Divonis Bayar Rp3 M, Petani Bengkulu Mengemis Keadilan Sampai MA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Rabu, 29 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tiga Petani Tanjung Sakti Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, mencari keadilan hingga ke Mahkamah Agung (MA). Mereka merasa vonis bayar Rp3 miliar yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Bengkulu, dalam kasus sengketa lahan dengan PT DDP, tidaklah adil.

“Masih adakah keadilan di negeri ini? Karena kedua putusan pengadilan ini mencerminkan bahwa keadilan itu jauh bagi kami rakyat kecil, hukum di Indonesia ini benar-benar tumpul ke atas dan tajam ke bawah, itu yang saat ini kami rasakan,” kata Harapandi, Senin (27/5/2024). Ia adalah salah satu dari tiga petani Tanjung Sakti yang digugat PT DDP. Dua lainnya yakni Rasuli, dan Ibnu Amin.

Pada 5 Maret 2024, PN Mukomuko mengeluarkan putusan dengan Nomor: 6/PDT.G/2023/PN MKM yang intinya menyatakan Haripandi, Rasuli, dan Ibnu Amin melakukan perbuatan melawan hukum. Kanopi Hijau Indonesia, yang selama ini mendampingi para petani Tanjung Sakti menganggap putusan tersebut merugikan petani dan terkesan menguntungkan pihak perusahaan.

Karena pada proses persidangan PT DDP tidak dapat menunjukkan legalitas dan tidak dapat dibuktikannya kerugian oleh PT DPP. Sesuai Pasal 1365 KUHPerdata, hal tersebut menunjukan bahwa unsur perbuatan melawan hukum yang dijatuhkan kepada 3 Petani Tanjung Sakti itu tidaklah terpenuhi, sesuai pasal 1365 KUHPerdata.

Suasana sidang gugatan PT DDP terhadap petani Tanjung Sakti dengan pemeriksaan saksi dan melihat hasil pengambilan titik koordinat, digelar di PN Mukomuko, 28 November 2023 kemarin. Foto: Istimewa.

"Seharusnya hakim pada Pengadilan Negeri Mukomuko menolak gugatan dari PT DDP. Atas kekecewaan ini, petani akhirnya menyatakan Banding," kata Ali Akbar, Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia.

Tetapi di tingkat banding, pada 14 Mei 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu dalam putusan Nomor Perkara: 8/PDT/2024/PT BGL, malah menguatkan putusan PN Mukomuko dan menghukum petani untuk membayar ganti rugi kepada PT DDP sebesar Rp3 miliar, secara tanggung renteng masing-masing Rp1 miliar.

Ali Akbar menilai, putusan tersebut tidak sepatutunya dijatuhkan kepada Harapandi, Rasuli dan Ibnu Amin. Karena PT DPP tidak memiliki dasar yang cukup untuk dinyatakan memiliki kerugian, sehingga tidak ada dasar hakim menetapkan kerugian PT DPP dan mengganjar 3 petani itu untuk membayar ganti rugi.

Merasa tidak mendapatkan keadilan, Harapandi, Rasuli, dan Ibnu Amin kemudian bersepakat mengajukan permohonan Kasasi ke MA melalui PN Mukomuko pada Senin, 27 Mei 2024.

“Hari ini kami kembali datang ke PN Mukomuko untuk menyatakan kasasi sebagai bentuk kekecewaan yang telah berkali-kali kami rasakan atas putusan hakim Pengadilan Negeri Mukomuko dan Pengadalilan Tinggi Bengkulu,” kata Harapandi.

Menurut Ali, kasus 3 petani Tanjung Sakti ini terjadi gara-gara tidak adanya perhatian atau upaya dari Pemerintah Kabupaten Mukomuko dan Provinsi Bengkulu, dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara petani dan PT DDP.

Sebab tak hanya dengan para petani Tanjung Sakti saja, PT DDP juga berkonflik masyarakat atau petani lainnya di beberapa wilayah lain, seperti, kelompok petani Maju Bersama di Kecamatan Malin Deman, dan Koalisi Masyarakat Sipil di Kecamatan Air Berau, yang dalam kasusnya hampir sama yaitu ketidakpastian kepemilikan izin usaha perkebunan PT DDP.

Menurut kronologi yang disampaikan Kanopi, sengketa lahan antara kelompok petani Tanjung Sakti dan PT DDP ini sudah berlangsung kurang lebih tiga tahun. Awalnya para petani melihat lahan kebun yang tidak terurus dan mempertanyakan status lahan itu kepada PT DDP. Pihak perusahaan menyampaikan bahwa lahan tersebut belum memiliki Hak Guna Usaha.

Hal ini kemudian menjadi dasar petani yang tidak memiliki tanah untuk mengelola lahan tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh surat PT DDP No: 113/DD-APE/III/2022 tertanggal 9 Maret 2022, yang pada pokoknya PT DDP mengakui bahwa area divisi 5 dan divisi 7 Air Pedulang Estate berada di luar HGU PT DDP.

Namun, setelah beberapa lama petani mengelola lahan tersebut, pihak PT DDP mulai mendatangi petani dan meminta petani untuk keluar dari lahan yang telah dibersihkan dan dikelola petani. Pihak perusahaan mengklaim lahan tersebut adalah milik mereka dengan HGU N0. 125.

Akan tetapi, saat petani meminta pihak perusahaan menunjukkan bukti kepemilikan HGU di atas lahan tersebut, pihak perusahaan tidak dapat menunjukkannya. Sehingga sering terjadi perdebatan, bahkan bentrok di lahan antara karyawan perusahaan dan petani. Dalam prosesnya, PT DPP menggugat 3 orang petani Tanjung Sakti dengan tuduhan perbuatan melawan hukum.