Sungai Nasional yang Bebas Mikroplastik Sisa 2%

Penulis : Gilang Helindro

SOROT

Senin, 03 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ismail pagi itu terpaksa membeli beberapa galon air isi ulang demi memenuhi kebutuhan seperti mandi, memasak, dan keperluan lainnya. Ismail salah satu pengguna air dari PDAM di Perumahan SMS Kelurahan Harapan Jaya, Bekasi Utara. Ismail beberapa kali mengeluhkan pasokan air di rumahnya.

Ismail mengaku, air PAM yang mengalir ke rumah sesekali bersih, namun tiba-tiba menjadi keruh dan bercampur dengan air bersih.

“Kualitas air begini gak bisa diprediksi, kadang sampai kecoklatan, dan kadang kotoran sampai hitam, sampai debit air kecil, tapi biasanya air sungai menjadi penanda, jika mulai berbusa siap siap air di rumah kotor,” kata Ismail, Kamis, 23 Mei 2024.

Kadang, kata Ismail, ia harus minta ke tetangga untuk mendapatkan air bersih, kadang terpaksa mencuci pakaian di laundry dan membeli makanan karena air tak layak masak. “Keperluan pun bertambah, mulai dari laundry pakaian, sampai beli makanan untuk sehari-hari,” ungkap Ismail.

Uji Kualitas air limbah Pabrik Mega Surya Eratama di Kali Porong-Sodetan Sungai Brantas. Foto: Ecoton

Penyebabnya adalah pencemaran Kali Bekasi, yang berimbas pada terganggunya pasokan air bersih yang dikelola Perumda Tirta Patriot. Akibatnya, banyak warga Bekasi yang mengeluhkan kekurangan air bersih. Mereka kesulitan mandi, buang air, masak bahkan sekadar untuk mencuci tangan karena airnya yang keruh dan berbau. 

Demi menjaga pasokan dan pelayanan air bersih ke masyarakat tetap lancar, salah satu upaya dilakukan Perumda Tirta Patriot adalah menyuplai air bersih menggunakan tangki air. Namun pendistribusian air dari lima tangki air tersebut tidak cukup untuk pelanggan yang tersebar di berbagai wilayah.

Darurat Sampah Plastik, Sungai di Indonesia Tercemar

Kondisi sungai di Kota Mataram, NTB, yang banyak sampah plastik. kredit foto: Ecoton

Bukan hanya di Bekasi--salah satu kota satelit Jakarta--yang sungainya tercemar. Salah satu pencemar yang paling melimpah--dan belakangan diketahui sebagai salah satu yang terjahat--adalah sampah plastik. Menurut Ecoton, hampir seluruh sungai di Indonesia darurat sampah ini, setelah lembaga pembela sungai ini melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara pada akhir 2022. Dalam ekspedisi ini mereka melakukan penelitian di 68 sungai strategis nasional. Hasilnya, 98 persen sungai-sungai nasional itu tercemar mikroplastik.

Mikroplastik adalah sampah plastik yang terfragmentasi sehingga ukurannya sangat kecil, berukuran kurang dari 5 milimeter. 

Ecoton juga melakukan survei persepsi masyarakat terhadap sungai Indonesia, dengan jumlah responden 1148 orang di 166 kota di 30 provinsi, untuk merekam pendapat masyarakat. Hasilnya, 82 persen responden mengatakan pemerintah abai dalam mengelola sungai. Bahkan, di DAS Bengawan Solo, warga menganggap sungai Bengawan Solo adalah tepat sampah--tempat sampah terpanjang di dunia, mungkin.  

Temuan tersebut disampaikan Ecoton dalam World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Menurut Alaika Rahmatullah, Koordinator Audit Sampah Ecoton, forum yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Asia Tenggara ini merupakan momentum penting bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam memperbaiki pengelolaan sumber daya air dan tata kelola lingkungan. Ironisnya, mengutip hasil penelitian lembaganya, itu tadi, pemerintah kurang menunjukkan perhatian dan komitmennya dalam masalah pencemaran sungai dan mikroplastik. "Sungai saat ini telah berubah menjadi tempat sampah, karena minimnya akses dan pelayanan di sebagian besar daerah,” kata Alaika.

Prigi Arisandi, sejawat Alaika di Ecoton, menambahkan bahwa temuan dalam Ekspedisi Sungai Nusantara menunjukkan sungai-sungai di Indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan. Ini bukan cuma masalah lingkungan, tetapi juga masalah kesehatan bagi masyarakat yang bergantung pada sungai-sungai ini untuk kebutuhan sehari-hari.

