Walhi Aceh Minta Pemda Subulussalam Tak Jadi Jubir Perusahaan

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Jumat, 05 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh meminta Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Subulussalam tidak asal-asalan dalam menyikapi kasus pencemaran lingkungan akibat pembukaan lahan oleh PT Sawit Panen Terus (SPT). 

Ahmad Shalihin, Direktur Eksekutif Walhi Aceh mengatakan, Sekda jangan seperti juru bicara (jubir) perusahaan dan menyembunyikan beberapa fakta. Dia menilai, pernyataan Sekda sangat membela perusahaan, padahal PT SPT  belum memiliki dokumen perizinan apapun. "Sehingga perusahaan tersebut belum berhak melakukan aktivitas, termasuk pembukaan lahan," ujarnya.

Berdasarkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha Nomor: 30052410211175002 milik SPT yang diperoleh Walhi Aceh, izin PT SPT seluas 1.275,3 hektare baru dikeluarkan pada 30 Mei 2024. “Sementara aktivitas land clearing sudah berlangsung sekitar satu tahun lebih, padahal belum ada dokumen izin apapun,” kata Shalihin, Selasa, 2 Juni 2024.

Menurut Walhi Aceh, dari analisis spasial berdasarkan titik koordinat yang tertera di dokumen, aktivitas land clearing di lokasi sudah berlangsung sejak Maret 2023. Saat itu  kondisinya belum terlalu parah, hanya terdapat di beberapa titik saja. Pembukaan lahan semakin masif di lokasi titik koordinat dalam dokumen tersebut pada akhir 2023, dan mencapai puncaknya antara Januari hingga April 2024. "Luas yang sudah terbuka sudah mencapai lebih kurang 1.706 hektare lebih, sehingga Walhi Aceh menduga itu juga menjadi faktor penyebab terjadinya pencemaran air di beberapa sungai di Kecamatan Daulat, Kota Subulussalam," katanya.

Tutupan hutan dan lahan April 2024 - Subulussalam, Aceh. Dokumen Walhi Aceh

Walhi Aceh melihat, Daerah Aliran Sungai (DAS) Lae Beski yang berada di beberapa desa di Kecamatan Sultan Daulat hulunya langsung berada di lokasi land clearing yang dilakukan oleh PT SPT. Lalu dari DAS tersebut mengalir ke beberapa alur lainnya hingga ke sungai di Desa Singgersing yang sempat viral beberapa waktu lalu.

Kata Shalihin, aktivitas yang dilakukan oleh PT SPT sudah hampir satu tahun itu tidak memiliki dokumen izin apapun. Sementara Surat Hak Milik (SHM) yang dibeli oleh perusahaan sebagaimana disampaikan oleh Sekda, bukan izin untuk membuka perkebunan sawit. Tetapi itu hanya menjadi dokumen awal untuk mendapatkan pengurusan izin lainnya agar sebuah perusahaan dapat beraktivitas lebih lanjut.

Sementara itu dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha baru diterbitkan dan dicetak pada 30 Mei 2024 atas nama Wali Kota Subulussalam, Kepala DPMPTSP Kota Subulussalam, yang ditandatangani secara elektronik. “Ini semakin jelas menunjukkan, mereka (SPT) melakukan aktivitas selama ini tidak mengantongi izin apapun dan dapat disimpulkan beroperasi secara ilegal,” Shalihin menambahkan. Jadi, “Sekda itu jangan asal, jangan jadi Humas perusahaan dan cek dulu regulasinya dalam membuka perkebunan sawit.”

Walhi Aceh meminta pemangku kepentingan di Kota Subulussalam tidak mengaburkan informasi dan menyampaikan pernyataan yang menyesatkan publik. Dari dokumen, menurut WALHI Aceh, sudah jelas mereka (PT SPT) baru mendapatkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha.

“Ini bukan izin, baru sebatas melihat kesesuaian ruang, atas dasar dokumen itulah perusahaan bisa melanjutkan mengurus seluruh perizinan lainnya,” kata Shalihin.

Suatu perusahaan perkebunan sawit, setelah mendapatkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha, tidak serta merta bisa langsung dapat beroperasi, termasuk melakukan land clearing. Tetapi ada beberapa tahapan lain yang harus dilengkapi, terlebih dalam dokumen tersebut disebutkan jenis usaha merupakan Skala Usaha Besar.

Operasi suatu perusahaan sawit, terlebih Skala Usaha Besar harus melalui beberapa proses tahanan perizinan. Yaitu Izin Usaha Perkebunan dan Budidaya (IUP-B), Izin Lingkungan yang di dalamnya harus ada Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang harus disetujui oleh pemerintah. 

Walhi Aceh meminta Pemerintah Kota Subulussalam tidak melindungi perusahaan yang tidak taat regulasi. Jangan sampai justru pengambilan kebijakan sendiri yang melanggengkan perusahaan tanpa izin merambah hutan untuk usaha jenis apapun. Karena ini dapat berdampak serius terhadap lingkungan hidup. 

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh menyebutkan PT Sawit Panen Terus yang diduga menghilangkan 14 hektare tutupan hutan lindung di Kota Subulussalam, Aceh, sudah melakukan penghijauan kembali. Irwandi, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) VI DLHK Aceh, dalam keterangan resminya menyebut, bahwa proses penghijauan di hutan tersebut sedang berlangsung.

"Hutan seluas 14 hektare tersebut keterlanjuran dibuka oleh oknum, karena Hutan Lindung berbatasan dengan PT. SPT. Mereka sudah menanam kembali, dan siap menghijaukan kembali seperti hutan," kata dia.