Masyarakat Adat Knasaimos Papua Terima SK Pengakuan Wilayah Adat
Penulis : Kennial Laia
Masyarakat Adat
Jumat, 07 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Setelah dua dekade, masyarakat adat Knasaimos di Sorong Selatan, Papua Barat Daya, kini secara resmi dapat mengelola wilayah adatnya. Pada Kamis, 6 Juni 2024, mereka menerima surat keputusan terkait pengakuan atas wilayah adatnya seluas 97 ribu hektare dari pemerintah Kabupaten Sorong Selatan.
Surat keputusan tersebut ditandatangani Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli, dan diserahkan pada Kamis, 6 Juni 2024, sehari setelah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Wilayah adat yang membentang di Distrik Saifi dan Seremuk tersebut lebih luas dari DKI Jakarta, yang luasnya 66.150 hektare.
“Tanah ini sejak dahulu milik kami, hak kesulungan kami, diwariskan oleh para leluhur, dan akan menjadi masa depan anak-cucu kami. Namun, pengakuan wilayah adat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi kami masyarakat adat,” kata Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos, Fredrik Sagisolo, pada acara penyerahan SK di kantor Sekretariat Panitia Masyarakat Adat Sorong Selatan, Teminabuan, Sorong Selatan, Kamis, 6 Juni 2024.
“Kami berharap, kepastian hukum ini bisa memperkuat benteng pertahanan kami untuk menjaga hutan dan wilayah adat dari ancaman investasi yang merugikan masyarakat adat dan Tanah Papua,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Sorong Selatan Dance Nauw yang memimpin prosesi tersebut mengatakan, lebih dari dokumen administratif, SK tersebut merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan atas keberadaan dan peran penting masyarakat adat menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Pengakuan wilayah adat ini juga disebutnya sebagai tonggak sejarah dan bukti kepedulian terhadap masyarakat.
“Pengakuan ini menunjukkan kepada masyarakat setempat dan pemerintah pusat, bahwa komitmen untuk melindungi lingkungan serta memastikan martabat dan kesejahteraan masyarakat adat berjalan beriringan,” kata Dance.
“Kami berharap pengakuan ini dapat memperkuat semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mengelola wilayah adat demi kesejahteraan bersama,” ujarnya.
Perjuangan masyarakat adat Knasaimos menjaga hutan adatnya telah berlangsung selama dua dekade. Di tengah eksploitasi hutan, pembalakan liar, dan ekspansi perusahaan sawit, mereka melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan tanahnya.
Di antaranya, melakukan pemetaan wilayah adat, mengolah dan menjual sagu agar mandiri secara ekonomi, serta mendaftarkan pengakuan wilayah adat ke pemerintah kabupaten Sorong Selatan.
Upaya ini bukan sekedar mempertahankan tanah semata. Duketini Maria Youwe dari Bentara Papua mengatakan, hidup masyarakat adat, khususnya perempuan adat, sangat tergantung dengan alam.
“Hutan adat merupakan identitas, kebun, dan apotek bagi perempuan Knasaimos. Para mama mengambil sayur, obat-obatan alami, hingga sagu yang mereka olah untuk makan keluarga serta dijual–hasilnya untuk mengirim anak-anak ke bangku sekolah,” kata Duketini.
Prosesi penyerahan SK pengakuan wilayah adat oleh Sekretaris Daerah Sorong Selatan Dance Nauw (kedua kiri) kepada Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Fredik Sagisolo (kedua kanan) dalam upacara di Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, Kamis, 6 Juni 2024. Dok. Greenpeace Indonesia
Pengakuan ini juga berarti kemandirian pangan dan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat adat. “Kami berharap masyarakat dapat mengelola tanah adat, memperoleh manfaat, dan hidup dengan kearifan lokal yang dimiliki tanpa harus menjual tanah dan kehilangan hutan,” ujar Duketini.
Sebelumnya pada 2016, masyarakat adat Knasaimos juga mendapatkan surat keputusan hutan desa dari Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yang disusul hak kelola hutan desa tiga tahun kemudian.
Perjuangan masyarakat adat Papua belum selesai
Di tengah kabar baik ini, masyarakat adat Papua juga terus menghadapi ancaman perampasan tanah akibat aktivitas perusahaan besar. Pada akhir Mei lalu, misalnya, masyarakat adat Suku Awyu dan Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung untuk mendesak pembatalan izin PT Indo Asiana Lestari, perusahaan sawit mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta.
Izin konsesi ini berada di hutan adat marga Woro, bagian dari suku Awyu. Kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua, kini nasib masyarakat dan hutan adat Awyu dan Moi ada di tangan hakim-hakim Mahkamah Agung.
Masyarakat adat Awyu juga sedang mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. Dua perusahaan ini sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, lalu menang saat banding di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
Kasus lain yang tengah bergulir, yakni subsuku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
Jika ditolak, hutan dan tanah yang telah menghidupi orang-orang Awyu dan Moi secara turun-temurun ini akan berubah menjadi perkebunan sawit, dan bukan lagi ladang-ladang yang menghidupi mereka.
Aksi suku Awyu dan Moi di Mahkamah Agung ini juga memicu kampanye yang viral di media sosial, melalui tagar #AllEyesonPapua, meniru kampanye #AllEyesonRafah pada pekan yang sama, pasca serangan mematikan Israel di tenda-tenda pengungsian warga Palestina di Rafah, yang berada di jalur selatan Gaza.
Perwakilan suku Awyu dan Moi, dari Kabupaten Boven Digoel, Papua Barat, menggelar aksi untuk mendesak Mahkamah Agung membatalkan izin dua izin perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengancam hutan adat mereka. Dok. Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace
“Masyarakat Adat Knasaimos saat ini menikmati hasil perjuangan panjang mereka, tetapi masih banyak masyarakat adat lainnya di Tanah Papua dan di seluruh Tanah Air, yang telah kehilangan tanah, hutan, dan keanekaragaman hayati mereka secara permanen karena pemerintah menyerahkannya untuk kepentingan perusahaan,” kata Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia, Amos Sumbung.
Amos mendorong agar pemerintah pusat turut memberikan pengakuan atas wilayah adat di Indonesia. Salah satu hal krusial adalah dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.
“Presiden dan DPR harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah lebih dari 10 tahun tak kunjung diselesaikan,” kata Amos.
Selain untuk masyarakat Knasaimos, Bupati Sorong Selatan juga meneken SK pengakuan serupa bagi masyarakat adat di Distrik Konda, dengan total luas lebih dari 40 ribu hektare.