Hari Antitambang 2024: 18 Tahun Melawan Rezim Ekstraktif

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 30 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pada 29 Mei 18 tahun yang lalu, lumpur panas berwarna hitam dan berbau gas menyengat menyembur akibat eksploitasi tambang minyak dan gas PT Lapindo Brantas, di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur itu terjadi hingga kini, dan telah mengakibatkan 45 ribu jiwa mengungsi, meninggalkan sekitar 10.426 unit rumah di 16 desa di Kecamatan Porong, Kecamatan Jabon dan Kecamatan Tanggulangin.

Sejak itu, masyarakat sipil menetapkan 29 Mei sebagai Hari Anti-Tambang (Hatam) Nasional, dan diperingati tiap tahun oleh masyarakat sipil di Indonesia. Seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), misalnya, yang menggelar berbagai acara peringatan Hatam 2024 di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Menurut Jatam, dalam 18 tahun terakhir, bencana sosial-ekologis yang muncul dari industri ekstraktif serupa juga terjadi dan semakin meluas di berbagai tempat. Tidak peduli pemukiman warga, kawasan lindung - konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Bahkan penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif ini, dilakukan dengan mendompleng narasi-narasi krisis iklim. Krisis yang jelas-jelas tercipta dari operasi industri ekstraktif itu sendiri, bahkan dengan deregulasi untuk legitimasi berbagai aturan hukum untuk kepentingan industri ini," kata Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam, Rabu (29/5/2024).

Jatam dan kelompok masyarakat sipil lainnya menggelar aksi peringatan Hari Anti-Tambang Nasional di berbagai daerah, salah satunya di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu, 29 Mei 2024. Foto: Jatam.

Melky memaparkan, industri geothermal atau pertambangan panas bumi, yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, bersih dan berkelanjutan, telah meneror hidup warga sehari-hari. Di mulai dari perambahan lahan produksi warga, ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, peracunan udara oleh gas H2S, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir uap, turbin raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.

Situasi ini, katanya, tengah dialami oleh lebih dari 350 sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia. Seluruh rerantai operasi bisnis pembangkitan listrik dengan penambangan panas bumi, termasuk proses produksi instrumen regulasi sebagai komoditi esensial bagi industri berbahaya ini, menuntut kesukarelaan rakyat untuk dibatalkan kemerdekaannya, dicabut hak-haknya, bahkan meregang nyawa.

"Sebagaimana yang terjadi di Sorik Marapi pada 25 Januari 2021 lalu, lima warga, dua di antaranya anak-anak, meregang nyawa akibat keracunan gas H2S dari operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Sorik Marapi Geothermal Power," ujar Melky.

Meski begitu, imbuh Melky, upaya perlawanan warga tambang panas bumi ini juga semakin menguat di berbagai wilayah. Contohnya, di Wae Sano dan Poco Leok, Flores. Hingga kini PLTP gagal beroperasi karena penolakan dan perlawanan warga. Hal yang sama juga dilakukan warga di Padarincang, Kabupaten Serang, yang sejak 2013 berhasil menghadang operasi PT Sintesa Banten Geothermal yang berencana menambang panas bumi di Gunung Prakasak.

Melky mengatakan, upaya korporasi tambang untuk mengemas operasi penghancuran ruang hidup warga dengan dalih ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan tidak hanya terjadi di industri geothermal. Tapi juga dilakukan oleh korporasi tambang lainnya, termasuk di industri nikel.

Industri nikel hancurkan wilayah timur Indonesia

Menurut Melky, dengan dalih pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang juga diklaim ramah lingkungan dan rendah karbon, yang dipromosi habis-habisan oleh pengurus negara saat ini, industri nikel menghancurkan ruang hidup warga, khususnya di kawasan timur Indonesia, yakni di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara hingga Sulawesi Selatan.

"Seperti yang terjadi di Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, yang terhubung dengan jejak buruk salah satu raksasa korporasi tambang di Indonesia, Harita Group," kata Melky.

Ekstraksi nikel dari perut Bumi yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group, seperti PT Gema Kreasi Perdana (GKP), telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak terpulihkan. Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari tanah air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.

Di sisi lain, imbuhnya, perusahaan juga menggunakan siasat licik, dengan menerobos lahan terlebih dahulu baru melakukan negosiasi. Siasat ini, selain merugikan warga, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh operasi pertambangan.

