Lawan Sawit, Suku Awyu dan Moi Berharap Keadilan dari MA
Penulis : Oskar Ugipa
Masyarakat Adat
Selasa, 28 Mei 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembela lingkungan hidup dari Suku Moi, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, dan Suku Awyu, Boven Digoel, Papua Selatan, mendatangi gedung Mahkamah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5). Kedatangan tersebut untuk meminta Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.
Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu. Turun memberikan dukungan mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, pembela lingkungan hidup dari Marga Woro, Suku Awyu.
Hendrikus menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, yang berlokasi di hutan adat Marga Woro.
Gugatan Hendrikus di pengadilan tingkat pertama dan kedua kandas. Kasasi di Mahkamah Agung menjadi harapannya yang masih tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun.
Sejumlah masyarakat adat Awyu lainnya juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan melakukan ekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR sebelumnya telah kalah di PTUN Jakarta, namun mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu.
Ini merupakan aksi kedua kalinya Suku Auwyu. Sebelumnya mereka pernah melakukan hal yang sama di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado, untuk mendukung banding yang dilayangkan Hendrikus Woro bersama masyarakat adat Suku Auwyu pada 1 Maret 2024.
Sementara itu, Suku Moi dari Sub Suku Sigin sedang melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.
“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu; hutan adalah apotek bagi kami; kebutuhan kami semua ada di hutan. Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi.
Menurut Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat, keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.
“Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi. Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi tapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” ujarnya.
Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Dan meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum.
“Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua. Kami mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim,” kata Sekar.
Greenpeace dan Pusaka Bentala adalah anggota Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua yang mendampingi perjuangan Suku Awyu dan Moi.
Gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun.
Adapun perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.