Efek Kupu-kupu pada Serangga: Punah Satu, Sengsara 1000

Penulis : aryo Bhawono

Biodiversitas

Senin, 01 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Serangga, satwa dengan jumlah spesies terbesar, merupakan jantung rantai makanan. Kepunahan satu spesies satwa ini dapat memicu rentetan bencana lain, mulai dari kepunahan satwa lain, gagal panen, hingga kelaparan akibat putusnya rantai makanan.

Mendengar kata serangga, banyak orang langsung berpikir soal hama, penyakit, hingga daerah yang kotor dan jorok. Serangga seringkali dikategorikan sebagai satwa kelas dua yang selalu dikaitkan dengan hal-hal buruk, sebut saja serangga penggerek padi, nyamuk, ataupun kecoa. Pikiran ini tentu saja salah.

Entomolog (ahli serangga) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rosichon Ubaidillah, mengungkapkan serangga merupakan satwa dengan spesies terbesar. Saking banyaknya, ada beragam versi jumlah spesies satwa ini namun dirinya meyakini total spesies serangga mencapai 5,5 juta. “Nah, dari total 5,5 juta spesies ini hanya tiga persen saja yang merugikan manusia,” ucapnya dalam bedah buku ‘Narasi Ekologi: Kiamat Serangga dan Masa Depan Bumi’ untuk memperingati 10 tahun Biodiversity Warrior KEHATI di kantor Kehati, Jakarta pada Kamis (27/5/2024). 

Ia menyebutkan, banyak sekali fungsi serangga dalam kehidupan. Saking banyaknya jumlah dan ragam fungsi serangga, hewan ini didudukkan sebagai jantung rantai makanan. 

Populasi semut berlimpah di bumi, baik dari segi jumlah maupun biomassa. Studi terbaru mengungkap sifat sosial mereka dapat membantu beradaptasi dengan krisis iklim. Foto: Unsplash/Public Domain

Artinya, kata Rosichon, kepunahan serangga atau merosotnya populasi serangga dapat menyebabkan kepunahan satwa atau bahkan flora lain. 

Banyak kasus di dunia yang menunjukkan dampak merosotnya populasi serangga terhadap satwa lain. Misalnya saja di Inggris, merosotnya lalat menyebabkan populasi burung jenis flycatcher nyaris lenyap. Burung ini kehilangan mangsanya karena berbagai hal seperti pembangunan dan penggunaan insektisida. 

Rosichon tak bisa membayangkan jika serangga penyerbuk tertentu hilang karena ulah manusia. Tumbuhan yang dibantu penyerbukannya oleh serangga itu tentu akan mengalami kepunahan. 

“Bayangkan jika itu terjadi pada tanaman pangan. Dampaknya tentu sangat meresahkan. Bisa-bisa manusia kelaparan,” ucap dia. 

Pakar Pohon Institut Pertanian Bogor, Tukirin, mengungkapkan serangga berperan sebagai polinator yang sangat rinci dan menyesuaikan dengan bunga tumbuhan yang dibantu penyerbukannya. Dari 800 hingga 800 jenis pohon ficus, 300 di antaranya tumbuh di Indonesia. "Untuk setiap jenis terdapat serangga penyerbuk berbeda," kata dia. 

Misalnya saja pohon beringin (Ficus benjamina), penyerbukannya dibantu oleh lebah Eupristina sp. Pohon Loa (Ficus recamosa) dibantu penyebukannya oleh Ceratosolen fusciceps, dan Pohon Bisoro atau Luwingan (Ficus hispida) dibantu oleh Ceratosolen solmsi

“Masing-masing serangga penyerbuk ini punya kekhasan yang sesuai dengan bunga pohon yang dibantu penyerbukannya. Jadi sangat rinci sekali peran dan jenis mereka,” ucap Tukirin. 

Menurut Rosichon peran-peran penting ini sudah menjadi perhatian para ilmuwan sejak lama. Ia menceritakan, seorang pakar serangga asal Amerika Serikat, Rachel Carlson, berhasil mengkampanyekan penghentian penggunaan salah satu zat insektisida, Diklorofo Difenil Trikloroetana (DDT).

Pada pasca perang dunia kedua, zat ini digunakan untuk membasmi serangga pembawa penyakit, seperti malaria. Tapi dampak insektisida ini ternyata juga memusnahkan beragam serangga lainnya hingga berisiko punah. 

“Perjuangan Carlson tak mudah, ia digugat balik oleh perusahaan yang memproduksi DDT, bahkan lembaga yang mengurusi pembasmian malaria juga ikut menggugat. Tapi akhirnya tujuannya tercapai,” kata dia. 

Menurutnya fenomena merosotnya populasi serangga di Indonesia belum secara spesifik diteliti. Misalnya saja lenyapnya kunang-kunang di berbagai tempat, terutama perkotaan, karena pembangunan ataupun aktivitas manusia lain. 

Fenomena ini seharusnya menjadi kajian untuk menunjukkan dampak. Misal saja jika kunang-kunang menjadi parameter lingkungan baik fenomena ini menunjukkan kian buruknya kondisi lingkungan.

Rosichon khawatir saat ini pemerintah tak pernah memberikan perhatian untuk mengantisipasi fenomena yang terjadi. Apalagi BRIN, lembaga tempatnya bernaung, hanya didorong untuk melakukan riset yang dapat mendorong investasi.  

“Terus terang ini penting bagi umat manusia, lingkungan, hingga kehidupan. Kalau BRIN tak bisa diharapkan karena bebannya adalah penelitian yang bertujuan investasi saja maka jangan-jangan kita tak sadar sudah kehilangan serangga tertentu dan sebenarnya sudah berdampak meski masih kecil. Mitigasi pun kelak akan lebih berat atau sudah tak bisa lagi,” kata dia. 

Penulis Buku ‘Narasi Ekologi: Kiamat Serangga dan Masa Depan Bumi’, Arifin Muhammad Ade, mengungkap kepunahan serangga benar-benar membawa kekhawatiran besar. Perannya yang signifikan tak dapat tergantikan sehingga bencana dapat muncul kemudian.