Deforestasi dan Rabies Ternyata Teman Baik

Penulis : aryo bhawono

Deforestasi

Minggu, 19 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Deforestasi ternyata dapat meningkatkan persebaran penyakit rabies. Bukan hanya itu, hilangnya hutan tropis juga berpotensi meningkatkan penularan penyakit lainnya hingga memunculkan patogen baru. 

Penelitian para ahli ekologi penyakit di Emory University menyebutkan, deforestasi di Kosta Rika meningkatkan risiko penularan rabies dari kelelawar vampir pada ternak. Ketua Departemen Ilmu Lingkungan Emory University, Thomas Gillespie, yang juga menjadi penulis senior penelitian ini menyebutkan hutan tropis memiliki keanekaragaman yang fenomenal.

Kekayaan keanekaragaman hayati ini tidak hanya pada tanaman dan mamalia seperti monyet dan kelelawar, namun juga pada mikroorganisme.

“Ketika anda menghancurkan sebagian hutan, keanekaragaman hayati akan menurun dan dinamika penularan penyakit dapat berubah sehingga mengarah pada munculnya patogen baru atau munculnya kembali patogen yang sudah ada," ucap dia seperti dikutip dari Phys pada Jumat (17/5/2024). 

Ilustrasi Deforestasi di Indonesia. (Dok. Auriga)

Selama ini perekonomian Kosta Rika bergantung pada ekowisata. Data The Global Alliance of National Parks menulis, sekitar 25 persen wilayah negara itu berada dalam Sistem Kawasan Konservasi Nasional, persentase kawasan lindung terbesar di dunia.

Namun pertanian juga merupakan sektor ekonomi yang penting dan seringkali merambah kawasan hutan tropis yang tidak dilindungi. Peternakan mencakup sekitar 38 persen wilayah negara tersebut.

“Namun, di beberapa daerah di negara ini, mengalami tingkat deforestasi yang tinggi akibat pembukaan lahan untuk keperluan pertanian. Ini adalah dikotomi yang besar,” kata Gillespie.

Sedangkan rabies adalah penyakit virus yang paling sering ditularkan melalui gigitan mamalia. Kampanye vaksinasi sangat efektif dalam mencegah wabah rabies pada anjing di Kosta Rika. Namun, virus ini terus muncul kembali pada hewan ternak dan disebarkan oleh kelelawar vampir.

Satwa ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis di Amerika Tengah dan Selatan, mereka menghisap darah. Berbeda dengan kelelawar lainnya, mereka bisa berjalan—dan bahkan berlari di darat. Mereka makan di malam hari, diam-diam mendekati mamalia yang sedang tidur.

Gigi setajam silet dan sepresisi pisau bedah memungkinkan kelelawar membuat sayatan pada hewan, misalnya pada bagian kaki sapi, tanpa hewan tersebut merasakannya. Antikoagulan dalam air liur kelelawar vampir menjaga darah tetap mengalir saat kelelawar memakan makanannya.

Para peneliti ingin lebih memahami faktor-faktor yang terkait dengan wabah rabies pada sapi di Kosta Rika.

Mereka mengambil data Layanan Kesehatan Hewan Nasional Kosta Rika untuk memetakan waktu dan lokasi wabah rabies pada sapi dari tahun 1985 hingga 2020 di wilayah utara dan selatan negara, di lokasi hutan tropis yang telah dibuka untuk pertanian. Data ini dikompilasikan dengan data penggunaan lahan pada waktu yang sama untuk lokasi wabah dalam radius 10 kilometer, yang merupakan rentang pencarian makan maksimum bagi kelelawar vampir.

Perangkat lunak sistem informasi geografis pun menghasilkan estimasi probabilitas spasial berdasarkan wabah yang diketahui.

Hasilnya, ada hubungan antara lokasi habitat hutan dan wabah penyakit. Setiap peningkatan jarak satu kilometer dari hutan meningkatkan kemungkinan wabah sebesar 4 persen.

Para peneliti berteori berkurangnya ketersediaan tempat bertenggernya kelelawar di habitat hutan meningkatkan preferensi kelelawar vampir untuk memangsa ternak, dibandingkan mamalia liar.

“Kami menemukan kemungkinan tertinggi terjadinya wabah rabies di Provinsi Puntarenas di selatan, yang menunjukkan perlunya intervensi pencegahan dan lokal di wilayah tersebut untuk menghindari munculnya kembali rabies pada manusia,” kata ahli eko-epidemiologi di Departemen Ilmu Lingkungan dan Ilmu Lingkungan Emory, Julie Clennon.

Banyak penelitian dengan pola serupa menunjukkan hubungan perusakan hutan tropis dengan munculnya kembali penyakit. Misalnya saja munculnya kembali virus hanta di Amazon yang terkait dengan produksi kedelai dan munculnya kembali virus Lassa di Afrika Barat, yang terkait dengan produksi minyak kelapa sawit.

Penelitian sebelumnya menunjukkan pergeseran preferensi makan kelelawar vampir akibat perubahan penggunaan lahan oleh manusia di Kosta Rika mengubah komunitas mikroba usus dan sistem kekebalan tubuh kelelawar. Pergeseran tersebut berpotensi membuat kelelawar lebih rentan terhadap patogen dan lebih mungkin menyebarkannya.

“Ketika pemerintah mengambil keputusan mengenai perubahan penggunaan lahan dalam skala besar, mereka perlu mempertimbangkan potensi kemunculan atau kemunculan kembali penyakit, serta potensi peningkatan emisi gas rumah kaca,” kata Gillespie.

Selain hubungannya dengan perusakan habitat alami, sapi dan hewan ruminansia lainnya mengeluarkan metana, gas rumah kaca yang kuat, saat mereka mencerna rumput. Dan gas rumah kaca dinitrogen oksida dikeluarkan dari kotoran hewan ruminansia.

“Sebagai individu, anda mungkin ingin mengurangi konsumsi daging sapi sebanyak mungkin untuk meningkatkan kesehatan anda sendiri dan bumi. Saat ini kita menggunakan sumber daya alam dengan kecepatan yang tidak berkelanjutan,” ucap dia.