Penguasa Bisnis Biomassa: Lu Lagi, Lu Lagi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 27 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Implementasi pembakaran biomassa kayu bersamaan dengan batu bara (co-firing) pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), telah mendorong para pengusaha untuk berlomba-lomba membangun tanaman hutan energi (HTE) di berbagai daerah di Indonesia. Sejumlah nama grup usaha raksasa diketahui bermain di bisnis penyediaan bahan baku yang disebut sebagai energi terbarukan ini.

Hal tersebut diungkapkan Trend Asia dalam laporan terbarunya yang berjudul "Penangguk Cuan Transisi Energi", yang dirilis Selasa lalu. Dalam laporan itu, Trend Asia melihat secara kritis implementasi dan klaim kebijakan co-firing biomassa, termasuk aktor-aktor yang terlibat dalam penyediaan kayu sekaligus menikmati keuntungan dari bisnis biomassa untuk PLTU.

Berdasarkan hasil riset, Trend Asia menemukan bahwa rantai suplai biomassa didominasi oleh para konglomerat industri batu bara dan kayu. Ditemukan nama-nama grup besar yang sudah lama terjun dalam bisnis kayu dan batu bara, di antaranya APP Sinarmas Group, Sampoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar Group.

Beberapa dari grup raksasa tersebut, seperti Sinarmas dan Wilmar, juga terkait dengan bisnis bioenergi lain, yaitu biodiesel, dan menerima insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Tidak hanya bisnis energi yang dikatakan terbarukan, konglomerasi tersebut juga terkait dengan bisnis energi kotor.

Penggiat lingkungan membentangkan poster yang mendesak berhentinya PLTU batu bara, termasuk dengan campuran biomassa, program pemerintah yang dikhawatirkan dapat memicu deforestasi. Dok Trend Asia

Jhonlin Group dan Barito Pacific Group memiliki anak perusahaan yang menjadi pemasok batu bara. Sementara Wilmar Group juga terlibat dalam investasi PLTU Sumatera Utara-2.

Manajer Program Biomassa, Trend Asia, Amalya Oktaviani, mengatakan para pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis kayu energi merupakan pemain lama dan kuat di industri kayu. Para pelaku usaha tersebut diuntungkan dari implementasi program co-firing karena berhasil memperoleh jenis bisnis baru, menutup keterlibatan pihak lain, terutama masyarakat, serta memastikan perolehan insentif dari pemerintah.

Trend Asia, kata Amalya, juga menemukan banyak dari korporasi tersebut bermasalah secara sosial dan lingkungan, mulai dari perampasan lahan masyarakat adat, konflik dengan petani, hingga aktivitasnya yang berada di kawasan gambut.

"Jadi tidak hanya klaim tentang ekonomi kerakyatan terpatahkan, tapi ini menunjukkan bahwa transisi energi lewat biomassa kayu hanya bisnis. Bisnis yang akan dikuasai oligarki yang sama," kata Amalya dalam sebuah rilis, Selasa (25/6/2024).

Nama-nama yang disebutkan dalam laporan ini diketahui menguasai bisnis ekstraktif di Indonesia. Termasuk perusahaan-perusahaan di bawah Grup Medco milik Arifin Panigoro, Jhonlin Group milik taipan batu bara Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam, Korindo Group milik Bob Hasan, hingga raksasa kertas Sinarmas Group.

Laporan ini menyebut, banyak dari perusahaan ini membawa rekam jejak buruk. PT Selaras Inti Semesta (PT SIS) yang terhubung dengan Medco Group, misalnya, telah diprotes keras oleh masyarakat adat akibat penggusuran dan perusakan hutan dalam pengelolaan konsesinya seluas 169.400 hektare di Merauke, Papua Selatan. Ada pula PT Sadhana Arifnusa milik Grup Sampoerna, juga memiliki konflik dan mendorong kriminalisasi terhadap kelompok petani, hingga mengakibatkan 1 orang meninggal di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoha, menganggap transisi energi dengan pendekatan melalui pembangunan HTE hanyalah bisnis semata. Sehingga, katanya, tidak ada kaitannya dengan upaya pengurangan emisi dan upaya meningkatkan bauran energi nasional.

"Ini bisnis energi yang menjadi pendorong deforestasi baru di Indonesia. Bahkan deforestasi secara terencana seluas 420 ribu hektare hutan alam di dalam 31 konsesi HTE," kata Anggi.

Lebih lanjut Amalya menguraikan, meski dipromosikan sebagai solusi transisi energi yang berasas “ekonomi kerakyatan”, pada akhirnya industri biomassa kayu didominasi oleh konglomerasi oligarki lama, yang telah gemuk dengan eksploitasi energi fosil maupun eksploitasi kehutanan Indonesia. Sementara itu, keterlibatan masyarakat terbatas pada remah-remah.

"Para petani dilibatkan sebagai buruh perkebunan murah, sedangkan UMKM perkayuan hanya terlibat menyuplai limbah, seperti serbuk kayu, dengan harga murah. Dalam rantai suplai pun ia didominasi oleh cukong dan badan usaha yang terafiliasi dengan PLTU," kata Amalya.

Pengembangan biomassa, imbuh Amalya, tidak benar-benar ada untuk mendukung transisi energi bersih ataupun mendukung ekonomi kerakyatan. Ia adalah solusi murah untuk mendongkrak bauran energi terbarukan dengan permainan hitung-hitungan karbon yang patut dipertanyakan.

Pengembangan biomassa, katanya, memanfaatkan infrastruktur dan sistem eksploitasi hutan yang sudah akrab dikenal oligarki Indonesia. Ia juga erat dengan kepentingan industri energi fosil, khususnya batu bara, sebagai upaya kosmetik greenwashing PLTU untuk mencitrakan diri sebagai energi bersih dan menunda pemensiunan.

"Biomassa adalah solusi palsu transisi energi yang mengalihkan Indonesia dalam proses penting melawan perubahan iklim, dan ia harus disudahi," kata Amalya.

Dalam laporan ini, Trend Asia juga menyoal tentang klaim kayu sebagai sumber energi listrik yang dianggap menjadi alternatif bahan bakar fosil yang netral karbon, sehingga membantu melawan perubahan iklim. Klaim tersebut berhasil dipatahkan oleh Trend Asia melalui riset “Adu Klaim Menurunkan Emisi”.

Khususnya ketika melibatkan deforestasi, ia akan menimbulkan hutang karbon yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk dilunasi. Penelitian Trend Asia menemukan bahwa proses produksi kayu tersebut akan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton emisi karbon. Di penelitian lain, Trend Asia juga melihat “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi”, yang mana penggunaan lahan dibutuhkan hingga 2,3 juta hektare atau 33 kali luas Jakarta, untuk memproduksi biomassa kayu.