Konflik Kemitraan PT HIP dan Petani Plasma Masih Berlanjut

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Kamis, 16 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Lima desa sawit di sekitar PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP), Buol, Gorontalo, masih bergolak. Sejak awal Januari 2024, petani di lima desa pemilik lahan plasma melakukan aksi penghentian sementara operasional kebun plasma. Atas tindakan tersebut, pihak perusahaan diduga merespon dengan pengerahan aparat berlebihan hingga ancaman kriminalisasi terhadap petani. 

Fatrisia Ain, Perwakilan Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan, kini terjadi konflik horizontal yang melibatkan para petani plasma dengan kelompok orang yang mengaku sebagai buruh PT HIP yang dibantu puluhan satuan pengamanan. Hal ini, kata Fatrisia, dipicu oleh upaya panen dan pengangkutan paksa tandan buah segar (TBS) dari kebun plasma milik masyarakat ke pabrik pengolahan sawit milik PT HIP. “Insiden ini mengakibatkan terjadinya kekerasan, cedera, serta luka-luka yang menimpa petani plasma dan buruh perusahaan,” kata Fatrisia, dikutip Rabu, 15 Mei 2024.

Fatrisia menyatakan, petani plasma yang terikat kerjasama dalam skema inti-plasma dengan PT HIP selama ini tidak mendapatkan bagi hasil yang adil, reguler, dan berkesinambungan dari perusahaan. Petani terus melakukan perjuangan dan melakukan berbagai upaya, namun tidak juga membuahkan hasil yang memuaskan. “Perusahaan tetap mengabaikan kami, dan pemerintah juga melakukan pembiaran atas ketidakadilan kerjasama yang dijalankan oleh perusahaan terhadap petani,” ungkap Fatrisia. 

Fatrisia menambahkan, tanpa membuka ruang musyawarah untuk memecahkan masalah secara baik dan saling menguntungkan, perusahaan justru melakukan upaya buka paksa hingga melibatkan aparat dari kepolisian, khususnya di kebun plasma di desa Balau. Puncaknya pada panen dan pengangkutan paksa yang dilakukan pihak perusahaan tanggal 7 dan 10 Mei 2024, yang akhirnya berujung bentrok antara pihak petani dan pihak buruh.

Petani pemilik lahan plasma melakukan aksi penghentian sementara operasional kebun plasma yang bermitra dengan perusahaan sawit. Foto: Istimewa

Budianto Eldist Daud Tamin, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buol Pogogul Justice mengatakan, pihaknya mulai melakukan pendampingan terhadap petani plasma sejak tahun 2018. "Sepanjang pengetahuan kami," kata Budi, "Mayoritas petani tidak mendapatkan bagi hasil dari setiap penjualan TBS yang dihasilkan dari lahan plasma, terutama sejak tahun 2018." 

“Sebelum tahun 2018, memang ada beberapa petani dan koperasi yang mendapatkan bagi hasil, namun tidak semuanya,” ungkap Budi. 

Budi menyebut, ada 3 indikasi permasalahan opini hukum yang ditemukan. Pertama, berdasarkan dokumen laporan perhitungan TBS yang dimiliki oleh Masyarakat, terdapat beban biaya operasional yang sangat besar dan dinilai tidak wajar, sehingga perlu dilakukan tindakan audit. 

Kedua, terdapat beban management fee yang dilimpahkan sebagai komponen biaya yang membebani penerimaan masyarakat dan perlu untuk diselidiki. Ketiga, terdapat pernyataan utang investasi dalam notulensi rapat dan perhitungan laba-rugi yang menimbulkan pernyataan utang yang luar biasa besarnya, sehingga sangat membebani masyarakat anggota koperasi.

“Kami menilai dengan dokumen bukti yang ada di setiap laporan perhitungan TBS sebelum tahun 2018, biaya langsung dan tidak langsung telah dimasukkan dalam setiap penjualan TBS, dan kami mendapatkan fakta bahwa dalam Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) tidak mengatur atau tidak ada satu klausul yang menyebut adanya tambahan utang investasi selain utang bank dan dana talangan,” ungkap Budi.