Indonesia Harus Bersiap Hadapi Aturan Bebas Deforestasi Uni Eropa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Deforestasi
Senin, 24 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aturan Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation Regulation (EUDR) akan segera diimplementasikan tahun depan. Indonesia harus bersiap menghadapinya, karena pasar Eropa adalah salah satu destinasi utama beberapa komoditas andalan, seperti kayu, sawit, kakao, dan karet.
Demikian menurut kertas posisi berjudul "Siapkah Indonesia untuk EUDR? Meninjau dari Observasi Praktek Perkebunan Kelapa Sawit", yang diterbitkan sejumlah organisasi masyarakat sipil baru-baru ini. Dalam kertas posisi itu, kelompok ini menakar kesiapan Pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan rumit dan tantangan besar dalam pelaksanaan kewajiban dari EUDR, terutama terkait pengembangan metodologi untuk menilai risiko deforestasi.
Salah satu penulis kertas posisi, Sadam Alfian Richwanudin, mengatakan di Indonesia, undang-undang dalam negeri mengatur pembatasan akan konversi hutan alam dan mendukung tujuan EUDR untuk mengendalikan deforestasi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, aturan-aturan ini sering kali diabaikan untuk mengakomodasi peraturan Undang-Undang Cipta Kerja, yang cenderung berpihak pada kegiatan komersial sehingga merugikan hak-hak masyarakat dan masyarakat adat, perlindungan lingkungan, dan upaya pemberantasan korupsi.
Analisis masyarakat sipil, katanya, menunjukkan deforestasi yang diakibatkan perkebunan sawit sempat menurun selama beberapa tahun ke belakang, tapi kini kembali meningkat. Konversi cakupan hutan menjadi perkebunan sawit juga terus berlanjut setelah batas waktu EUDR pada 31 Desember 2020, dan bahkan meningkat pada 2022.
"Tren peningkatan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia, serta konsumsi minyak kelapa sawit dalam negeri, berkontribusi terhadap meningkatnya tuntutan untuk perluasan lahan pertanian untuk mengakomodasi sektor kelapa sawit," kata Sadam, yang merupakan salah satu peneliti di Madani Berkelanjutan, 23 Juni 2024.
Perubahan peruntukan hutan menjadi perkebunan juga kerap kali berujung pada konflik kekerasan dan hukum antara masyarakat adat/lokal dan pemilik Perkebunan. Masyarakat adat, sambung Sadam, sering kali mengalami intimidasi, kriminalisasi terhadap kegiatan tradisional, dan pemindahan paksa dalam upaya mereka untuk melindungi tanahnya.
Ancaman terhadap hutan diperparah dengan fakta bahwa saat ini 2,6 juta hektare hutan alam di seluruh Indonesia dibebani oleh izin perkebunan sawit dan telah mendapat Perizinan Pelepasan Kawasan Hutan. Pembukaan hutan memang saat ini belum dimulai, namun hal ini akan segera dilakukan setelah batas waktu yang ditetapkan oleh EUDR.
Menurut Sadam, mekanisme sertifikasi nasional yang wajib ada saat ini, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap deforestasi dan belum memerlukan prasyarat traceability (ketelusuran) hingga tingkat perkebunan, yang dapat menimbulkan masalah baru.
"Fitur ketelusuran dari Sistem Verifikasi Legalitas dan Keberlanjutan (SVLK), yang dikembangkan berdasarkan Perjanjian Kemitraan Sukarela UE-Indonesia, dapat memberikan wawasan positif (juga terkait akses masyarakat sipil) dan menunjukkan kendala yang harus dihindari dalam mengembangkan metodologi uji tuntas," katanya.
Sadam menyebutkan, kurangnya transparansi dan terbatasnya data yang tersedia terkait dengan deforestasi, legalitas perkebunan sawit, maupun tentang definisi dan karakteristik sebuah ‘hutan’ menjadi hambatan untuk dapat menilai situasi di Indonesia secara akurat. Masalah-masalah ini, menurutnya, menghambat upaya masyarakat sipil untuk berkontribusi memantau kepatuhan pada praktek lapangan, dan membantu melindungi hak-hak masyarakat.
Petani swadaya, kata Sadam, sangat dirugikan dengan mekanisme ini. Hanya sedikit petani yang memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), yang diperlukan agar kegiatan mereka dapat dilacak dan dikategorikan sebagai ’legal’. Sehingga mereka rentan tergusur, bahkan ketika petani berusaha mendaftar, mekanisme STDB yang lambat dan cenderung mengesampingkan petani swadaya menjadi tantangan tersendiri.
