Menteri ESDM Diminta Cabut Izin Tambang PT Timah di Batu Beriga
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Senin, 13 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) didesak untuk segera mencabut Izin Usaha Pertambangan PT Timah di pesisir-laut Desa Batu Beriga. Desakan tersebut disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung (Babel) bersama masyarakat dalam acara sedekah laut di pantai Batu Panjang, Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Babel, Minggu (12/5/2024).
Direktur Eksekutif Walhi Babel, Ahmad Subhan Hafiz, mengatakan penetapan pola ruang untuk pertambangan timah di pesisir laut Batu Beriga merupakan kebijakan keliru. Sejak awal rencana eksploitasi tambang timah di laut sudah ditolak masyarakat pesisir di Kepulauan Babel.
Di tengah kerusakan ekosistem terestrial yang terus terjadi, lanjut Hafiz, laut menjadi harapan bagi masyarakat di Kepulauan Babel. Selama ratusan tahun wilayah pesisir-laut dimanfaatkan secara arif dan lestari. Praktik penghormatan terhadap laut juga tercermin dari ritual sedekah laut di Batu Beriga.
"Sedekah laut merupakan sebuah kesadaran akan keberlanjutan ekosistem laut, tanggung jawab terhadap lingkungan, dan wujud kepedulian terhadap sesama,” kata Hafiz, Minggu (12/5/2024).
Menurut Hafiz perairan Batu Beriga merupakan ekosistem penting bagi terumbu karang serta mamalia laut yang dilindungi, seperti dugong dan lumba-lumba. Bentang alam pesisir-laut juga merupakan wilayah tangkap nelayan tradisional yang telah terjaga secara turun temurun.
”Wilayah Pesisir-laut Desa Batu Beriga merupakan ekosistem esensial yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Selain itu, lebih dari 80 persen masyarakat Desa Batu Beriga ruang hidupnya bergantung dari hasil laut. Sehingga tidak ada alasan bagi Menteri ESDM untuk tidak mencabut IUP PT Timah di laut Batu Beriga,” ujar Hafiz.
Hafiz menjelaskan kandungan logam berat (Pb, Cd, Cr) pada limbah cair kegiatan penambangan timah sudah berada di atas baku mutu lingkungan, sehingga menjadi bahan pencemar lingkungan. Hal ini diperparah dengan praktik pembuangan limbah tambang timah secara langsung atau berada di atas permukaan laut. Kondisi arus laut yang dinamis, limbah penambangan dapat terbawa sejauh 6-7 mil (9,7 - 11,3 km), sehingga aktivitas penambangan timah sangat mengganggu wilayah tangkap nelayan.
Selain itu, penambangan timah lepas pantai telah memberi pengaruh besar terhadap kerusakan terumbu karang serta ekosistem laut di Babel secara keseluruhan. Jika merujuk data 2015 lalu, luasan terumbu karang di Babel mencapai 82.259,84 hektare. Seiring waktu, berdasarkan analisis citra 2017, ekosistem terumbu karang hidup seluas 12.474,54 hektare. Sementara, luas karang mati sekitar 5.270,31 hektare.
”Artinya, dalam kurun waktu dua tahun, terumbu karang di Bangka Belitung berkurang sekitar 64.514,99 hektare,” katanya.
Hafiz berpendapat, korupsi sektor pertambangan timah yang menyebabkan kerugian negara Rp271 triliun akibat kerusakan lingkungan di kawasan hutan dan non kawasan hutan, merupakan bukti kegagalan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi Kepulauan Babel.
Tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, aktvitas penambangan juga terus memakan korban. Berdasarkan data kompilasi Walhi Kepulauan Babel, sepanjang 2021-2024, ada 31 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 22 orang mengalami luka-luka.
Selanjutnya, ribuan kolong (lubang bekas tambang timah) yang belum direklamasi juga terus memakan korban. Sepanjang 2021-2024, tercatat ada 23 kasus tenggelam di kolong. Dari 17 korban yang meninggal dunia, 14 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
Hingga saat ini, di Kepulauan Bangka Belitung, ada ribuan kolong yang belum direklamasi. Tercatat di 2018, jumlah kolong yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Babel, terdiri atas 12.607 kolong dengan total luasan 15.579,747 hektare.
“Analisis kami, jika struktur ruang di Kepulauan Bangka Belitung masih di dominasi sektor pertambangan semakin membuka peluang korupsi sumberdaya alam. Tidak berhenti di situ, eksploitasi tambang timah akan memperluas kerusakan lingkungan, menambah korban jiwa, serta mempertajam konflik horizontal akibat fragmentasi masyarakat,” tutur Hafiz.
Hafiz menekankan, adalah penting untuk mengevaluasi seluruh perizinan pertambangan timah dengan mengeluarkan kebijakan moratorium tambang. Selain itu, transformasi tata ruang yang berkeadilan dan berkelanjutan harus menjadi agenda utama sebagai upaya pemulihan lingkungan di Kepulauan Babel.