11 Tahun Putusan MK, Pengakuan Wilayah Adat Masih Berbelit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Jumat, 17 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kurang lebih 11 tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.35/PUU/IX/2012 (Putusan MK.35) sudah menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Tapi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Indonesia masih berbelit. Demikian menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Dalam seminar nasional bertajuk "11 Tahun Putusan MK 35 dan Pemenuhan Hak Konstitusional Masyarakat di Indonesia" yang digelar di Rumah AMAN, Senin kemarin, Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, political will pemerintah dalam memenuhi hak-hak masyarakat adat masih sangat rendah. Pemerintah juga masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas.

"Semua ini tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat adat. Bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan,” kata Rukka, dalam dalam sebuah rilis, Selasa (14/5/2024).

Rukka mengatakan AMAN bersama organisasi masyarakat sipil lainnya telah mengajukan berbagai usulan perubahan kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat adat. Namun, tidak mendapatkan respon dari pemerintah.

Perwakilan masyarakat adat Papua dari suku Awyu yang mengenakan cat tubuh tradisional dan hiasan kepala burung cendrawasih bergabung bersama para aktivis, melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan Jakarta, 11 Mei 2023 kemarin. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Masyarakat adat di Indonesia, Rukka melanjutkan, saat ini masih harus berhadapan dengan pengakuan wilayah adat dengan sistem administrasi berbelit-belit serta kriminalisasi dan perampasan wilayah adat. Padahal, selama bertahun-tahun AMAN menyuarakan pentingnya hutan adat dikembalikan ke masyarakat adat sebagai pemilik hak.

“Bukannya direspons baik oleh pemerintah, namun yang terjadi justru perampasan hutan adat terus terjadi hingga kini,” ujarnya.

Rukka memaparkan, data yang dihimpun dari 2014 hingga Maret 2024 menunjukkan terjadinya perampasan wilayah hutan adat seluas 11,78 juta hektare. Yang mana, di balik peristiwa perampasan wilayah hutan adat tersebut ada 925 orang masyarakat adat yang menjadi korban tindak kriminalisasi.

Menurutnya, kriminalisasi ini seringkali terjadi sebagai bentuk intimidasi dan modus ketika masyarakat adat mempertahankan wilayah adatnya dari perampasan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

"Kriminalisasi selalu motifnya perampasan atau pengusiran dari wilayah adat,” kata Rukka.

Rukka berharap pemerintah periode yang baru nanti dapat merumuskan kebijakan strategis untuk kesejahteraan masyarakat adat, salah satunya fokus mengembalikan wilayah adat yang telah dirampas.

"Kita ingin wilayah adat yang telah dirampas agar segera dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” tutur Rukka.

Implementasi pengelolaan hutan di wilayah adat masih jauh dari harapan

Deputi II Sekjen AMAN Bidang Advokasi dan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Erasmus Cahyadi, menyatakan bahwa 11 tahun pasca-putusan MK35 tentang hutan adat, implementasi pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan di wilayah adat masih jauh dari harapan.

Eras mencontohkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan, yang intinya mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan. Menurutnya, ini sudah pembelokan dari putusan MK.35.

“Perlahan-lahan, norma-norma dibelokkan secara halus. Seolah-olah masyarakat adat baru ada jika ada Perda (peraturan daerah),” kata Eras.

Eras juga menyoroti sikap negara, yang alih-alih memastikan pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat adat, malah justru melahirkan banyak peraturan yang membahayakan masyarakat adat. Peraturan tersebut di antaranya Undang-Undang (UU) Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang hanya mengakomodasi Hak Pengelolaan (HPL), UU Cipta Kerja, dan sebagainya.

“Dari sini terlihat memang negara tidak mau ada putusan MK.35, tidak mau mengimplementasikan dengan cara-cara yang berbeda dari skenario sekarang. Pengakuan dibuat sedemikian rupa agar lebih sulit,” ucapnya.

Putusan MK.35 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 itu merupakan hasil judicial review terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang memberikan koreksi fundamental terhadap pengakuan masyarakat adat beserta hak atas hutan adat di wilayah adatnya.

Ada dua hal penting yang diatur dalam putusan MK.35 ini, yaitu menegaskan masyarakat adat sebagai subjek hukum (penyandang hak) atas wilayah adatnya, dan menyatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat yang berada di dalam wilayah adatnya.

Eras berpendapat, sejatinya putusan MK.35 ini semakin menegaskan urgensi keberadaan UU Masyarakat Adat. Menurutnya, masyarakat adat memerlukan UU yang dapat mengatasi masalah sektoralisme, perampasan wilayah adat, kriminalisasi, dan mengatur proses pengakuan bagi masyarakat adat.

“Tidak ada cara lain selain terus mengingatkan negara. Inilah yang dilakukan AMAN saat ini, menggugat atas kesengajaan dan kelalaian negara, sekaligus mendesak untuk segera mengesahkan UU MA,” katanya.