Sungai Kais Papua Barat Daya Dirusak Perkebunan Sawit
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Sawit
Selasa, 14 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembangunan perkebunan sawit tak hanya mendorong deforestasi dan menghilangkan keanekaragaman hayati, tapi juga mengakibatkan gangguan yang luas pada daerah aliran sungai (DAS). Hal tersebut diungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan di DAS Sungai Kais, yang mencakup Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya.
Dalam jurnal yang diterbitkan baru-baru ini di Science of the Total Environment, para peneliti yakni Briantama Asmara dan Timothy Randhir mengungkapkan, sekitar seperempat atau sekitar 61.195 hektare dari daerah aliran sungai tersebut telah berubah menjadi perkebunan sawit. Daerah aliran sungai ini juga merupakan salah satu tempat tinggal tertua yang masih dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat adat Papua.
Sementara banyak masyarakat adat yang bergantung pada air di bagian hilir untuk kebutuhan sehari-hari, penurunan kualitas air yang mencolok berpotensi memperburuk masalah kesehatan masyarakat di komunitas-komunitas adat.
"DAS Sungai Kais, seperti halnya banyak tempat di mana perkebunan sawit berada, sangat terpencil dan belum banyak diteliti," kata Randhir, dikutip dari Phys, 2 Mei 2024.
Asmara menambahkan, meskipun perusahaan sawit memiliki banyak data tentang pestisida yang mereka gunakan, waktu irigasi, masalah limpasan air, dan sebagainya, informasi tersebut tidak sampai kepada masyarakat hilir.
"Saya melakukan penelitian ini karena saya ingin mendapatkan data yang lebih baik dan tersedia untuk umum bagi masyarakat yang hidupnya paling terdampak," kata Asmara.
Asmara dan Randhir mengandalkan versi model daerah aliran sungai yang telah disempurnakan dan dikenal sebagai Soil and Water Assessment Tool (SWAT+) yang menilai bagaimana hidrologi suatu wilayah merespons berbagai skenario tata guna lahan. Mereka kemudian memasukkan data tutupan lahan, tanah, ketinggian, jaringan sungai, dan data iklim DAS Kais ke dalam model tersebut.
Tim ini membuat tiga skenario berbeda, yakni data dasar historis, menggunakan data tutupan lahan dari 2010-2015, skenario yang telah diubah, mewakili lanskap kontemporer dengan perkebunan sawit yang luas pada 2015-2021, dan skenario masa depan, perkiraan dari 2024 hingga 2034, yang mengasumsikan tingkat ekspansi perkebunan yang stabil dan juga mencakup perubahan data iklim selama 10 tahun ke depan.
Temuan mereka menunjukkan bahwa transisi dari hutan hujan tropis ke perkebunan kelapa sawit kontemporer telah meningkatkan curah hujan, limpasan air dan kelembaban tanah. Kualitas air telah memburuk secara dramatis sejak perkebunan dimulai, yang mana sedimentasi telah meningkat sebesar 16,9%, nitrogen sebesar 78,1%, dan fosfor sebesar 144%.
Meskipun dampak terburuk terhadap kualitas air akan sedikit berkurang sesuai dengan skenario tim di masa depan--di mana total tonase fosfor yang terbawa oleh daerah aliran sungai akan berkurang dari 2.418 ton menjadi 2.233,7 ton--kualitas air akan tetap jauh lebih buruk, dan limpasan air akan lebih banyak dibandingkan dengan sebelum hutan hujan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Masyarakat adat di bagian hilir yang bergantung pada sungai dan aliran air di daerah aliran sungai sangat rentan. Mereka menanggung semua biaya lingkungan dan kesehatan masyarakat, sementara perusahaan-perusahaan kelapa sawit internasional menuai hasilnya," kata Randhir.
"Namun, penelitian kami dapat membantu. Sekarang kita tahu apa yang dilakukan perkebunan kelapa sawit terhadap daerah aliran sungai, baik industri maupun pemerintah daerah dapat mengambil tindakan," kata Asmara.
Asmara dan Randhir menyarankan agar para pembuat kebijakan bekerja untuk membatasi penggunaan pestisida, terutama selama periode banjir, melakukan pemantauan kualitas air secara terus menerus, menjaga daerah penyangga sungai, dan yang paling penting, memastikan bahwa masyarakat di daerah hilir memiliki akses terhadap informasi kualitas air yang terkini.