86% Warga Indonesia Ingin Aksi Iklim yang Lebih Kuat
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Sabtu, 22 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Mayoritas warga Indonesia menginginkan aksi iklim yang lebih kuat, dengan 86%-nya ingin pemerintah meningkatkan upayanya mengatasi krisis iklim yang sedang terjadi. Di sisi lain, sebanyak 60% menyatakan mereka lebih khawatir tentang perubahan iklim. Demikian temuan survei dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Survei yang dilakukan oleh Program Pembangunan PBB (UNDP), University of Oxford dan GeoPoll ini mengajukan 15 pertanyaan terkait perubahan iklim melalui panggilan telepon secara acak kepada masyarakat di 77 negara yang mewakili 87 persen populasi dunia, termasuk Indonesia. Jumlah respondennya 75.000 orang.
Secara global, empat dari setiap lima orang menginginkan aksi yang lebih kuat dari pemerintahnya. "Hasil ini adalah bukti yang tidak dapat disangkal bahwa masyarakat di manapun mendukung aksi iklim yang berani,” kata Cassie Flynn, Direktur Global Perubahan Iklim, UNDP, Jumat, 21 Juni 2024.
Negara-negara miskin memberikan dukungan paling besar terhadap kebijakan ini, dengan 89% mendukung, meskipun respons juga tinggi di negara-negara kaya G20 (76%), menurut survei tersebut.
Responden dari Tiongkok dan Amerika Serikat – penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia – juga menunjukkan dukungan terhadap aksi iklim, masing-masing sebesar 73% dan 66%.
Survei tersebut, terangkum dalam laporan Peoples’ Climate Vote menyuarakan pendapat masyarakat di seluruh dunia, termasuk kelompok-kelompok yang paling sulit disurvei. “Dua tahun ke depan adalah salah satu peluang terbaik yang kita miliki sebagai komunitas internasional untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C,” kata Flynn.
Administrator UNDP, Achim Steiner, mengatakan temuan tersebut jelas dan tegas, bahwa masyarakat dunia ingin para pemimpin mereka mengesampingkan perbedaan dan bertindak sekarang untuk mengatasi krisis iklim.
"Hasil survei ini – dengan cakupan yang belum pernah dilakukan sebelumnya – menunjukkan konsensus mengejutkan. Kami mendorong para pemimpin dan pembuat kebijakan untuk memberi perhatian, khususnya saat negara-negara menetapkan komitmen aksi iklim untuk tahap selanjutnya – atau 'kontribusi yang ditentukan secara nasional/nationally determined contributions' di bawah Perjanjian Paris," kata Steiner.
"Perubahan iklim adalah permasalahan yang dialami semua negara di seluruh dunia," ujarnya.
Dalam survei tersebut, 72% masyarakat dunia menunjukkan dukungan terhadap percepatan transisi energi.
Secara khusus, 55% masyarakat Indonesia sepakat untuk segera beralih dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Hal ini sejalan dengan usaha pemerintah dalam mempercepat penggunaan kendaraan listrik.
Kecemasan Iklim
Survei juga mengungkap bahwa masyarakat di seluruh dunia memikirkan tentang perubahan iklim. Secara global, 56% menyatakan mereka memikirkan perubahan iklim secara reguler, yakni setiap hari atau setiap minggu. Ini juga termasuk 63% masyarakat di negara-negara kurang berkembang.
Jika dibandingkan dengan 2023, lebih dari setengah atau 53% masyarakat dunia menyatakan lebih khawatir tentang perubahan iklim. Di negara-negara kurang berkembang angkanya lebih tinggi yakni 59%.
Rata-rata di sembilan negara berkembang pulau kecil yang disurvei, sebanyak 71 persen mengatakan mereka lebih khawatir tentang perubahan iklim dibandingkan tahun lalu.
Negara dengan tingkat kecemasan iklim terbesar adalah Fiji, dimana 80% penduduknya lebih khawatir dibandingkan tahun lalu, diikuti oleh Afghanistan (78%) dan Turki (77%).
Arab Saudi mengalami peningkatan ketakutan terhadap perubahan iklim yang paling rendah, dengan 25% lebih banyak kekhawatiran, diikuti oleh Rusia (34%), Republik Ceko (36%) dan Tiongkok (39%).
Lebih dari dua pertiga responden survei (69%) mengatakan bahwa pemanasan global telah berdampak pada keputusan hidup mereka, seperti tempat tinggal atau bekerja dan apa yang harus dibeli.
Survei ini merupakan yang terbesar yang pernah dilakukan tentang perubahan iklim. Stephen Fisher, profesor di Departemen Sosiologi, University of Oxford, mengatakan hal tersebut merupakan upaya ilmiah yang luar biasa.
“Sambil mempertahankan metodologi yang ketat, upaya khusus juga dilakukan untuk melibatkan masyarakat dari kelompok marjinal di bagian termiskin dunia. Ini adalah beberapa data global berkualitas tinggi yang tersedia tentang opini publik terkait perubahan iklim," katanya.