Ironi Wilayah Kaya Tambang: Pemerintah Datang, Kehidupan Hilang

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Senin, 01 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masa depan?

Jika bagi sebagian besar orang, masa depan sulit diterka, tidak demikian bagi Aini. Perempuan itu, yang namanya kami samarkan, melihat masa depannya semakin bangkrut. Tak sulit baginya untuk menerka wajah masa depan kampungnya, bila aktivitas destruktif tambang itu terus berlanjut.

Aini adalah satu dari banyak warga Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang berebut ruang hidup dengan tambang. Soalnya, sebagian besar wilayah Desa Torobulu, termasuk rumah Aini, masuk dalam konsesi tambang nikel PT Wijaya Inti Nusantara (PT WIN).

Aini melihat tambang nikel itu perlahan-lahan mengambil semua modal hidup warga di desanya. Tanah untuk berkebun, sumber air bersih, dan udara yang sehat, direnggut dari warga.

Dari ketinggian tampak sebagian lahan wilayah Desa Torobulu, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang telah penuh lubang tambang nikel. Foto: Walhi Sultra.

"Saya merasa kami ini di Torobulu seperti mau diusir," kata Aini, Jumat (14/6/2024).

Aini mengungkapkan, operasi tambang PT WIN sangat agresif. Hanya dalam beberapa tahun lahan-lahan di kampungnya penuh lubang-lubang tambang, terutama di bagian timur wilayah desa. Banyak dari lubang itu hingga saat ini masih menganga, dibiarkan begitu saja tidak direklamasi.

"Bahkan mereka menambang di dekat rumah warga. Hanya berjarak 10 meter dari rumah warga," katanya.

Bukan hanya itu, lanjut Aini, aktivitas tambang juga telah menghilangkan dua kolam sumber air tawar bersih warga. Adapun satu kolam air bersih lainnya yang tersisa, diduga tak lagi sehat, sebab perusahaan itu menambang tepat di sebelah tanggul kolam.

"Padahal kolam itu satu-satunya sumber air tawar bersih untuk warga dua dusun yang ada di sekitar pesisir. Mereka (warga) tidak bisa bikin sumur, karena yang masuk ke sumur airnya asin," tutur Aini.

Tampak salah satu kolam sumber air tawar warga Desa Torobulu yang dikelilingi galian tambang nikel. Foto: Walhi Sultra.

Yang membuat Aini semakin resah adalah, perusahaan tersebut belakangan mulai melakukan eksplorasi tambang di bagian utara dan barat desanya. Bila eksplorasi itu nantinya dilanjutkan dengan operasi produksi, maka pemukiman warga Torobulu akan terisolasi--karena bagian selatan desa berbatasan langsung dengan laut.

Operasi tambang itu, imbuh Aini, juga mempengaruhi perekonomian warga. Menurut Aini, desanya sebelumnya merupakan penghasil ikan untuk banyak daerah sekitar, hingga desanya dilabeli "Desa Dolar". Tapi sejak tambang nikel beroperasi dan limbahnya mencemari perairan pesisir, hasil tangkap ikan nelayan di desanya jauh menurun.

"Karena mereka (nelayan) terpaksa harus mencari ikan ke tempat yang lebih jauh. Dan itu tidak ekonomis. Jadi hasil tangkapan nelayan sekarang jauh lebih sedikit," ucapnya.

Aini menurutkan, warga Torobulu sesungguhnya tidak berdiam diri. Ia dan beberapa warga lain sampai saat ini masih berusaha menyuarakan penolakan kegiatan tambang. Bahkan dua warga, yakni Haslilin dan Andi Firmansyah, baru-baru ini dikriminalisasi karena dituduh merintangi kegiatan tambang.

Di awal perusahaan tersebut beroperasi, kata Aini, sekitar 2019 lalu, warga pernah beramai-ramai memprotes kegiatan tambang perusahaan. Penyebabnya, karena penambangan nikel dilakukan tepat di belakang SDN 12 Laeya. Berjarak hanya puluhan meter saja.

"Aktivitas belajar mengajar di sekolah jadi terganggu, apalagi debunya," ujar Aini.

Tampak bekas aktivitas tambang nikel di belakang SDN 12 Laeya, di Desa Torobulu, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: Walhi Sultra.

Sayangnya, protes warga itu hanya berbuah kesepakatan bahwa perusahaan hanya boleh melakukan kegiatan tambang pada malam hari, atau tidak di saat kegiatan belajar mengajar di sekolah berlangsung.

"Dan entah bagaimana, kawan-kawan yang dulu ikut memprotes tambang itu, satu persatu bungkam. Itu yang kami sayangkan," keluh Aini.

Citra satelit menampakkan kondisi lahan sekitar SDN 12 Laeya yang sudah hancur akibat tambang nikel di Desa Torobulu, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Gambar: Google Earth.

Berdasarkan data Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, PT WIN telah memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Nomor 820/DPMPTSP/XI/2019, dengan luas sekitar 1.931 hektare. IUP tersebut berlaku mulai 29 November 2019 hingga 28 November 2029.