Prigi menyatakan, banyak air sungai di Indonesia menjadi bahan baku PDAM. Namun, kontrol pemerintah masih lemah sehingga banyak industri membuang limbahnya sembarangan di sungai. Demikian pula dengan limbah domestik. Banyaknya timbulan sampah ini, ujarnya, berpotensi menyumbang kontaminasi mikroplastik yang beresiko pada kesehatan manusia dalam jangka panjang. 

“Hal ini mengancam krisis air bersih karena masyarakat sampai saat ini mengkonsumsi air yang terkontaminasi partikel mikroplastik, yaitu partikel hasil fragmentasi sampah plastik yang berukuran kurang dari 5 mm,” kata Prigi. 

Mikroplastik di sungai telah terbukti merusak rantai makanan. Penelitian Ecoton telah menemukan mikroplastik di air, sedimen, ikan, udang, bahkan di kotoran manusia yang hidup di bantaran sungai. Dalam kotoran manusia berarti mikroplastik itu termakan manusia. Ke mana saja plastik-plastik kecil ini bepergian di dalam tubuh?

Salah satu penelitian terbaru menemukan, mikroplastik ditemukan pada testis. Testis adalah pabrik pembuat sperma. Impaknya? Para penelitianya khawatir, mikroplastik ini mungkin menjadi penyebab menurunnya kesuburan laki-laki. 

Mikroplastik juga berperan sebagai transportasi racun dan senyawa dalam plastik termasuk senyawa pengganggu hormon seperti ftalat dan bisphenol yang salah satu dampaknya pada tubuh manusia adalah dapat memicu kanker.  

Selain itu, kali ini menurut Tasya Husna, peneliti sensus ikan Ecoton, mikroplastik membuat ikan menjadi intersex, sehingga bisa punah dalam jangka panjang. Data dari sensus ikan sungai Brantas yang dilakukan oleh Ecoton menunjukkan penurunan keanekaragaman ikan lokal di tahun 2023, di mana hanya ditemukan 7 spesies ikan lokal. Jumlah ini berkurang drastis dibandingkan dengan data 10 tahun lalu. "Belasan spesies sudah tidak ditemukan kembali," kata dia.

 “Ekosistem sungai, jika airnya tidak mendukung dapat menyebabkan ikan bermigrasi ke tempat yang lain, bahkan bisa menyebabkan ikan mati dan punah jika pengelolaan sungai tidak baik,” ungkap Tasya.

Indonesia, ujarnya, memiliki kesempatan untuk belajar dari praktik terbaik negara lain dalam pengelolaan sumber daya air dan lingkungan. Diharapkan hasil dari World Water Forum dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik dan implementasi yang kuat di masa depan. 

Pemerintah Indonesia harus melihat itu sebagai panggilan untuk beraksi, berkolaborasi antar elemen masyarakat. Upaya pemulihan sungai, pengurangan plastik sekali pakai, memfokuskan anggaran APBD dan APBN untuk pengelolaan sungai, memaksimalkan penegakan hukum bagi industri/perusahaan yang mencemari sungai, kata Tasya, harus menjadi prioritas utama. "Dengan komitmen dan tindakan nyata, Indonesia harus optimis dan bisa memperbaiki kondisi sungai dan lingkungannya sehingga dapat mewujudkan lingkungan yang bersih, sehat bagi generasi mendatang."

Target Pemerintah Terhadap Akses Air Layak Konsumsi

Warga mengantre bantuan air saat kekeringan melanda Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada 2019. Foto: Istimewa

Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan dalam keterangan resminya mengatakan, untuk menjamin semua masyarakat mempunyai akses terhadap air minum yang layak dan aman, pemerintah Indonesia menargetkan 100 persen akses air minum layak dan 15 persen akses air minum aman pada tahun 2020-2024.

Masalahnya, keberadaan mata air dan air tanah pada saat ini terus berkurang. Pemakaian air tanah juga sudah harus mulai dibatasi atau bahkan dihentikan sehubungan dengan masalah penurunan muka tanah. Namun, permasalahan air tidak hanya dari sisi kuantitas tapi juga dari sisi kualitas air yang banyak diakibatkan oleh pencemaran lingkungan. Salah satunya berkaitan dengan layanan akses sanitasi yang belum layak dan perilaku buang air besar sembarangan (BABS). “Hal ini perlu menjadi perhatian kita agar semua aspek pembangunan khususnya penyediaan layanan dasar dan perilaku higiene sanitasi perlu kita pastikan keberlanjutannya untuk budaya hidup bersih dan sehat,” kata Maxi, dikutip Jumat, 24 Mei 2024.

Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) tahun 2020 menyatakan bahwa akses kualitas air minum aman sebesar 11,9 persen, dan 40,8 persen masyarakat yang menggunakan sarana air minum bersumber dari air tanah (selain sarana air minum perpipaan dan depot air minum). Selain itu sebanyak 14,8 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan sumur gali untuk keperluan minum dengan tingkat risiko cemaran tinggi dan amat tinggi. 

