Bengawan Solo Dianggap Tempat Sampah Terpanjang, Ini Solusinya

Penulis : Gilang Helindro

Sampah

Minggu, 02 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  DAS Bengawan Solo bagi masyarakat di sekitarnya dianggap sebagai tempat sampah. Ini merupakan temuan penelitian Universitas Bojonegoro. Penyebabnya, kata Laily Agustina Rahmawati, Kepala LPPM Universitas Bojonegoro,  karena ketidakmampuan TPS dalam mengelola sampah.

Laily menyatakan, permasalahan tersebut tidak bisa diatasi dengan maksimal jika hanya mengandalkan pemerintah. "Dibutuhkan peran masyarakat dalam menangani masalah tersebut melalui pembentukan Komunitas Peduli Sungai wilayah Sungai Bengawan Solo," ujarnya, Rabu, 29 Mei 2024.

Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) memiliki pendapat sama. Daru Setyorini, Direktur Eksekutif Ecotonmengatakan untuk mengatasi permasalahan di Sungai Bengawan Solo dibutuhkan lebih banyak pembentukan Komunitas Peduli Sungai (KPS). "Khususnya di wilayah hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, karena permasalahan yang intens lebih banyak timbul di wilayah hilir dan jumlah KPS masih sangat minim," katanya.

“Pembentukan KPS ini membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak khususnya akademisi, guna mendistribusikan ke masyarakat khususnya KPS tentang wawasan mengenai sungai,” ujar Daru lagi.

Warga membuang sampah di tepi sungai sodetan Bengawan Solo. Foto: Istimewa/Falahi Mubarok

Selain menghadapi masalah sampah, Laily mengatakan, soal yang meresahkan di DAS Bengawan Solo adalah eceng gondok. Di Kabupaten Bojonegoro, eceng gondok memenuhi permukaan sungai sampai sepanjang 3 kilometer. Menurut Laily, pembersihan eceng gondok seharusnya dilakukan sebelum tumbuhan ini bertambah luas. “Khususnya sebelum eceng gondok itu berbunga, karena biji yang dihasilkan akan mampu bertahan di sungai sampai 30 tahun,” kata Laily. 

Laily bilang, jika permasalahan eceng gondok tak dientaskan, eceng gondok akan membawa masalah ke aliran di bawahnya, bahkan sampai Kabupaten Lamongan. Pertumbuhan eceng gondok yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan penurunan kualitas air, yakni oksigen terlarut yang ada di sungai dan pengurangan sinar matahari yang diterima sungai. Akibatnya fitoplankton tidak bisa berfotosintesis dan oksigen akan menurun, sehingga berdampak pada keberlangsungan biota di bawahnya. 

“Eceng gondok juga menghambat arus air sehingga permasalahan kekeringan ketika musim kemarau dan banjir di musim penghujan tidak akan terelakkan,” ungkap Laily.

Menghadapi aneka masalah itu, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, Maryadi Utama, mengatakan melalui Pemberdayaan Komunitas Peduli Sungai dan Waduk, ada 7 komitmen bersama dalam sinergi pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai Bengawan Solo wilayah hilir, yakni:

  1. Berkomitmen membentuk komunitas peduli sungai atau waduk yang aktif dan mandiri, 
  2. Berkoordinasi dan bersinergi dalam mengelola sumber daya air, 
  3. Berperan aktif dalam memelihara sumber daya air, 
  4. Melaksanakan edukasi pada masyarakat, 
  5. Pelaksanaan pemantauan dan  pengawasan di lapangan, 
  6. Ikut terlibat dalam merawat (pengawasan) terhadap tata kelola sungai dan waduk, dan 
  7. Menumbuh kembangkan pembentukan komunitas baru berbasis kolaborasi