Menurut yang tercatat di MODI, perusahaan ini beralamat di Jl. Anuang No. 86 Kelurahan Maricaya Selatan, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. PT WIN dimiliki oleh PT Tri Daya Jaya (99 persen saham) dan Frans Salim Kalalo (1 persen saham). Selain sebagai pemegang saham minoritas, Frans Salim Kalalo juga menjabat sebagai direktur pada perusahaan ini, sedangkan kursi komisaris diduduki oleh Anthony Kalalo.

Daya rusak tambang yang masif

Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Definisi tersebut hampir tak berlaku lagi di Torobulu. Selain mengubah bentang alam, tambang juga telah merusak hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungannya di sana.

Menurut Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Nasional, daya rusak tambang memanglah demikian, dan persoalan di Torobulu itu juga terjadi di banyak tempat lain di Indonesia.

"Model tambang itu pasti mengubah bentang alam dan mempengaruhi ekologis, tidak ada tambang yang ramah lingkungan," kata Rere, panggilan akrab Fanny Tri Jambore Christanto, 6 Juni 2024.

Rere menuturkan, dalam praktiknya, untuk mengambil isi perut Bumi, para penambang terlebih dulu akan menghancurkan permukaan tanah. Seluruh vegetasi di atasnya akan hilang, dan tata air rusak.

"Makanya regulasi itu seharusnya berfungsi sebagai pengendalian dan pembatasan. Bukan sebagai upaya bagi-bagi sumber daya alam," kata Rere.

Tampak dari ketinggian lubang-lubang tambang nikel PT WIN yang berada sangat dekat dengan pemukiman warga Desa Torobulu, Kabupaten Konawe Selatan. Foto: Walhi Sultra.

Rere mengungkapkan, hampir 5 juta hektare lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batu bara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarenya berada di kawasan hutan. Tren perusakan ini, menurut Rere, tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batu bara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton).

Padahal kontribusi batu bara pada sektor energi, lanjut Rere, menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada 2021. Konsesi pertambangan batu bara juga merupakan ancaman bagi budi daya agraris di Indonesia. Luasan tambang batu bara dilaporkan mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budi daya padi baru.

Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2022, luas lahan tambang di Indonesia mencapai sekitar 897.400 hektare, terdiri dari 370.900 hektare di kawasan hutan dan 526.600 hektare di lahan areal penggunaan lain.

Puluhan ribu lubang tambang

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menghitung, jumlah lubang tambang di Indonesia mencapai sekitar 80.060 titik. Berdasarkan lokasinya, sebagian besar lubang tambang itu berada di Kalimantan Timur (Kaltim) sebanyak 44.736 titik, Maluku Utara 10.684 titik, Sulawesi Utara 7.097 titik, Kalimantan Selatan 4.495 titik, dan Sulawesi Selatan 3.323 titik.

Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, mengatakan, lubang-lubang tambang beracun yang dibiarkan menganga itu, menjadi momok yang menakutkan, bahkan menjadi mesin pembunuh massal bagi warga sekitar. Sebab, lubang-lubang tambang itu menyebabkan terjadinya kecelakaan dan menenggelamkan orang secara berulang. Sejauh ini sudah ada sekitar 178 nyawa melayang di lubang-lubang tambang.

“Termasuk di Kaltim yang per Juni 2024, jumlah korbannya sudah mencapai 49 nyawa. Sebagian besar di antaranya usia anak-anak dan tidak ada penegakan hukum dan keadilan bagi korban/keluarga korban,” kata Melky, Kamis (6/6/2024)

Sudahlah begitu, lanjut Melky, regulasi di Indonesia malah justru sama sekali tidak menjangkau persoalan-persoalan lubang bekas tambang. Dalam Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)--sebelum direvisi dengan UU. No. 3 Tahun 2020--sama sekali tidak menyinggung tentang menutup lubang tambang setelah selesai eksploitasi.

“Bagi perusahaan, kegiatan pemulihan itu sangat mahal, sehingga tidak heran meninggalkan lubang bekas tambang begitu saja,” ujar Melky.

Sementara dalam UU Minerba terbaru, meski ada klausul sanksi 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar bagi pemegang izin tambang yang gagal melakukan reklamasi, namun definisi legal dari reklamasi masih belum jelas. Pada Pasal 99 UU Minerba, hanya disebutkan bahwa pemegang izin tambang harus “mengelola daerah bekas tambang” tapi tidak ada soal ketentuan mengisi lubang bekas tambang.

Salah satu lubang bekas tambang di Kalimantan Selatan. Foto: Auriga Nusantara.

Celakanya, lanjut Melky, melalui Kepmen ESDM No 1827K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik, lahan bekas tambang justru boleh digunakan untuk keperluan lainnya seperti sumber air, budi daya perikanan, irigasi dan wisata. Melky anggap, regulasi ini tak hanya menguntungkan korporasi, tetapi sebagai petaka bagi warga dan lingkungan.