Melky melanjutkan, di saat yang sama, perusahaan mengklaim jika lahan lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak. Parahnya, proses perampasan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahannya digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan.

"Sejak beroperasi di Pulau Wawonii, PT GKP telah berulang kali menerobos lahan-lahan warga para penolak tambang. Penerobosan lahan itu terjadi sejak 9 Juli 2019, 16 Juli 2019, 22 Agustus 2019, 19 Februari 2023, dan terbaru pada 9 Maret 2023," tuturnya.

Penerobosan yang berakibat pada kerusakan tanaman perkebunan warga seperti jambu mete, cengkeh, pala, dan kakao, hingga kelapa itu, seringkali dikawal aparat keamanan bersenjata lengkap. Ironisnya, warga yang menolak melepaskan lahannya, justru dihadapkan dengan tindakan represif aparat keamanan.

"Hingga saat ini tercatat setidaknya sudah 35 orang warga yang dikriminalisasi oleh PT GKP. Mereka dijerat dengan berbagai pasal, mulai tuduhan perusakan, perampasan kemerdekaan, menghalangi operasi tambang, hingga pasal pencemaran nama baik menggunakan UU ITE," ungkap Melky.

Anak perusahaan Harita Group, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), kembali menyerobot lahan warga di Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Foto: Jatam

Melky bilang, operasi PT GKP juga telah mencemari sumber air warga. Sungai Tambo Siu-Siu di Desa Sukarela Jaya, yang digunakan untuk mencuci, mandi, dan air minum ini, kondisinya berubah menjadi kuning-kecoklatan akibat pembangunan jalan hauling perusahaan. Warga terpaksa mencari sumber air lain yang letaknya lebih jauh dari tempat tinggalnya dengan kualitas yang tidak lebih baik.

Di tempat lainnya, di Banggai Kepulauan, lanjut Melky, telah diterbitkan 38 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 1 Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk komoditas batu gamping yang nantinya akan difungsikan untuk mengurangi kadar keasaman dari nikel itu sendiri.

Melky berpendapat, klaim rendah karbon pun tidaklah benar, karena di balik proses produksi kendaraan listrik masih didominasi oleh penggunaan batubara yang dibongkar dan dipasok ke smelter-smelter nikel sebagai bahan pembangkit listriknya dan tentunya memperparah kondisi Pulau Kalimantan.

"Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya 49 anak yang meninggal tenggelam di bekas lubang galian tambang yang tidak direklamasi," katanya.

Perampasan ruang hidup di berbagai tempat

Pada konteks timah, kata Melky, beberapa waktu yang lalu Kejaksaan Agung merilis beberapa temuan penting terkait korupsi PT Timah di Bangka Belitung, Sumatera, yang telah menyebabkan kerugian ekologis mencapai Rp271 triliun. Namun, berdasarkan catatan sejarah, timah Bangka Belitung telah melayani dunia sejak zaman VOC, yang mana ada begitu banyak dikorbankan dari pembongkaran komoditas tersebut.

Sementara itu di Sulawesi Barat, Melky melanjutkan, penetrasi industri ekstraktif mulai memperlihatkan kepongahannya dalam merampas ruang hidup warga. Arogansi itu diperlihatkan oleh pemerintah pengurus negara melalui Kementerian ESDM pada pertengahan 2022 telah mengeluarkan surat keputusan (SK) yang menjadikan seluruh ruang darat Provinsi Sulawesi Barat sebagai wilayah pertambangan, tanpa mempedulikan entitas yang hidup dan bergantung atas tanah tersebut.

Tidak hanya itu, Melky mengungkapkan, beberapa waktu yang lalu Badan Geologi Kementerian ESDM telah mengusulkan dua wilayah WIUP untuk komoditas logam tanah jarang yang berlokasi di Mamuju, Sulawesi Barat dengan luas konsesi mencapai 9.525 hektare, juga di Kabupaten Bangka, Bangka Belitung.

"Dalam laporan yang disampaikan oleh ESDM, mereka mengklaim bahwa logam tanah jarang yang berada di Mamuju mengandung kandungan litium, yang mana kandungan tersebut juga merupakan salah satu bahan dasar dari kendaraan listrik," ujar Melky.

