Jokowi Divonis Berdosa, Istana Ajukan Pledoi Survei Kompas
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Jumat, 28 Juni 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinyatakan terbukti bersalah langgar hak konstitusi rakyat dan tidak lagi memiliki kelayakan sebagai presiden oleh sembilan hakim rakyat pada Mahkamah Rakyat Luar Biasa, yang digelar di Wisma Makara, Universitas Indonesia, pada Selasa (25/6/2024). Pemerintahan Jokowi dinyatakan melakukan 9 dosa atau nawadosa, meliputi masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya maupun ekonomi.
Persidangan mahkamah ini dihadiri oleh ratusan masyarakat sipil dari berbagai provinsi di Indonesia dan disaksikan oleh ribuan orang secara daring melalui siaran langsung YouTube selama 8 jam. Masyarakat melakukan gugatan kepada Rezim Jokowi dengan mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas sederet kasus yang disampaikan oleh 9 pengadu, didukung dengan keterangan dari 6 saksi dan 4 ahli, serta ditimbang dan diadili oleh 9 majelis hakim rakyat.
Selain Presiden Jokowi, masyarakat turut menggugat Puan Maharani, Ketua DPR RI, dan Lanyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI, yang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi demokrasi dan hak asasi manusia. Ikut digugat sepuluh partai politik yang memiliki kewenangan di bidang legislasi yang lolos parlemen dari 2014, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, Hanura, PPP, Demokrat, dan PKS.
"Walau sudah melayangkan undangan jelang kegiatan, yaitu pada hari Senin (24/5), namun tidak ada satu pun tergugat termasuk Presiden Jokowi yang hadir dalam dalam sidang dan memenuhi undangan," kata Mahkamah Rakyat Luar Biasa dalam keterangan tertulis, Selasa (25/6/2024).
Sejumlah masalah yang diadukan masyarakat sipil dalam Mahkamah Rakyat kemudian dicatat sebagai “nawadosa” (sembilan dosa), meliputi masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya maupun ekonomi. Alasannya, masyarakat resah dan marah atas tindakan aktif pemerintah dalam pelanggaran hak konstitusional masyarakat.
Nawadosa dimaksud seperti normalisasi terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pembangunan Rempang Eco City, PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Bandara Kulon Progo, reklamasi Teluk Jakarta, eksplorasi nikel sejumlah daerah termasuk di pulau kecil Pulau Wawonii, deforestasi Papua yang mengancam Masyarakat Adat Suku Awyu dan Moi, penggusuran Taman Sari dan Dago Elos, maupun berbagai proyek dan kebijakan lainnya yang justru merugikan masyarakat dan menguntungkan segelintir pihak.
Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas diselesaikan, di antaranya pembantaian 1965-1966, peristiwa Talangsari 1989, tragedi rumah Geudong, pembantaian dukun santet Banyuwangi, penembakan misterius, kasus Munir dan Marsinah, penghilangan orang secara paksa, kerusuhan Mei 98, tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Timor Timur, simpang KKA, kasus Abepura, Wasior Papua, Wamena, Jambo Keupok Aceh, Timang Gajah di Bener Meriah, Paniai, hingga tragedi stadion Kanjuruhan dan kejahatan kemanusian lainnya.
Menanggapi sidang Mahkamah Rakyat, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pemerintah terbuka menerima kritik maupun dukungan terhadap jalannya pemerintahan.
"Kritik merupakan hal yang lazim dalam negara demokrasi. Kritik dapat menjadi masukan yang konstruktif untuk memperbaiki semua bidang pemerintahan," kata Ari seperti dikutip Tempo.co dan Suara.com pada Selasa (25/6).
Ari Dwipayana menegaskan, kritik dapat menjadi masukan yang konstruktif untuk memperbaiki di semua bidang pemerintahan.
Ari lantas membeberkan adanya dukungan dan kepercayaan yang positif dari masyarakat terhadap Presiden dan pemerintah. Dukungan dan kepercayaan itu terpotret melalui hasil survei Litbang Kompas.
