Kode Keras Majelis Hukum Muhammadiyah Soal Tambang Ormas Agama

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Rabu, 05 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah menyebutkan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tanpa lelang, termasuk untuk badan usaha ormas keagamaan, melanggar UU Minerba dan berpotensi korupsi. Mereka meminta Pengurus Pusat Muhammadiyah berhati-hati dengan tawaran pengelolaan tambang oleh pemerintah. 

Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah memberikan empat rekomendasi kepada PP Muhammadiyah untuk menyikapi tawaran pemberian IUP tambang untuk ormas keagamaan yang diatur dalam Perpres No 70 Tahun 2023 Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi. Isi rekomendasi itu adalah: 

Pertama, Menteri Investasi/ Kepala Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak mempunyai kewenangan melakukan penawaran dan pemberian WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh Ormas.

Kedua, pemberian WIUP mineral logam dan batubara secara langsung tanpa melalui proses lelang merupakan pelanggaran terhadap UU Minerba dan merupakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.

Ilustrasi lubang tambang

Ketiga, Perpres 70 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Minerba dan UU Administrasi Pemerintahan.

Keempat, PP Muhammadiyah perlu mempertimbangkan dengan hati-hati berkenaan dengan tawaran pengelolaan tambang mengingat Perpres 70 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Minerba dan UU Administrasi Pemerintahan. 

“Namun bila kebijakan Pimpinan Pusat secara legalitas formil menganggap sepanjang belum dibatalkan maka ketentuan Perpres 70 Tahun 2023 tetap berlaku maka kami memandang Pimpinan Pusat wajib memiliki aturan tata Kelola yang baik agar siap dan mampu mengantisipasi dampak yang ditimbulkan terkait kegiatan pertambangan yang meliputi kerusakan lingkungan dan konflik sosial,” tulis rekomendasi itu. 

Melanggar Dua UU dan Berisiko Korupsi

Dokumen legal opinion yang didapatkan redaksi Betahita menyebutkan majelis itu melakukan analisis hukum atas Perpres Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi. Setidaknya aturan itu bertentangan dengan UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Administrasi Pemerintahan) terkait pendelegasian kewenangan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Menteri Investasi/ Kepala BKPM. 

Pasal 5 ayat (1) Perpres Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi menyebutkan Menteri ESDM mendelegasikan wewenang penetapan, penawaran, dan pemberian WIUP kepada Menteri Investasi dan selaku ketua Satuan Tugas. 

Sedangkan Pasal 1 Nomor 23 UU Administrasi Pemerintahan menyatakan delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada lembaga dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah beserta tanggung jawab dan tanggung gugatnya.

“Dengan demikian delegasi wewenang tidak dapat dilakukan dari Menteri ESDM kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM karena kedudukan keduanya adalah setara selaku menteri dan anggota kabinet. Oleh karena itu wewenang Menteri Investasi/Kepala BKPM memberikan WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh ormas tidak berdasar menurut hukum,” tulis surat yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah, Trisno Raharjo, itu. 

Sedangkan terkait pemberian dan penawaran WIUP kepada badan usaha milik ormas yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Perpres Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2020 Tentang Minerba. 

Pasal itu menyebutkan: ‘…Satuan Tugas (Menteri Investasi/ Kepala BKPM) melakukan penawaran dan pemberian WIUP kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a sampai dengan huruf e (BUM Desa, BUMD, Badan usaha yang dimiliki oleh Ormas, koperasi, badan usaha yang dimiliki oleh usaha kecil dan menengah).

Ketentuan ini menegaskan Menteri Investasi/Kepala BKPM melakukan penawaran dan pemberian WIUP kepada pelaku usaha termasuk badan usaha yang dimiliki oleh Ormas.

Sementara Pasal 51 ayat (1) UU No 3 Tahun 2020 Tentang Minerba mengatur pemberian WIUP mineral logam diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang. Lebih lanjut pada Pasal 60 ayat (1) menyebutkan WIUP Batubara diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.

Menurut majelis, lelang memastikan pemberian WIUP dilakukan secara fair dan mendapatkan pelaku usaha terbaik dari aspek pengelolaan maupun pendapatan negara. 

“Sebaliknya apabila WIUP diberikan secara langsung tanpa melalui proses lelang, maka cara dengan pemberian (bagi-bagi) ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, ada unsur subjektifitas, potensial fraud dan dimungkinkan ada unsur ‘transaksional/motif’ lain di luar aspek teknis dan kemampuan dalam pengelolaan kegiatan usaha pertambangan,” tulis surat itu. 

Sebelumnya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyebutkan jika  ada penawaran resmi pemerintah kepada Muhammadiyah maka lembaganya membahas secara seksama. ia tak ingin pengelolaan tambang tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara.

Terpisah, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah yang kini duduk sebagai Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu di Jakarta Selatan, M. Din Syamsuddin, mengusulkan kepada lembaganya untuk menolak tawaran WIUP tambang ini. 

“Pemberian itu lebih banyak mudharat daripada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa, bukan bagian dari masalah,” ujarnya melalui pesan. 

Menurutnya tawaran ini tak menyelesaikan masalah kesejahteraan terkait ketimpangan penguasaan lahan oleh korporasi besar dengan masyarakat. Pemberian WIUP kepada ormas pun lebih pantas dicurigai. 

Beberapa Kontroversi terkait kebijakan ini, menurut Din, diantaranya adalah pertama, pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Ormas, termasuk NU dan Muhammadiyah pun terkesan hanya diberi sisa-sisa kekayaan negara. 

Kedua, pemberian konsesi tambang batubara kepada ormas dilakukan di tengah hiruk pikuk pemilu. Sehingga akan mudah dipahami sebagai upaya meredam sikap kritis. Harapannya, tulis Din, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata.

“⁠Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat daripada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa bukan bagian dari masalah,” ucap dia.

Bukan Legal Opinion Pertama Untuk Kebijakan Pemerintah

Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah sebelumnya pernah membuat kajian hukum atas kebijakan pemberian pemerintah, yakni terkait Rencana Pemberian Konsesi Lahan 19 hektare untuk PP Pemuda Muhammadiyah pada Maret 2021.

Kala itu PP Pemuda Muhammadiyah akan mendapatkan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) berada di Kecamatan Babat Supat, Keluang, Sungai Lilin dan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan seluas 19.685 ha. 

Majelis ini merekomendasikan penolakan dengan pertimbangan bahwa PP Muhammadiyah bukan badan hukum yang berdiri sendiri, pertimbangan etis kebutuhan lahan petani, dan menghindari merembetnya konflik agraria ke lembaga.