Pada konteks industri ekstraktif yang lain, megaproyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), menurut Melky, juga telah memberikan daya rusak berkepanjangan yang tidak hanya dirasakan oleh warga Kutai Kartanegara dan Panajam Paser Utara. Namun, katanya, kerusakan jangka panjang juga akan diderita oleh warga yang wilayahnya dicaplok untuk pembangunan IKN seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

Di Buluri, Kabupaten Donggala, demi memenuhi ambisi Jokowi yang sebentar lagi akan dilanjutkan oleh presiden RI terpilih Prabowo Subianto, warga harus menderita akibat polusi debu yang disebabkan oleh pembongkaran material galian C yang akan disuplai untuk pembangunan IKN.

Akibat dari pembongkaran material ini, terhitung pada 2023, sebanyak 2016 warga Buluri dan Watusampu divonis menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dengan kategori 68 lansia, 587 anak-anak, 140 balita dan 1368 dewasa.

"Setiap upaya perlawanan dan pertahanan ruang hidup warga, oleh pengurus negara selalu direspon dengan cara kriminalisasi. Dalam catatan Jatam terhitung pada periode 2017-2022 terdapat 100 orang warga yang dikriminalisasi," ungkap Melky.

Aktivitas Tambang Pasir dan Batu di Palu dan Donggala. Foto: Jatam Sulteng

Kendali oligarki atas negara

Melky mengatakan, hingga kini ekstraktivisme masih menjadi warna dominan, bahkan makin menguat. Itu tercermin dari lahirnya berbagai regulasi yang memperkuat kendali oligarki atas negara. Oligarki bisnis dan politik dalam episode mutakhirnya saat ini telah mampu menguasai struktur negara.

"Operasi kejahatan tersebut juga ditopang oleh pengerahan aparat keamanan negara untuk menciptakan kekerasan terbuka yang telah berlangsung jauh lebih lama," ucapnya.

Karpet merah investasi ini, katanya, ditandai dengan revisi Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi UU No. 3 Tahun 2020, serta UU Cipta Kerja hingga aturan turunannya. Infrastruktur hukum yang bias kepentingan seperti ini, menurut Melky, kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri, memiskinkan warga, merusak lingkungan bahkan menghancurkan kehidupan.

Akibatnya, imbuhnya, pembangunan nasional yang lebih identik dengan pertumbuhan ekonomi justru semakin jauh dari pemerataan. Konsep pembangunan seperti ini, menurut Melky, hanya akan melahirkan konglomerasi baru yang terisolasi dari sebagian besar masyarakat serta tidak ramah terhadap keberlanjutan lingkungan.

"Pada pemilihan umum (pemilu) 2024 yang telah berlangsung beberapa waktu lalu sejak awal didesain hanya untuk kepentingan para oligark yang berada dalam tim pemenangan masing-masing ataupun pasangan calon presiden dan wakil presiden itu sendiri," kata Melky.

Melky berpendapat, hasil pemilu pun sudah dipastikan hanya melahirkan transisi kekuasaan atas rezim ekstraksi Joko Widodo kepada Prabowo Subianto serta wakilnya Gibran Rakabuming yang merupakan putra sulung dari Presiden Jokowi. Pemilu 2024 ini, katanya, hanya menjadi simbol pelanggengan kekuasaan rezim ekstraksi yang menjadi cerminan hilangnya veto rakyat.

"Kekuasaan Prabowo-Gibran akan kembali menjadi bukti nyata semakin menguatnya ekstraktivisme. Pada pemilu 2024, mereka didukung oleh banyak pengusaha tambang dan energi kotor, yang mana pengusaha-pengusaha tersebut juga telah berkontribusi pada perusakan dan penghancuran ruang hidup warga di seluruh kepulauan Indonesia," ujar Melky.

Rezim ekstraksi Prabowo-Gibran, Melky menambahkan, tidak akan jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Tetap saja pemerintahan yang dijalankan akan ditopang oleh ekspor beragam jenis ekstraksi sumber daya alam sebagai basis produksi dan akumulasi nilai, mengandalkan akumulasi melalui penjarahan dan dominasi politik termasuk gunakan teror dan menebar ketakutan.

"Lagi-lagi mereka hanya akan memperpanjang tunggakan utang sosial-ekologis yang harus dibayar oleh warga," ucap Melky.

Pada Hari Anti-Tambang 2024 ini, Melky menyerukan kepada warga di seluruh kepulauan Indonesia untuk terus melawan dan menggalang kerja sama melawan rezim ekstraksi. Juga menuntut pada pengurus negara saat ini baik yang akan datang untuk menghentikan segala tipu-tipu narasi transisi energi untuk memuluskan ekstraksi tambang dan penghancuran ruang hidup warga.