"Selain itu, petani swadaya sering kali diabaikan dari rantai pasokan komersil besar. Terakhir, Indonesia merupakan wilayah yang luas dengan situasi yang berbeda di tiap-tiap provinsi, baik dalam hal laju deforestasi saat ini, masalah tata kelola dan jenis komoditas pertanian yang dihasilkan," ujar Sadam.
Oleh sebab itu, imbuh Sadam, data subnasional harus dipertimbangkan dalam proses uji tuntas. Selain itu, pengumpulan data yang transparan lebih mudah dilakukan di tingkat pemerintah daerah karena menghindari penundaan administratif yang terjadi pada pengumpulan data oleh pemerintah terpusat, dan memastikan mekanisme rantai pasokan mengakomodasi dan memprioritaskan upaya nyata dalam menjaga keberlanjutan.
"Setelah menganalisis sektor minyak kelapa sawit Indonesia, kami mengusulkan saran secara garis besar dan juga faktor-faktor yang harus diintegrasikan ke dalam metodologi yang digunakan untuk membuat tolak ukur risiko deforestasi," katanya.
Secara umum, Uni Eropa harus mempertimbangkan untuk dapat mendorong Indonesia mengamandemen kebijakan dan undang-undang yang memperlemah perlindungan lingkungan, contohnya, Undang-Undang Cipta Kerja dan memperkuat peraturan serta instansi yang memiliki andil dalam perlindungan hutan, seperti, PIPPIB dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kemudian, mengkaji kelebihan dan kekurangan sistem ketelusuran SVLK, terutama terkait elemen transparansi yang memungkinkan masyarakat sipil agar dapat berkontribusi sebagai pemantau. Selanjutnya, menciptakan forum multi-pihak yang memiliki nilai-nilai inklusif serta mewakili komoditas/provinsi yang memperjuangkan partisipasi masyarakat sipil, dan mengharuskan pemberian akses yang transparan untuk data-data yang relevan pada masyarakat sipil.
Lalu, merekomendasikan agar Indonesia membangun sistem pemetaan yang selaras dengan definisi FAO dan EUDR tentang ‘hutan’, dan membuat kebijakan yang memprioritaskan petani swadaya dengan sertifikasi keberlanjutan (sustainability),mengatur pembelian hasil panen agar langsung dari koperasi petani swadaya, dan mengatur mekanisme koordinasi dengan operator Uni Eropa untuk memastikan bahwa komoditas impor yang memasuki Uni Eropa mencakup produk dari petani swadaya.
"Selain itu, Uni Eropa juga harus mempertimbangkan poin-poin berikut untuk dimasukkan ke dalam metodologi penilaian risiko," ucap Sadam.
Konflik lahan, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan korupsi, kata Sadam, merupakan masalah tersendiri yang dapat mempercepat deforestasi di masa depan. Metodologi yang akan digunakan harus mampu menunjukkan pentingnya masalah-masalah tersebut, yang mencakup sanksi tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, untuk memastikan akuntabilitas.
Mengingat banyaknya perbedaan antarprovinsi di Indonesia, lanjut Sadam, Uni Eropa perlu memasukkan variasi subnasional sebagai bahan pertimbangan persyaratan wajib yang diintegrasikan ke dalam metodologi. Seperti yang telah diketahui, laju deforestasi dan proyeksi deforestasi di beberapa provinsi di Indonesia jauh lebih besar dan tinggi dibandingkan provinsi lainnya.
"Memasukkan perbedaan antarprovinsi tersebut akan memungkinkan penilaian masalah tata kelola yang lebih akurat. Tolok ukur subnasional juga mendorong sistem yang transparan dan mudah dipantau oleh masyarakat umum, serta menghindari keterlambatan pada pengumpulan data terpusat," ujar Sadam.
Sadam melanjutkan, tolok ukur dimaksud, juga harus dibuat berdasarkan komoditas yang spesifik, karena laju perluasan Perkebunan karet, kopi, dan cokelat jauh lebih rendah dibandingkan perkebunan sawit. Agar adil, produsen komoditas yang berbeda tidak dapat diperlakukan dengan sama rata.
"Namun, masih belum jelas apakah frasa “tren produksi komoditas terkait dan produk terkait--pasal 29 (3) c tentang ‘kriteria wajib’--mewajibkan penetapan tolok ukur per komoditas. Kami berharap bahwa metodologi yang digunakan untuk menentukan tolok ukur dapat memperjelas hal tersebut," ucap Sadam.