Operasi Bank Tanah di Cianjur Rusak Penyelesaian Konflik Agraria
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Selasa, 09 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Operasi Bank Tanah yang terus dipaksakan di Desa Batulawang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar), dinilai berpotensi merusak atau menggagalkan upaya penyelesaian konflik agraria di Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang telah diusulkan masyarakat. Padahal lokasi usulan masyarakat tersebut telah menjadi prioritas penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah.
Dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Pemersatu Petani Cianjur (PPC), Konfederasi KASBI Cianjur, PC PMII Cianjur, dan DPC GMNI Cianjur, disebutkan petani yang selama ini telah memperjuangkan hak atas tanah mereka terancam kehilangan tanah, sebab dipatok oleh Bank Tanah, alih-alih konflik yang mereka hadapi selesai dan mendapat pengakuan dari Negara.
KPA dan PPC telah berulang kali mengingatkan pemerintah bahwa keberadaan Bank Tanah di Desa Batulawang karena berpotensi menggagalkan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada masyarakat Batulawang. Namun di lapangan, Bank Tanah bersikukuh terus melanjutkan operasinya dan melakukan intimidasi kepada para petani.
Terbaru, Bank Tanah kembali melakukan upaya penggusuran melalui pematokan paksa di areal pemukiman dan garapan petani Desa Batulawang yang merupakan eks HGU PT Maskapai Perkebunan Moelya (MPM). HGU tersebut sejatinya telah habis sejak 2022, dan bahkan sudah ditelantarkan sejak 1998.
Hal ini ditegaskan dalam Hasil Kegiatan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) Kantor Pertanahan Cianjur pada 2019. Artinya, PT MPM tidak lagi memiliki hubungan hukum terhadap eks Hak Guna Usaha (HGU) yang telah digarap oleh masyarakat tersebut.
Anehnya, pada 2022, Menteri ATR/BPN waktu itu, Hadi Tjahjanto, mengeluarkan Surat Nomor TU.03.03/1602/IX/2022, memutuskan bahwa eks HGU PT MPM seluas 1.020,8 hektare di Desa Batulawang, Cianjur, dihapus dari basis data tanah terindikasi terlantar untuk kemudian diberikan Hak Pengelolan (HPL) Bank Tanah di atasnya.
Dengan HPL tersebut, Bank Tanah didukung oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur, Kanwil ATR/BPN Jawa Barat dan Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Kementerian ATR/BPN menghidupkan kembali HGU PT MPM, dan memberikan tanah seluas 50 hektare kepada Densus 88 untuk Pusat Pendidikan dan Latihan.
Sisanya, tanah tersebut dialokasikan untuk PT Sentul City Tbk dan PT Buana Estate. Termasuk juga, pembangunan pondok Al Mutahar dan Villa atas nama Ratmani Probosutejo. Kedua pemilik ini terafiliasi dengan PT MPM.
Upaya ini berpotensi menggagalkan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah seluas 93 hektare yang sudah dikuasai dan digarap oleh petani Batulawang. Apalagi sampai saat ini, pihak Bank Tanah tidak pernah membuka data alokasi tanah tersebut kepada masyarakat.
"Kami menduga, operasi senyap Bank Tanah ini merupakan permainan dari Kementerian ATR/BPN bersama Kanwil ATR/BPN, Pemda Cianjur, dan pihak perusahaan," ujar KPA cs (cum suis) dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis 3 Juli 2024.
Pertama, Menteri ATR/BPN secara tiba-tiba mengeluarkan surat secara sepihak untuk menghapus eks HGU PT MPM dari basis tanah terlantar dan menerbitkan HPL untuk Bank Tanah.
Kedua, pada Oktober 2023, Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto bersama Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, R.B Agus Widjayanto waktu itu melakukan kunjungan ke Cianjur untuk menegaskan pengalokasian aset Bank Tanah. Tempat pertemuan tersebut difasilitasi oleh PT MPM, dimana Kanwil BPN Jabar waktu, Dalu Agung Darmawan juga ikut mendampingi.
Ketiga, Direktur PT MPM merupakan istri dari salah satu pejabat petinggi Kepolisian.
Keempat, Kementerian ATR/BPN seperti tutup mata dengan tindakan ilegal yang dilakukan oleh Bank Tanah terhadap petani di LPRA Batulawang. Padahal, Bank Tanah semakin gencar melakukan intimidasi dan memasang patok-patok di di tanah petani, Bank Tanah juga menekan Pemda Cianjur, Pemerintah Kecamatan Cipanas, dan Pemdes Batulawang untuk mengintimidasi petani.
