Riset Pabrik Baru BRIN untuk Plastik Biodegradable: Ragi Roti!

Penulis : Gilang Helindro

Sampah

Kamis, 20 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang merekayasa metabolisme ragi untuk memproduksi plastik biodegradable berbasis asam polilaktat (PLA). Tujuan rekayasa ini adalah untuk membuat plastik yang berkelanjutan, berupa plastik yang biodegradable alias bisa diurai secara biologis.

"Material plastik yang tergolong biodegradable ada dua, yaitu polihidroksi alkanoat (PHA), yang saat ini telah dapat disintesis secara optimal oleh mikroorganisme, dan PLA, yang masuk kategori semi-sintesis,” ujar Radityo Pangestu, Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetika BRIN, dikutip Selasa, 18 Juni 2024. 

PLA menjadi fokus dengan target untuk dapat diproduksi secara keseluruhan oleh mikroorganisme tanpa melibatkan proses sintesis kimia. PLA sendiri, telah banyak diaplikasikan untuk berbagai jenis produk, termasuk alat-alat medis, karena tidak berbahaya bagi tubuh. Produk plastik PLA seperti tissue scaffold, masker, serat fiber, dan popok.

Tidak seperti plastik yang kini jadi problem lingkungan yang dibuat dari minyak bumi, bahan baku PLA juga berbasis bio, seperti dari limbah pertanian dan industri, serta diproduksi melalui teknik bioproses, yakni menggunakan bantuan mikroba. 

Istilah plastik biodegradable bukanlah jawaban yang tepat dalam mengurangi pencemaran di lautan. Foto: AZWI

“Inilah yang menjadi fokus penelitian kami, yakni menemukan metode untuk mensintesis plastik biodegradable dari bio-based raw material dengan teknologi bioproses hemat energi dan minim limbah, melalui bantuan mikroorganisme,” kata Radityo. 

Adapun ragi yang digunakan, ujar Radityo, adalah salah satu ragi roti yang dikoleksi Indonesia Culture Collection (InaCC) BRIN, yaitu saccharomyces cerevisiae, yang ternyata menyimpan potensi untuk menghasilkan plastik biodegradable melalui rekayasa genetika.

Dengan metode one-step production ini, Radityo meyakini dapat mengonversi bahan baku limbah industri berbasis lignoselulosa menjadi PLA. Caranya, adalah dengan memasukkan beberapa gen bakteri ke dalam genom ragi, di antaranya gen propionat CoA-transferase dan polimerase. 

"Jika dilihat, proses dari metode ini jauh lebih singkat dalam mengubah bahan baku menjadi polimer target hanya dalam satu tahap fermentasi pada suhu ruangan. Tentunya ini lebih efisien dibandingkan reaksi polimerisasi biasa yang membutuhkan suhu di atas 100 derajat celsius dan melibatkan penggunaan katalis logam yang berbahaya bagi lingkungan," kata Radityo. 

Menurutnya, hingga kini teknik produksi PLA secara in vivo masih kurang dieksplorasi dibandingkan PHA. Riset-riset yang ada pun masih sangat terfokus pada sistem bakteri. Selain itu, belum ada laporan yang mengeksplorasi produksi PLA berbasis monomer L-laktat (PLLA) secara in vivo.

Sementara itu BRIN telah berhasil mendesain metabolisme ragi agar dapat memproduksi monomer asam L-laktat maupun polimer. Radityo mengatakan, teknik ini dapat menciptakan keberlanjutan di industri plastik, karena memiliki potensi untuk dapat memproduksi bioplastik yang bukan berasal dari bahan baku berbasis fosil melalui teknologi produksi ramah lingkungan.

Sejauh ini produksi plastik biodegradable masih menjadi tantangan. Laporan berjudul “Biodegradable Plastics and Marine Litter. Misconceptions, Concerns and Impacts on Marine Environment” yang dirilis oleh UN Environment pada 2015 menyebutkan bahwa istilah plastik biodegradable bukanlah jawaban yang tepat dalam mengurangi pencemaran di lautan. Plastik jenis ini hanya bisa hancur secara sempurna dalam kondisi lingkungan yang seringkali hanya ditemukan pada industrial komposter (seperti pada suhu di atas 50°C) dan bukan alam bebas.

UN Environment, dalam riset berjudul “Alternative Packaging Solutions: Experiment Result” juga menemukan bahwa alternatif pengemasan (diberi label sebagai kompos, biodegradable, oxo-biodegradable) tidak terdegradasi ke tingkat yang signifikan dalam periode eksperimen enam bulan di lingkungan pengujian mana pun. Karena banyak alternatif kemasan yang terlihat seperti plastik konvensional, kemungkinan besar mereka akan dibuang dengan cara yang mirip dengan plastik konvensional dan juga dapat bocor atau dialirkan ke lingkungan terbuka alami dengan cara yang mirip dengan plastik konvensional.