5 Juni, Masyarakat Sipil Gelar Mahkamah Rakyat untuk Rezim Jokowi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Selasa, 14 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menggagas Mahkamah Rakyat Luar Biasa (People Tribunal) atau mekanisme alternatif untuk menyelesaikan masalah hukum, ketika negara tidak memberikan ruang untuk demokrasi dan penegakan konstitusi, pada pekan lalu. Gerakan masyarakat sipil ini dilakukan karena negara tidak mengakui, mengabaikan permasalahan atau pelanggaran hak masyarakat yang sedang terjadi saat ini.

Dalam rilisnya, koalisi OMS itu menjelaskan, selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), aksi represif dari negara terhadap masyarakat sipil, perusakan lingkungan, perampasan hak perempuan, buruh, dan warga sipil, hingga kasus korupsi dinilai semakin merajalela. Meski demikian, penegakan hukum dan penyelesaian kasus tak pernah menemukan titik terang sebab impunitas terhadap pelaku terus dirawat. Belum lagi di akhir masa jabatannya, Jokowi diduga melakukan penyelewengan konstitusi dengan mendukung anaknya Gibran Rakabuming maju sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Mereka berpendapat, pelanggaran HAM yang terjadi selama ini tak ditindak oleh negara karena Jokowi dan pengurus negara lainnya mengatur penegakan hukum yang hanya tajam kepada masyarakat sipil. Karenanya, masyarakat tidak memiliki jaminan keselamatan ketika memperjuangkan haknya sebagai warga negara Indonesia.

Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, banyak pelanggaran HAM dan konstitusi terjadi selama rezim Jokowi yang menunjukkan kemunduran demokrasi dan pengingkaran prinsip hukum negara hingga melahirkan pelanggaran konstitusional. Publik, katanya, disuguhi kekerasan, perampasan lahan, kebijakan ambisius Proyek Strategis Nasional (PSN) dan hilirisasi yang mengatasnamakan kebijakan nasional, tetapi mengusir warga seperti di Wadas, Rempang, Pulau Obi, dan Pulau Wawonii.

Presiden Jokowi saat mengumumkan pencabutan larangan ekspor CPO dan produk turunnya melalui kanal resmi Sekretariat Negara RI. Foto: Tangkapan layar/Betahita

"Karena itu, Mahkamah Rakyat ini patut digelar karena kita dihadapkan dengan situasi kekosongan mekanisme hukum yang berpihak pada rakyat dan pelanggaran konstitusional terus terjadi,” ujar Zainal.

Ahmad Ashov Birry dari Bersihkan Indonesia menuturkan, gambaran rezim Jokowi sarat korupsi maupun konflik kepentingan sangat vulgar. Peristiwa keputusan tentang Pilpres di Mahkamah Konstitusi merupakan contoh konflik kepentingan yang paling besar saat ini.

Kedua hal itu, lanjut Ashof, juga menjadi latar belakang mengapa kebijakan yang dibuat pemerintah berkiblat pada pemilik modal. Menurut Ashof, banyak kebijakan yang dihasilkan rezim Jokowi tidak berpihak pada publik, dan demokrasi dihabisi untuk mempertahankan kepentingan.

"Kursi kabinet sarat kontestasi kepentingan bisnis yang akhirnya mempengaruhi sistem legislatif, eksekutif, dan yudisial,” kata Ashof.

Tuntutan Mahkamah Rakyat Luar Biasa

Menurut Koalisi, program pembangunan ala Jokowi atau Nawacita yang mengakibatkan maraknya ketidakadilan menjadi sembilan dosa atau Nawadosa disampaikan dalam Mahkamah Rakyat Luar Biasa.

Dosa pertama adalah perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat yang terjadi akibat ambisi investasi di rezim Jokowi. Untuk melancarkan bisnisnya, pemerintah menggunakan kata eco atau green agar menciptakan citra ramah lingkungan yang sesungguhnya menimbulkan kerusakan ekologis dan permasalahan sosial, seperti pembangunan IKN.

Kedua, kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi terhadap masyarakat yang menuntut dan membela haknya, seperti kasus Wadas, Rempang, hingga kriminalisasi buruh. Fenomena “No Viral No Justice” pun menjadi contoh besar aparat penegak hukum tidak memproses laporan pelanggaran sebelum laporan tersebut viral dan mendapatkan tekanan sosial dari masyarakat.

Ketiga, kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas yang menunjukkan hukum tajam ke bawah selama era Jokowi. Kasus kekerasan terhadap masyarakat di Papua hingga peristiwa Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa menjadi contoh nyata impunitas yang membuat kasus pelanggaran hak sipil tak pernah dituntaskan akibat pembiaran dari pemerintah.

Dimas Bagus Arya dari Kontras menyampaikan, impunitas yang melenggang bebas selama rezim ini memberikan ruang untuk melakukan kesalahan secara terus-menerus karena tidak ada mekanisme penghukuman. Karenanya, pelanggaran HAM yang terjadi difasilitasi oleh negara.