Menurut koalisi, selain berbagai pelanggaran yang terjadi di lapangan, Badan Bank Tanah sebenarnya memiliki kecacatan karena berada di atas landasan hukum yang sudah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat melalui putusan MK 91/PUU-XVIII/2020. Catatan pelanggaran hukum dan pembangkangan terhadap konstitusi bertambah ketika aturan PP 64/2021 tentang Badan Bank Tanah dan, PP 124/2021 tentang Modal Bank Tanah, serta Perpres No. 113/2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah.
Apalagi pasal Bank Tanah merupakan pasal siluman yang tiba-tiba hadir dalam RUU Cipta Kerja. Padahal secara hukum, Omnibus Law UU Cipta Kerja berfungsi untuk merevisi atau menghapus UU dan pasal-pasal yang sudah ada sebelumnya.
Operasi ilegal Bank Tanah di Cianjur menambah deretan kasus konflik agraria di Jawa Barat. KPA mencatat selama 10 tahun terakhir, Provinsi Jawa Barat masuk dalam 5 besar provinsi penyumbang letusan konflik agraria tertinggi di Indonesia dengan 223 letusan konflik. Konflik tersebut berada di atas tanah seluas 99.534,94 hektar dan berdampak terhadap 79.905 kepala keluarga.
"Kehadiran Badan Bank Tanah hanya akan menambah letusan konflik agraria dan penggusuran, alih-alih menyelesaikan konflik agraria yang menjadi janji politik Presiden Jokowi," tulis pernyataan bersama itu.
Dengan kondisi dan fakta di atas, Pemersatu Petani Cianjur bersama KPA mengecam operasi ilegal dan upaya penggusuran yang dilakukan Badan Bank Tanah, serta dukungan pelanggaran hukum yang diberikan Pemda Cianjur, Pemerintah Kecamatan Cipanas, dan Pemdes Batulawang.
Berikut desakan KPA cs terkait persoalan ini:
- Mendesak Pemerintah Kabupaten Cianjur, c.q Bupati Cianjur untuk tidak memberikan dan mengeluarkan rekomendasi penerbitan HGU baru bagi PT MPM, sebab telah melakukan pelanggaran hukum selama mendapat izin, dan berupaya merampas tanah kembali dengan cara-cara yang ilegal. Bupati harus memastikan subjek-objek agraria sesuai kaidah dan prinsip Reforma Agraria Sejati. Kekeliruan dan kesalahan dalam penentuan subjek-objek agraria hanya melanggengkan kehadiran penghuni gelap sebagai penerima redistribusi dan memproduksi ketimpangan baru.
- Kantor Pertanahan Cianjur dan Pemda Cianjur melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), harus membuka ruang dialog dan partisipasi bagi petani mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan redistribusi tanah.
- Kapolsek Cianjur, untuk melaksanakan tugas sebagai penegak hukum dan tidak turut memfasilitasi operasi ilegal Badan Bank Tanah.
- Kapolri, melaksanakan SK. KSP No B-21/KSK/03/2021 untuk memastikan keamanan dan jaminan perlindungan bagi petani di LPRA.
- Kementerian ATR/BPN, menindak tegas Pejabat Kementerian ATR/BPN yang terlibat dalam menggagalkan penyelesaian konflik di LPRA sejak 2019. Selanjutnya, untuk menindak tegas PT MPM sebab tidak mengembalikan HGU kepada Negara setelah habis masa berlakunya, tidak menerbitkan SK HGU baru kepada PT MPM, dan segera mendistribusikan eks HGU pada Petani di LPRA Batulawang dan petani penggarap lainnya di sekitar HGU.
- Mendesak pemerintah mencabut PP Bank Tanah dan Undang-Undang Cipta Kerja.
- Mendesak pemerintah segera kembali kepada cita-cita UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001, dengan mengeksekusi secepatnya Reforma Agraria secara nasional dan memperkuat kelembagaannya sebagai jalan memenuhi hak rakyat atas tanah, menuntaskan konflik agraria, mewujudkan keadilan sosial dan menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman liberalisasi pertanahan dan kapitalisme agraria global.
"Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk dapat dipahami oleh semua pihak. Kami menyerukan untuk seluruh gerakan rakyat di Cianjur Bersatu melawan dan menolak keberadaan Bank Tanah di Cianjur. Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih," tulis KPA cs.