60 Persen Hutan Rusak, Elang Flores Terancam Punah

Penulis : Gilang Helindro

Biodiversitas

Rabu, 29 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kerusakan hutan yang terus meningkat mengancam burung elang flores (Nisaetus floris), salah satu spesies burung endemik di Nusa Tenggara Barat.

Kara Beer, Ahli Biologi Raptor, Amerika Serikat bersama Raptor Conservation Society-Bogor Indonesia berkesempatan memantau sarang aktif elang flores yang terancam punah itu di Desa Kaowa, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima, NTB.

Dalam keterangan resminya, Kara mengatakan kondisi habitat yang terus berkurang berdampak pada keberadaan sejumlah elang flores. “Ancaman terbesar di depan mata adalah hilangnya habitat mereka,” kata Kara, dikutip Selasa, 28 Mei 2024.

Burung-burung bergantung pada hutan asli untuk membangun sarang, membesarkan anak-anaknya, dan mencari makanan. “Sebagai spesies yang sangat sensitif, mereka tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan drastis pada lanskap tempat mereka hidup,” ungkap Kara.

Elang Flores, satu dari 71 jenis burung raptor di Indonesia yang terancam punah. Foto: Istimewa/Samuel Rabenak-BurungIndonesia

Elang flores adalah jenis hewan yang hanya terdapat di Indonesia. Elang ini merupakan jenis burung pemangsa (raptor). Terdapat sekitar 71 jenis burung raptor di Indonesia, sebanyak 10 di antaranya adalah spesies endemik dan dua di antaranya terancam punah, salah satunya elang flores.

Elang flores memiliki ukuran tubuh sekitar 71-82 sentimeter. Warna bulunya tubuhnya coklat kehitam-hitaman. Bagian dada dan perut berwarna putih keabuan dengan corak tipis coklat kemerahan. Bulu bagian leher dan kepala berwarna putih. Pada bagian ekor terdapat enam garis coklat yang menjadi ciri khasnya. Sedangkan di bagian sayapnya berwarna coklat dengan garis putih.

Elang flores dijumpai di hutan dataran rendah yang memiliki ketinggian hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Di antaranya di Hutan Mbeliling dan Taman Nasional Kelimutu.  

Menurut data BKSDAE, persebaran populasi elang flores tidak hanya terdapat di Flores, melainkan juga di wilayah Pulau Lombok, Sumbara, Rinca, dan Pulau Satonda. Namun, habitat elang flores diperkirakan tinggal 36,1 hektare, karena kebakaran hutan maupun penebangan hutan. Masyarakat pecinta satwa dapat mengamati elang flores di Hutan Puar Lolo, Mbeliling, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan hutan masih terjaga baik sehingga burung-burung masih dapat dijumpai di wilayah itu.  

Badan konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat bahwa populasinya diperkirakan antara 100 hingga 240 individu dewasa. Bagi suku Manggarai di barat Flores, elang flores sebagai toem atau empo, leluhur manusia yang tidak boleh disiksa, dibunuh, dan ditangkap.

Ruang Hidup Elang Flores Kian Sempit

Hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) menemukan, 60 persen hutan rusak akibat tambang hingga alih fungsi lahan.

Walhi NTB mencatat, ada beberapa aktivitas pertambangan yang dinilai merusak lingkungan, seperti PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) yang berada di kawasan hutan Sumbawa Barat, dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sekarang disebut Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) seluas 7 ribu hektare. Kemudian ada pula pertambangan PT Sumbawa Timur Mining (PT STM) yang memegang PPKH di Hu'u Dompu dengan luas 19.260 hektare, juga di kawasan hutan.

"Ada juga pertambangan PT AMG di pesisir Dedalpak Lombok Timur seluas 1348 hektare. Secara umum jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 hektar. Belum lagi maraknya penambangan ilegal di Pulau Lombok dan Sumbawa," kata Walhi NTB dalam keterangan resminya, dikutip Selasa, 28 Mei 2024.

Dari sektor pariwisata, di kawasan pesisir salah satunya KEK Mandalika seluas 1.250 hektare juga ikut menyumbang laju kerusakan hutan di NTB. Ada juga rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 hektare juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 hektare.

Valerian Karitas, salah satu masyarakat pemerhati lingkungan dan pastor di Keuskupan Ruteng Kabupaten Manggarai, mengatakan elang memang merupakan tanda kesehatan dan kebaikan alam dalam kehidupan masyarakat. "Bagi masyarakat kami, kepunahan elang adalah tanda bahaya sebetulnya untuk lingkungan."

“Menurut kami kepunahan elang ini menjadi tanda kesehatan lingkungan, tidak ada lagi pohon tinggi sebagai rumah bagi burung elang,” kata Romo Valdi, Selasa, 28 Mei 2024.