Walhi: Negara Tak Hadir dalam Perlindungan Gambut Kalbar

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Gambut

Jumat, 31 Mei 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat (Walhi Kalbar) menganggap pemerintah tak serius dalam perlindungan gambut. Pasalnya, Walhi menemukan terjadinya pembiaran perusakan kawasan hidrologis gambut yang dilakukan sejumlah perusahaan di dalam konsesinya di Kalbar.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan, pada Januari-Marert 2024 lalu pihaknya telah melakukan pemantauan kondisi terkini kawasan hidrologis gambut Sungai Durian-Sungai Kualan (KHG SDSK), terutama di tiga konsesi perkebunan kayu dan perkebunan sawit yakni PT Mayawana Persada (MP), PT Kalimantan Agro Pusaka (KAR), dan PT Jalin Vaneo.

Dari pemantauan itu, Walhi Kalbar memastikan tiga pemegang konsesi di KHG SDSK itu secara sengaja merusak ekosistem KHG SDSK untuk tujuan perluasan lahan kebun, memastikan tanaman komoditas unggulannya tidak terendam, dan juga merusak hak asasi komunitas lokal dan buruh.

Perusakan ekosistem yang terjadi di antaranya mengeringkan air gambut, mengubah kawasan gambut lindung dan eks lahan terbakar menjadi kawasan budi daya sawit dan atau albasia, merampas dan atau menghilangkan akses penduduk terhadap tanah dan sumber penghidupan lain, mencemari ekologi lokal dengan limbah sawit atau albasia, dan menunda pemenuhan hak-hak warga.

Kanal gambut yang dibangun oleh PT Mayawana Persada untuk menguras air di hutan lahan gambut. Foto: Yudi Noviandi/Auriga Nusantara

“Sejumlah fakta yang ditemukan mengkonfirmasi bahwa negara seperti membiarkan saja tindakan-tindakan perusakan ekologi dan hak asasi manusia di KHG SDSK oleh perusahaan” kata Adam, Rabu (29/5/2024).

Padahal, kata Adam, Pasal 30 (1) Peraturan Pemerintah (PP) 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut jelas menyebut bahwa pemilik usaha wajib melakukan pemulihan sebagaimana izin lingkungan.

Sementara Pasal 31A lebih lanjut menegaskan bahwa penanggungjawab usaha yang tidak melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut sebagaimana pasal 30, dalam jangka 30 hari sejak diketahui kebakaran, maka menteri, gubernur, dan bupati/walikota dapat berkoordinasi dalam pemulihan dengan pembiayaan dibebankan pada penanggung jawab usaha. Hal serupa diatur dalam Pasal 10 PermenLHK P.16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Aturan-aturan perlindungan lingkungan diabaikan dan perusahaan itu, kata Adam, tetap terus membuka areal tutupan hutan gambut untuk memperluas kebun sawit atau pun albasia, termasuk mengalirkan air gambut dalam kanal-kanal buatan agar tanaman komoditasnya tidak terendam air.

“Pembiaran ini mengindikasikan ketiga perusahaan tersebut memiliki kekebalan dari hukum lingkungan dan hak asasi manusia nasional,” tuturnya.

Sementara sejumlah aturan soal gambut dan legitimasi izin usaha berbasis hutan dan lahan yang menyebabkan ekosistem gambut rusak jelas diterbitkan negara melalui kewenangan aparatur terkait. Gambut, kata Adam, memiliki peran penting untuk kehidupan sebagai pelestarian keanekaragaman hayati, penjaga tata air, penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen dan penyeimbang iklim.

"Namun saat investasi berbasis hutan dan lahan diberi izin berusaha dan merusak gambut lindung, negara seperti tidak ada,” ujar Adam.