Daftar Warisan Masalah untuk PBNU di Tambang eks-KPC
Penulis : Aryo Bhawono
Tambang
Selasa, 18 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pemerintah akan memberikan lahan eks PT Kaltim Prima Coal (KPC) kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Menanggapi rencana ini, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengingatkan PBNU soal sederet kerusakan lingkungan dan konflik di konsesi itu.
Adalah Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, yang menyatakan pemerintah akan memberikan konsesi tambang batu bara bekas PT Kaltim Prima Coal (KPC) kepada PBNU. “Pemberian kepada PBNU adalah eks KPC. Berapa cadangannya nanti begitu kita kasih, tanya mereka," kata Bahlil pada Jumat (7/6/2024).
Pemberian konsesi ini menyusul kebijakan pemerintah memberikan peluang kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang melalui badan usaha milik mereka. Kebijakan ini diatur dalam PP No 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM menyebutkan PT KPC merupakan satu dari delapan perusahaan yang memegang PKP2B generasi pertama yang kontraknya habis pada rentang 2019-2025. Luas konsesi perusahaan itu mencapai 84.938 hektare. Luas lahan kontrak PKP2B PT KPC dikurangi luas lahan yang dikelola saat ini mencapai 23.395 ha.
Sementara laporan tahunan PT Bumi Resources Tbk, induk usaha PT KPC, menyebutkan potensi batu bara di lahan eks KPC memiliki cadangan batu bara 1,01 miliar ton per 31 Desember 2021.
Sementara itu, sumber dayanya mencapai 5,85 miliar ton. Per 31 Desember 2023, total cadangan KPC mencapai 679 juta ton dan sumber dayanya sebanyak 4,39 miliar ton.
Belum ada informasi tentang lokasi eks PT KPC untuk PBNU ini. Namun, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Mareta Sari, menduga lahan bekas PT KPC yang akan diserahkan kepada PBNU berada di wilayah Rantau Pulung dan Sangatta, Kutai Timur. Ia mengingatkan, di sana banyak catatan kerusakan lingkungan dan konflik masyarakat yang akan diwarisi NU dari perusahaan itu.
Beberapa catatan buruk tersebut di antaranya:
- Perusakan sumber daya air Sungai Bengalon. PT KPC membuang limbah ke Sungai Lembak, anak Sungai Bengalon, yang mengakibatkan air sungai itu tak lagi aman dikonsumsi warga.
- Banjir di Aliran Sungai Sangatta. Aktivitas perusahaan juga mengakibatkan sering meluapnya Sungai Sangatta.
- Pencemaran Air Sungai Sangatta. Sungai Sangatta mengalami pencemaran hingga tak dapat dikonsumsi di Desa Keraitan. Pencemaran juga mengakibatkan ikan-ikan di Sungai Keraitan mati pada 2014 dan pencemaran air juga terjadi di Sungai Pedayeh. Kedua Sungai ini merupakan anak Sungai Sangatta.
- Pemindahan paksa Masyarakat Dayak Basap. KPC mempraktikan pemindahan paksa warga Dayak Basap Keraitan di Bengalon.
- Perampasan paksa tanah warga. Pada 2016 PT KPC diduga mengerahkan keamanan dan aparat kepolisian untuk merampas lahan warga seluas 13 ha milik keluarga Salleng Tundung dan isterinya, Dahlia Musnur di Bengalon. KPC Juga melakukan kekerasan hingga menyebabkan Dahlia harus dirawat di rumah sakit.
Meski Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf, menyebutkan tambang dapat dikelola dengan baik, namun menurut pegiat Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian, Inayah Wahid, dasar hukum untuk memberikan konsesi tambang untuk ormas keagamaan sudah salah. NU, ujarnya, seharusnya tidak terjerumus dengan menerima tawaran pemerintah ini.
Menurutnya posisi ormas keagamaan, terutama NU, akan dilematis jika menjadi bagian dari industri ini. Sedangkan fungsi ormas keagamaan seharusnya melindungi warganya yang justru menjadi korban tambang.
“Gus Dur dan ibu (Shinta Nuriyah), menolak tambang,” kata dia dalam sebuah diskusi virtual pada Rabu lalu (12/6/2024).
Legimin, warga NU yang tinggal di Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, adalah salah satu warga yang melawan tambang batu bara di kampungnya sejak 2011, baik tambang legal tapi juga yang ilegal. Ia merasai ironi izin tambang untuk ormas agama ini.
“Jangan anggap tawaran pemerintah itu semua baik. Buktinya di desa saya, sudah ditolak sejak lama, pemerintah tetap kasih juga izin. Kami yang jadi korban,” kata dia.
Kini ormas keagamaan tempat ia menjalani kehidupan beragama justru menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang. Itulah ironi yang ia rasakan.