Gugatan Ditolak PTUN, Masyarakat Adat akan Terus Tagih UU

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Senin, 20 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kabar tidak menyenangkan bagi masyarakat adat datang dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan masyarakat adat terhadap DPR RI dan Presiden RI, terkait pembentukan undang-undang (UU) masyarakat hukum adat, di pengadilan tersebut, tidak diterima.

Namun begitu, para penggugat, yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan empat anggota beberapa komunitas adat, menyatakan tidak akan patah arang. Mereka akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, dengan semangat tetap menagih pembentukan undang-undang tentang masyarakat hukum adat.

"Kami banding dan melakukan berbagai upaya hukum di semua tingkatan yang tersedia secara hukum dan konstitusi. Para penggugat dan masyarakat adat di Indonesia akan tetap menuntut kepada negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya untuk membentuk UU masyarakat adat," kata Syamsul Alam Agus, Kuasa Hukum para penggugat, dalam perkara itu, Jumat (17/5/2024).

Syamsul yang juga Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), menganggap Majelis Hakim PTUN yang mengadili perkara No. 542/G/TF/2023/PTUN.JKT itu membenarkan atau setuju atas sikap atau tindakan negara yang mengabaikan permohonan masyarakat adat di Indonesia untuk membentuk undang-undang tentang masyarakat hukum adat.

Suasana sidang lanjutan gugatan masyarakat adat melawan DPR RI dan Presiden RI, di PTUN Jakarta, Kamis (29/2/2024). Foto: AMAN.

PTUN sebagai kontrol terhadap penyelenggaraan fungsi pemerintahan berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, lanjut Syamsul, telah membuktikan diri gagal menjalankan amanat UU dimaksud. "PTUN Jakarta yang mengadili perkara gagal menjadi sarana bagi pencari keadilan untuk mewujudkan hak-hak konstitusionalnya," ucapnya.

Sehari sebelumnya, Majelis Hakim PTUN Jakarta, yang terdiri dari Novy Dewi Cahyati sebagai Hakim Ketua, Ridwan Akhir sebagai Hakim Anggota dan Fajri Citra Resmana sebagai Hakim Anggota, dalam amar putusan perkara tersebut menyatakan menerima eksepsi dari Tergugat I (DPR RI) tentang objek gugatan bukan termasuk keputusan badan atau pejabat tata usaha negara dan eksepsi Tergugat II (Presiden RI) tentang eksepsi kompetensi absolut.

"Menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima. Menghukum para penggugat membayar biaya perkara sejumlah Rp340 ribu," bunyi amar putusan perkara nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT, yang dibacakan secara elektronik, Kamis (16/5/2024).

Sebelumnya, 25 Oktober 2023, AMAN dan 4 anggota beberapa komunitas masyarakat adat, menggugat DPR RI dan Presiden RI ke PTUN Jakarta, karena dianggap tidak serius dan abai terhadap permohonan pembentukan UU tentang masyarakat hukum adat.

AMAN dan para penggugat lainnya meminta Majelis Hakim PTUN menyatakan tindakan administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh para tergugat, berupa tindakan penundaan berlarut yang dilakukan oleh para tergugat untuk membentuk UU tentang masyarakat hukum adat, sikap diam para tergugat atas pembentukan UU tersebut adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Para penggugat ingin Majelis Hakim PTUN Jakarta mewajibkan para tergugat untuk membuat surat pernyataan yang berisi kesediaan membentuk UU tentang masyarakat hukum adat, mewajibkan para tergugat untuk membahas dan menetapkan UU masyarakat hukum adat selambat-lambatnya dalam masa sidang akhir DPR RI tahun 2024.

Kemudian mewajibkan para tergugat melaksanakan konsultasi yang bermakna dengan para penggugat untuk mendapatkan masukan substansi rancangan UU masyarakat adat, mewajibkan para tergugat untuk melaksanakan putusan ini selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak putusan ini diucapkan, dan menghukum para tergugat membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.