"Sebagaimana hasil survei lembaga-lembaga yang kredibel, misalnya Litbang Kompas yang baru saja menunjukkan tingkat kepuasaan pada kinerja pemerintahan Jokowi mencapai 75,6 persen," kata Ari.
Poin putusan
Berdasarkan kasus-kasus yang disebutkan, sidang Mahkamah Rakyat akhirnya ditutup dengan putusan majelis hakim yang terbagi ke dalam dua bagian, yakni:
Berdasarkan sektoral
- Menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak hidup dan indikasi kuat adanya kejahatan kemanusiaan dengan cara memanipulasi kebijakan untuk mengusir secara paksa masyarakat/petani.
- Tergugat terbukti melembagakan dan menormalisasi kekerasan, kekerasan berbasis rasisme, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi yang menyebabkan penyempitan ruang sipil.
- Tergugat terbukti melanggar ham dan merusak demokrasi dengan cara memberi ruang bagi pelanggar ham berat dan melanggengkan impunitas.
- Menyatakan tergugat terbukti telah gagal melaksanakan tugas konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tidak melaksanakan tugas pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, terlibat secara cara aktif melakukan komersialisasi pendidikan dan pendudukan atas kebebasan akademik.
- Menyatakan tergugat telah melanggar seluruh tabu reformasi dengan menghidupkan kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan jauh lebih vulgar daripada masa Orde Baru. Dengan demikian, tergugat telah melakukan impeachable offense sebagaimana tertuang pada pasal 7a UUD RI 1945.
- Menyatakan tergugat telah terbukti secara sistematis melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik.
- Menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan mendukung praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.
- Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan.
- Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI, melanggengkan impunitas, operasi militer ilegal,
Secara Umum
- Tergugat terbukti menyebabkan adanya pelanggaran HAM lintas generasi.
- Tergugat terbukti memundurkan demokrasi antara lain mengembalikan dwi fungsi TNI/POLRI, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi serta memberlakukan kembali azas Domein Verklaring dalam pertanahan dari masa kolonial.
- Tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia yaitu dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”.
- Tergugat terbukti melakukan setidaknya pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UUD 1945, korupsi dalam arti luas, dan/atau terbukti melakukan perbuatan tercela.
Kasus petani Tanjung Sakti
Salah satu kasus yang diadukan dalam Mahkamah Rakyat adalah kasus tiga anggota kelompok tani Tanjung Sakti, di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Dalam kasus ini, Harapandi, Rasuli dan Ibnu Amin digugat perusahaan perkebunan sawit PT Daria Dharma Pratama (DDP), yang dihukum bayar Rp3 miliar oleh Pengadilan Tinggi Bengkulu.
"Tolong tunjukkan keadilan di muka bumi ini karena negeri ini punya kami. Selama pemerintahan Presiden Jokowi yang berkuasa saat ini tidak ada keadilan," kata Harapandi, dalam sidang Mahkamah Rakyat.
Kuasa hukum petani, Efyon Junaidi menyatakan, dari awal gugatan PT DDP ini tidak jelas. Sebab dalam gugatan ada HGU namun ada bukti surat yang dikeluarkan oleh PT DDP sendiri yang menyatakan mereka baru memiliki izin prinsip.
“Ada hal yang tidak konsisten antara alas gugatan dengan bukti surat. Beberapa catatan penting yang menjadi dasar gugatan ini adalah HGU No. 125/2017 yang dinyatakan sebagai alas hak tapi tidak disertai lampiran peta bidang tanahnya,” kata Efyon.
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengapa PT DDP tidak memasukan peta tersebut sehingga data dan informasi yang dihadirkan menjadi terang benderang. Pertanyaan lain menurutnya adalah dalam gugatan ini hanya menggugat 3 orang, sementara jumlah anggota kelompok petani Tanjung Sakti yang mengusahakan ahan yang dinyatakan tidak lengkap izinnya itu setidaknya berjumlah 45 orang.
Wilayah perkebunan yang dinyatakan milik PT DDP di Desa Serami yang dijaga dan dirawat oleh petani Tanjung Sakti merupakan areal semak dan tidak terurus dengan baik. Situasi ini membuat petani berani mengelola areal tersebut.