AMAN Banding Atas Putusan PTUN Jakarta Soal UU Masyarakat Adat

Penulis : aryo Bhawono

Hukum

Rabu, 05 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kecewa atas putusan PTUN Jakarta menolak gugatan terkait pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat (UU MA). Mereka akan mengajukan banding. 

Majelis PTUN yang diketuai oleh Novy Dewi Cahyati dengan dua hakim anggota Ridwan Akhir dan Fajri Citra Resmana menolak gugatan AMAN dan delapan anggota komunitas  masyarakat soal UU MA pada 16 Mei 2024 lalu. 

Kuasa Hukum AMAN, Fatiatulo Lazira menganggap pertimbangan para hakim PTUN Jakarta keliru. Mereka menyatakan objek gugatan adalah pengaturan yang bersifat umum (regelling) sehingga dikecualikan dari objek sengketa Tata Usaha Negara. Seolah-olah objek gugatan hanya produk hukum yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. 

“Padahal sangat terang dan jelas, bahwa Objek Gugatan dalam perkara ini adalah sikap abai atau diam DPR RI dan Presiden RI atas Permohonan Pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat yang diajukan AMAN, dkk,”ujar Fatiatulo, yang juga koordinator PPMAN Region Jawa.

Para Penggugat dan Kuasa Hukum dari PP AMAN di depan PTUN Jakarta. Foto: AMAN

Pembentukan UU MA merupakan perintah konstitusi berdasar Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagaimana pula ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada 16 Mei 2013. Regulasi ini perlu ada untuk mengakui keberadaan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.

"Akibat ketiadaan UU Masyarakat Adat selama 20 tahun ini, masyarakat adat terus mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran, perampasan wilayah adat, kriminalisasi masyarakat adat dan hilangnya identitas masyarakat adat di Indonesia,” kata dia.

Ketua Badan Pengurus PPMAN, Syamsul Alam Agus, yang juga duduk sebagai kuasa hukum menilai pejabat pemerintahan telah abai meski memiliki kewenangan. Sikap ini merupakan tindakan administrasi pemerintahan yang seharusnya dapat digugat.

Menurutnya selama ini surat permohonan terkait kejelasan dan proses pembentukan UUMA tidak direspon oleh DPR dan Presiden. Fungsi pelayanan pemerintah sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tidak dijalankan. 

“Sikap abai tersebut kami pertanyakan melalui pengadilan. Sebagai kekuasaan yang merdeka, PTUN penting menegakkan hukum dan keadilan substantif khususnya bagi Masyarakat Adat di Indonesia,” tegasnya.

Kuasa hukum lainnya, Judianto Simanjuntak, menyatakan putusan PTUN Jakarta No 542/G/TF/2023/PTUN.JKT menunjukkan pengadilan gagal menjadi sarana kontrol penyelenggara negara. PTUN Jakarta turut abai untuk mendorong lahirnya proses legislasi untuk melindungi dan menegakkan hak-hak masyarakat adat. UUMA merupakan kebutuhan mendesak di tengah maraknya pembangunan yang berdampak pada perampasan wilayah adat,  penggusuran, kriminalisasi dan ancaman penghilangan identitas budaya Masyarakat Adat.

Ia mencontohkan kebutuhan mendesak itu seperti kriminalisasi yang dialami oleh Sorbatua Siallagan Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kec. Dolok Panribuan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara. 

“Jika pengadilan tidak lagi menjadi ruang bagi pencari keadilan, lalu kemana mereka mencarinya? Putusan atau vonis Hakim tidak boleh dipisahkan dari pertimbangan yang jelas dan cukup,” ucap dia. 

Sementara AMAN sendiri akan menempuh upaya hukum banding atas hal ini. 

“Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut keliru dalam putusannya menyatakan  Gugatan Para Penggugat tidak diterima, yang sering disebut dengan Niet Ontvankelijke Verklaard_,” kata Fatiatulo.