Satu lagi, kata Melky, dalam UU Minerba terbaru, ada pergeseran tanggung jawab pengawasan kegiatan pertambangan dari tingkat pemerintah provinsi ke pemerintah pusat, termasuk soal reklamasi. Pemindahan kewenangan tersebut bisa menimbulkan risiko dalam mengidentifikasi lubang bekas tambang yang kecil namun berbahaya.

"Pengawasan dari Jakarta, kemungkinan harus bergantung pada teknologi satelit, yang sayangnya tidak menangkap lubang-lubang kecil yang tergenang. Jadi, era Jokowi ini memang sangat brutal. Ia melakukan segala cara mengakomodasi kepentingan pebisnis, sementara kerusakan lingkungan dan keselamatan warga diabaikan,” ujarnya.

Banyak lubang tambang tak direklamasi

Pemerintah memang mewajibkan tiap badan usaha pemegang IUP dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menempatkan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat 1 UU Minerba terbaru. Sesuai namanya, dana tersebut nantinya akan digunakan untuk mereklamasi dan melakukan kegiatan pascatambang di lubang tambang.

“Namun, penempatan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP untuk melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dokumen rencana reklamasi dan dokumen rencana pascatambang yang telah disetujui," kata Siti Sumilah Rita Susilawati, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, kepada Bloomberg Technoz, Jumat (7/6/2024).

Kewajiban pelaksanaan reklamasi dan pascatambang, menurut Rita, melekat baik untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) ataupun eks pemegang IUP hingga mencapai tingkat keberhasilan 100%. Hal itu diamanatkan dalam pada Pasal 123A Ayat 1 dan Ayat 2 UU No. 3 Tahun 2020.

Tapi nyatanya, banyak perusahaan tambang yang nakal. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2019, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI menyebut, dari 4.726 perusahaan pemegang IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, hanya 282 perusahaan yang telah menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang.

Sedangkan 983 perusahaan hanya menempatkan jaminan reklamasi dan 31 perusahaan hanya menempatkan jaminan pascatambang. Sementara itu, 3.430 perusahaan lainnya belum menempatkan kedua jenis jaminan tersebut.

Selain itu, belum seluruh dokumen jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang tersebut disimpan oleh pemerintah provinsi, tetapi masih disimpan oleh pemerintah kabupaten/kota atau perusahaan pemegang IUP. Hal Ini mengakibatkan risiko kerusakan lingkungan atas kegiatan pertambangan oleh perusahaan yang belum menempatkan jaminan, dan pemerintah tidak memiliki jaminan bahwa perusahaan akan bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Dua tahun kemudian, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan KLHK Tahun 2021, BPK RI menyebut Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak optimal dalam berkoordinasi, terkait penggunaan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang yang dikaitkan dengan penilaian keberhasilan reklamasi. Hal tersebut mengakibatkan penyelesaian reklamasi dan pascatambang pada areal seluas sekitar 24.404,77 hektare berlarut-larut.

Tampak dari ketinggian lubang bekas tambang yang ditinggalkan perusahaan tanpa reklamasi di Kelurahan Sanga-Sanga Dalam, di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: Istimewa.

“Terdapat perbedaan standar keberhasilan reklamasi yang digunakan oleh KESDM dengan Kementerian LHK untuk reklamasi dalam kawasan hutan. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Pasal 48,” tulis BPK RI dalam laporan itu.

Pada 2023, permasalahan reklamasi dan kegiatan pascatambang kembali jadi sorotan BPK. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 Tahun 2023, disebutkan pengelolaan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang pada Ditjen Minerba belum sesuai ketentuan.

Hal ini mengakibatkan potensi kehilangan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang yang ditempatkan sebesar Rp832,26 miliar dan US$58,00 juta, serta Negara tidak memiliki kepastian dana jaminan dari pemegang izin pertambangan yang tidak menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang serta berpotensi menanggung kerusakan lingkungan sebesar Rp145,29 miliar dan US$6,71 juta.

Semester berikutnya BPK RI menemukan indikasi kerusakan lingkungan pada areal bekas pertambangan yang belum dilakukan pemulihan lingkungan oleh pemegang perizinan berusaha pada areal Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah habis masa dan/atau dicabut, areal pertambangan tanpa IUP, dan area IUP yang akan habis masa dalam dua tahun. Akibatnya, pemerintah berisiko menanggung biaya pemulihan lahan atas kegiatan pertambangan yang ditinggalkan seluas sekitar 432.697,66 hektare.

Terlepas ketidakpatuhan perusahaan melakukan reklamasi, Rere menganggap reklamasi dan pascatambang bukanlah solusi. Sebab lingkungan yang terlanjur rusak tidak mudah dipulihkan seperti sedia kala.

“Sepanjang yang dilihat, reklamasi tidak berhasil memulihkan kawasan, dan tidak bisa mengembalikan bencana yang sudah terlanjur terjadi. Tidak bisa mengembalikan fungsi hutan. Kalaupun bisa, akan butuh lama, tidak serta merta bisa kembali. Kalau itu resapan air belum tentu,” kata Rere.