Warga Torobulu Dikriminalisasi dengan UU Minerba
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Selasa, 09 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Dua warga Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), Hasilin dan Andi Firmansyah, dikriminalisasi karena memprotes kegiatan tambang nikel di pemukimannya. Keduanya didakwa dengan menggunakan Pasal 162 Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Barat (Minerba), jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dakwaan tersebut dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Senin (8/7/2024). Dalam sidang itu Aliansi Peduli Lingkungan Hidup dan HAM, bersama warga Torobulu, melakukan aksi menuntut agar Hasilin dan Andi dibebaskan. Mereka menganggap kasus ini hanyalah upaya kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya.
Tim hukum Hasilin dan Andi yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat untuk Advokasi Warga Torobulu keberatan dengan dakwaan JPU, dan menyatakan akan mengajukan eksepsi pada persidangan selanjutnya. Menurut Hutomo, salah satu penasehat hukum Hasilin dan Andi, dakwaan JPU cenderung prematur karena terlalu memaksakan kasus ini untuk tetap dilanjutkan ke persidangan tanpa memperhatikan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Juga BAB VI angka 1 Pedoman Kejaksaan Agung No. 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," kata Hutomo, Senin (8/7/2024).
Hutomo menjelaskan, tindakan Hasilin dan Andi Firmansah sebenarnya merupakan reaksi atas upaya perusakan lingkungan tempat tinggal mereka yang dilakukan oleh PT WIN yang melakukan penambangan di area pemukiman mereka. Saat itu Hasilin dan Andi meminta pihak operator alat berat agar menghentikan aktivitas penambangan yang mereka lakukan.
Apa yang dilakukan keduanya, kata Hartono, merupakan bagian dari perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui pernyataan pendapat di muka umum. Negara, katanya, sudah seharusnya menjalankan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) warga negaranya.
Sikap JPU sama dengan penyidik di tingkat Kepolisian Polda Sultra yang menetapkan dua warga Desa Torobulu itu sebagai tersangka tanpa melihat iktikad baik atas kebrutalan pertambangan PT WIN yang melakukan aktivitas pertambangan di area pemukiman warga dan mengakibatkan kerusakan lingkungan, di antaranya tercemarnya sumber air bersih serta mengganggu kenyamanan warga setempat.
“Adanya kasus ini, bukan hanya sekedar pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi tetapi juga merupakan upaya untuk menakut-nakuti warga agar tidak lagi melakukan upaya penolakan atas aktivitas pertambangan, bahkan menurut kami, delik ini sengaja digunakan untuk melindungi kepentingan mafia tambang,” ujarnya.
Lebih jauh, Hutomo mengatakan, kasus ini merupakan pelanggaran atas kesepakatan internasional, yang telah disepakati dalam Forum PBB, tentang Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan yang berkelanjutan yang merupakan komitmen bersama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan menomor-satukan kelestarian lingkungan.
Ada tujuh belas goals yang dirumuskan dalam SDGs, antara lain dalam poin enam berbunyi, air bersih dan sanitasi layak (clean water and sanitation). Artinya, sambung Hutomo, negara menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.
Selain itu, imbuhnya, kasus ini juga menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) sebagaimana dalam Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.