"Maka, penyelesaian harus diserahkan pada mekanisme yang disepakati oleh rakyat untuk menghapus kultur impunitas dan menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran dan kejahatan HAM berat,” ujarnya.

Keempat, komersialisasi, penyeragaman, dan penundukan sistem pendidikan yang mengakibatkan carut-marutnya sistem akademik di Indonesia. Pendidikan yang menjadi hak dasar setiap warga justru dikomersialisasi dengan biaya pendidikan yang mahal dan berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru.

Kelima, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindakan perlindungan koruptor. Penindakan yang lemah bagi para koruptor, pemecatan pegawai KPK yang menolak upaya penggembosan KPK, hingga perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan keluarga Jokowi menjadi bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia.

Yaser Aulia dari Indonesia Corruption Watch (ICW) beranggapan pemberantasan korupsi terburuk terjadi selama sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi. Dari sekian banyak kasus korupsi yang jumlahnya triliunan rupiah kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke negara.

Sayangnya, imbuh Aulia, Presiden tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk memberantas kasus korupsi. Pemerintah malah memotong taring untuk dilaksanakannya pemberantasan kasus korupsi.

"Selain itu, nepotisme dan politik dinasti ditunjukkan secara terang-terangan saat Pilpres tahun ini. Semangat anti-korupsi dalam UUD 45 justru digerogoti selama sepuluh tahun masa Jokowi,” tutur Aulia.

Bagus Pradana dari Transparency Indonesia menambahkan, dosa rezim hari ini adalah pelemahan pemberantasan korupsi dan yang menjadi perhatian adalah kepastian hukum dan bisnis yang dapat dilihat dari praktik revolving door. Analogi itu kita artikan seperti pejabat adalah pebisnis dan ada juga pebisnis yang jadi pejabat atau pebisnis yang mempengaruhi pejabat.

"Praktik ini banyak di pengelolaan SDA. Praktik revolving door ini new normal di Indonesia dan menjadi satu hal yang dititikberatkan dalam Mahkamah Rakyat ini,” katanya.

Keenam, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan program solusi palsu untuk krisis iklim. Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA seperti penghancuran wilayah Indonesia bagian Timur untuk proyek hilirisasi nikel, solusi ketenagalistrikan yang masih menggunakan batubara, hingga penggunaan biomassa yang menebang hutan secara besar-besaran.

“Hari ini kita kembali berduka karena lubang tambang di Samarinda, Kalimantan Timur kembali menelan korban jiwa, yaitu dua pelajar berusia sembilan tahun. Selama 2011 hingga 2024 ada 47 korban yang meninggal di lubang tambang di Kalimantan Timur,” kata Muhammad Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Jamil mengatakan, jumlah yang tinggi tersebut hanya di satu tempat saja belum di lubang-lubang tambang yang lain. Di sektor pertambangan, seperti tambang nikel, jumlah pekerja yang meninggal dunia karena keselamatan pekerja yang tidak diprioritaskan juga tinggi. Mahkamah Rakyat, menurutnya, penting sebagai sarana untuk meminta pertanggung jawaban pemerintah dan pelaku yang tak pernah diadili.

Ketujuh, sistem kerja yang memiskinkan dan menindas pekerja akibat UU Cipta Kerja yang membuat buruh kehilangan haknya, mulai dari sistem upah murah, fleksibilitas tenaga kerja untuk dalih investasi, pembiaran keselamatan pekerja industri yang terus menelan korban jiwa, sistem kerja mitra untuk ojek online dan hak-hak pekerja rumah tangga yang tak kunjung menemukan titik terang.

Kedelapan, pembajak legislasi, seperti UU ITE, Omnibus Law, Bank Tanah, Perppu Ormas, UU Minerba, hingga RKHUP yang mempersempit demokrasi dan meningkatkan kekerasan atas masyarakat sipil.

Kesembilan, militerisme dan militerisasi untuk mengamankan proyek investasi dengan label PSN, sehingga pemerintah mengirimkan TNI untuk melindungi proyek para pengusaha.

“Sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi banyak meninggalkan Nawadosa. Berangkat dari sini, rakyat akan menggugat Pemerintahan Rezim Joko Widodo dalam Mahkamah Rakyat. Pekan ini Mahkamah Rakyat akan memanggil secara resmi lewat surat dan tergugat harus menjawab panggilan kami,” ujar Meila Nurul Fajriah dari YLBHI.

Mahkamah Rakyat, kata Melia, akan dilaksanakan pada 5 Juni dan akan menghadirkan para tergugat, hakim dari mahkamah ini bukan dari Mahkamah Konstitusi, tapi hakim dari perwakilan masyarakat yang memang tahu kondisi faktual yang terjadi saat ini.