Sebagian besar hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas air yang buruk mencakup sumber air minum unimproved ternyata juga berkaitan dengan peningkatan stunting pada balita.

“Hal ini terjadi karena air mengandung mikroorganisme patogen dan bahan kimia lainnya yang menyebabkan anak mengalami penyakit diare yang menyebabkan environmental enteric dysfunction,” kata Maxi.

Tindak lanjut pelaksanaan SKAMRT adalah dilakukan surveilans kualitas air minum rumah tangga di 34 provinsi di 34 kabupaten/kota. Tujuannya untuk menilai secara berkelanjutan dari upaya meminimalisasi kejadian penyakit berbasis lingkungan.

Maxi meminta masyarakat untuk bijak menggunakan air tanah dan menjaga kualitasnya dengan menghentikan praktik BABS terbuka dan terselubung. “Jaga dan sediakan akses air minum yang berkualitas sampai dengan point of use baik di rumah tangga maupun seluruh sasaran tempat fasilitas umum, tempat kerja, tempat wisata, serta lokasi strategis lainnya,” ungkap Maxi.

Citarum pun Batal Harum

Foto udara limbah pabrik yang dibuang di Daerah Aliran Sungai (DAS) citarum, Rancamanyar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Antara

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat (Walhi Jabar) mengungkapkan sejumlah fakta kegagalan Program Citarum Harum yang belum mampu memulihkan kualitas air Sungai Citarum. Berkaitan dengan kegagalan tersebut, Walhi Jabar meminta pemerintah tidak memberi toleransi lagi bagi pelaku perusakan dan pencemaran DAS Citarum. 

Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin dalam keterangan resminya mengatakan berbagai jurus telah dikeluarkan pemerintah sebagai terobosan untuk merevitalisasi Sungai Citarum. Mulai dari program pemerintah daerah Citarum Bergetar (2004) dan Citarum Bestari (2014), hingga Citarum Harum (2018) yang langsung melibatkan pemerintah pusat. Namun, program ini belum bisa dikatakan berhasil dan membawa harum nama baik Jawa Barat di kancah nasional, apalagi di level internasional.

Citarum masih terkategori sungai yang tercemar berat. Maka, ujar Wahyudin, dikutip Senin 27 Mei 2024, pemerintah pusat yang dengan bangga menjadikan Sungai Citarum sebagai showcase di World Water Forum (WWF) sangatlah keliru. “Fakta di lapangan, Citarum belum banyak yang berubah. Sederhananya program Citarum Harum bisa dikatakan belum mampu mengubah Citarum menjadi sungai yang bersih,” kata Wahyudin.

Walhi Jabar mengungkap ada beberapa permasalahan dalam program Citarum Harum. Pertama, pencemaran limbah B3 oleh industri masih kerap terjadi. Mulai di hulu, tengah, hingga hilir. Sementara itu penegakan hukum masih lemah bagi pelaku pembuangan limbah.

Selanjutnya, kawasan hulu di Nol Kilometer Citarum masih kritis. Angka lahan kritis di zona hulu bukannya menyusut, malah cenderung meningkat. “Klaim reforestasi lahan kritis di hulu kami pertanyakan. Kawasan mana yang telah berhasil direforestasi, lantaran banjir bandang dan banjir lumpur masih kerap terjadi. Terakhir, banjir di hulu telah menelan satu korban meninggal,” ungkap Wahyudin.

Menurut Wahyudin, akuntabilitas dan transparansi anggaran program Citarum Harum juga tidak ada. Padahal, program Citarum Harum memiliki dukungan biaya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN). Namun, informasinya pada halaman website PPK DAS tidak transparan. "Seharusnya, detail penggunaan anggaran untuk setiap implementasi rencana aksi yang sudah terencana patut ada pertanggungjawaban."

Persoalan sampah juga belum tuntas terselesaikan. Sampah yang masuk ke sungai memang telah menurun dan gunungan sampah tidak lagi menjadi momok. Akan tetapi, lanjut Wahyudin, adalah keliru jika itu diklaim sebagai "telah dapat mengatasi masalah sampah".

“Faktanya anak sungai dan Sungai Citarum masih menjadi media untuk membuang sampah domestik, terutama hal tersebut dapat terlihat pada saat musim hujan,” ungkap Wahyudin.

Karena itu, Walhi Jabar menyarankan pemerintah untuk segera mengidentifikasi persoalan di segmen hulu, tengah, dan hilir Citarum. Pemerintah juga perlu segera menjalankan penegakan hukum bagi pelaku pencemaran dan pelaku perusak lingkungan.