Beban Utang Negara Rentan Krisis Iklim Mengganda, 14% ke Cina
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Rabu, 05 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembayaran utang oleh 50 negara yang paling rentan terhadap krisis iklim telah meningkat dua kali lipat sejak awal pandemi virus corona dan kini berada pada tingkat tertinggi dalam lebih dari tiga dekade, demikian peringatan para aktivis.
Badan amal Debt Justice asal Inggris mengatakan, negara-negara dengan risiko tertinggi terkena dampak pemanasan global membayar 15,5% pendapatan pemerintah kepada kreditor eksternal – naik dari kurang dari 8% sebelum Covid-19 dan 4% pada titik terendah pada 2010.
Menggunakan data dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), badan amal tersebut mengatakan bahwa laporan baru mereka menunjukkan kebutuhan mendesak akan keringanan utang yang komprehensif sehingga negara-negara miskin dapat berinvestasi dalam upaya mengatasi krisis iklim.
“Tingkat utang yang mencapai rekor menghancurkan kemampuan negara-negara yang paling rentan dalam mengatasi darurat iklim,” kata Heidi Chow, direktur eksekutif Debt Justice, Senin, 3 Juni 2024.
“Kita memerlukan skema keringanan utang yang cepat dan efektif untuk membatalkan utang hingga ke tingkat yang berkelanjutan,” ujarnya.
Terdapat 50 negara yang dianalisis, di antaranya, Solomon Islands, Sierra Leone, Republik Demokratik Kongo, Kenya, dan Zambia. Sementara itu negara-negara Asia mencakup Sri Lanka, Vietnam, Kamboja, Nepal, India, Pakistan, Bhutan, dan Papua Nugini. Indonesia tidak ada di dalam daftar tersebut.
Dari 50 negara yang tercakup dalam laporan ini, 38% pembayaran bunga eksternal mereka ditujukan kepada pemberi pinjaman swasta, 35% ke lembaga multilateral, 14% ke Tiongkok, dan 13% ke pemerintah lain.
Dua putaran keringanan utang komprehensif pada akhir 1990-an dan pertengahan 2000-an mengakibatkan beban utang negara-negara miskin turun tajam, namun pembayaran kembali utang terus meningkat pada 2010-an sebelum melonjak mulai tahun 2020 dan seterusnya.
Debt Justice menyebutkan beberapa alasan terjadinya krisis utang baru. Salah satunya adalah skema penangguhan utang yang disetujui oleh kreditor pada awal pandemi telah berakhir, dan utang yang ditangguhkan tersebut kini harus dilunasi.
Peminjam juga terkena dampak kenaikan suku bunga global dari tingkat terendah pada 2010an. Selain itu, menguatnya nilai dolar AS telah meningkatkan jumlah relatif pembayaran utang luar negeri (yang sebagian besar dilakukan dalam dolar).
Konferensi 10 hari yang berfokus pada kemampuan negara-negara untuk membiayai tindakan iklim, termasuk melalui pendanaan iklim dan tingkat utang yang tidak berkelanjutan, dimulai di Bonn pada Senin, 3 Juni 2024. Debt Justice mengatakan bahwa Zambia menjadi contoh negara yang dilanda kekeringan serta menggarisbawahi perlunya tindakan segera.
Setelah negosiasi selama tiga setengah tahun, pemerintah Zambia baru-baru ini mencapai kesepakatan restrukturisasi utang dengan beberapa – namun tidak semua – pemberi pinjaman swasta.
Kesepakatan utang Zambia memungkinkan peningkatan besar dalam pembayaran utang jika kondisi perekonomian lebih baik dari perkiraan, namun tidak ada klausul yang setara untuk mengurangi pembayaran jika terjadi guncangan, seperti kekeringan. Berdasarkan ketentuan kesepakatan utang, Zambia harus membayar pemegang obligasi sebesar $450 juta tahun ini.
“Sangat keterlaluan bahwa kreditor Zambia menuntut kesepakatan di mana mereka mendapat kenaikan besar dalam pembayaran utang jika semuanya berjalan baik, namun tidak ada kerugian jika Zambia dilanda bencana seperti kekeringan,” kata Tim Jones, kepala kebijakan di Debt Justice.
“Dana sebesar $450 juta yang diberikan kepada pemegang obligasi tahun ini adalah uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk merespons bencana nasional,” kata Jones.
“Selain penghapusan utang, negara-negara kaya harus segera membayar utang iklim mereka dengan memberikan pendanaan iklim yang memadai dan berbasis hibah,” ujarnya.