktif yang kuat.
Di Malaysia, kelompok masyarakat adat yang dijanjikan penghidupan yang lebih baik dari usaha perkebunan yang didukung asing di tanah adat mereka tidak mendapatkan manfaat apa pun, kata laporan itu.
“Seperti yang ditunjukkan oleh kedua kasus tersebut, ‘kemenangan’ seringkali diperoleh di tempat lain, sementara beban hilangnya hutan, penutupan wilayah dan konversi lahan hutan ditanggung oleh masyarakat setempat,” kata Brockhaus.
Di Ghana, laju deforestasi telah meningkat meskipun banyak standar kakao berkelanjutan, janji perusahaan, dan proyek penyeimbangan karbon telah diterapkan, sementara pendapatan petani saat ini lebih sedikit dibandingkan beberapa dekade yang lalu, kata McDermott.
Sementara itu, kebijakan perdagangan ramah lingkungan yang diberlakukan oleh negara-negara kaya—seperti larangan impor yang dilakukan Uni Eropa terkait dengan deforestasi—mungkin terlihat bagus di Belgia, namun tidak mempertimbangkan dampak lanjutannya, tambahnya.
"Tidak ada akuntabilitas. Jika hal ini tidak berhasil—atau sebagai akibatnya para petani terpaksa meninggalkan lahan pertanian mereka—hal ini tidak akan merugikan orang yang makan coklat di Inggris atau Jerman," katanya.
Pemikiran ulang yang radikal
Meskipun terjadi gejolak baru-baru ini, pasar karbon diproyeksikan akan tumbuh menjadi industri bernilai miliaran dolar seiring dengan semakin banyaknya perusahaan yang beralih ke kredit untuk memenuhi target iklim net-zero mereka.
Kredit dibeli dari proyek-proyek, seringkali di negara-negara berkembang, yang mengurangi atau menghindari pelepasan emisi yang menyebabkan pemanasan global, seperti melindungi hutan hujan atau rawa gambut yang menyerap CO2.
Meskipun ada klaim bahwa penyerap karbon adalah tambang emas ekonomi yang tak tertandingi, karena menghasilkan miliaran dolar setiap tahun; ada kekhawatiran yang semakin besar mengenai seberapa besar pendapatan yang diharapkan diperoleh oleh masyarakat miskin, dimana oknum-oknum yang tidak bermoral dituduh melakukan eksploitasi.
Brockhaus mengatakan pendekatan berbasis pasar mungkin menarik bagi para pembuat kebijakan namun tidak akan menjadi solusi tanpa mengatasi tantangan ekonomi dan tata kelola yang lebih luas seputar pengelolaan hutan.
“Kami menganjurkan pemikiran ulang yang radikal,” katanya.