Sungai Citarum Terancam Limbah Obat Rumah Tangga

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Polusi

Rabu, 10 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pembuangan sisa obat dan obat yang sudah tidak terpakai masih saja dilakukan secara sembarangan, termasuk dibuang langsung ke sungai. Penelitian yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan adanya ancaman kontaminasi bahan aktif obat-obatan di Sungai Citarum, Jawa Barat.

Penelitian tersebut dibahas dalam sebuah diskusi yang digelar secara virtual bertema Quantifying Medicine Usage and Unveiling Disposal Practices: Environmental Concerns and Public Perceptions in the River Basin Households, oleh Pusat Riset Teknologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA), BRIN, Kamis pekan lalu.

Diskusi ini menyoroti beberapa aspek, antara lain penggunaan obat-obatan, yaitu mengukur jumlah dan jenis obat yang digunakan oleh rumah tangga di daerah aliran sungai. Hal ini termasuk pemahaman tentang frekuensi penggunaan dan jenis penyakit yang paling sering diobati dengan obat-obatan tersebut. Aspek yang kedua adalah praktik pembuangan obat, yaitu bagaimana masyarakat membuang obat-obatan yang tidak terpakai atau kedaluwarsa.

Hasil penelitian BRIN menunjukkan penggunaan antibiotik di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu ternyata cukup besar. Misalnya, amoxilin sebanyak 336 ton per tahun. Namun obat yang paling banyak digunakan di posisi pertama adalah Paracetamol, sebanyak 460 ton per tahun.

Sejumlah aktivis lingkungan hidup membentangkan spanduk bertuliskan Zero Tolerance Policy di atas Sungai Citarum. Foto: Walhi Jabar.

Sementara untuk obat-obatan herbal yang paling tinggi digunakan adalah jahe, dengan tingkat penggunaan masyarakat di DAS Citarum Hulu sekitar 494 ton per tahun dan diikuti oleh oryza sativa (padi) dengan jumlah 446 ton per tahun. Hasil ini sesuai dengan penggunaan obat-obatan herbal di tingkat Asia seperti Cina dan India yang juga banyak menggunakan jahe dan beras sebagai obat tradisional.

Dari uraian hasil penelitian yang dilakukan, BRIN menyimpulkan penggunaan obat-obatan kimia maupun herbal di DAS Citarum cukup tinggi dan ini seharusnya meningkatkan kewaspadaan, karena ternyata masyarakat juga masih banyak yang membuang sisa obat-obatan tersebut dengan tidak mempertimbangkan efeknya terhadap lingkungan.

Di samping itu penggunaan konsentrasi active pharmaceuticals ingredients (APIs)/senyawa aktif farmasi yang tinggi, khususnya untuk paracetamol dan amoksilin, sangat mungkin akan menimbulkan dampak terhadap badan air, khususnya di Sungai Citarum, jika dibuang sembarangan.

Peneliti Ahli Madya di KelRis Ekotoksikologi Perairan Darat-Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, BRIN, Rosetyati Retno Utami, menyebut penggunaan obat dalam skala rumah mengalami peningkatan secara global, terutama setelah pandemi Covid (2020). Namun, untuk penangannya sendiri masih sangat kurang, sehingga menimbulkan risiko terhadap pencemaran ekosistem akuatik (ekosistam di lingkungan air).

Jika terjadi kontaminasi di perairan/ekosistem akuatik, imbuhnya, tentu saja akan membahayakan bagi organisme akuatik dan juga kesehatan manusia. Ia menjelaskan, studi ini bertujuan untuk menjawab bagaimana dan seberapa besar dari APIs atau bahan aktif obat yang digunakan itu bisa muncul di ekosistem akuatik/badan air, khususnya di DAS Citarum Hulu.

“Tujuan utama dari penelitian kami secara keseluruhan itu sebenarnya adalah untuk memprediksi seberapa banyak kontaminasi obat (pharmaceutical) dari kegiatan manusia di suatu DAS yang akhirnya masuk ke badan air/sungai, dan mengestimasi konsentrasinya di sungai. Selain itu juga untuk mendapatkan input data penunjang pemodelan yang akan dilakukan di tahun berikutnya,” kata Rosetyati, dalam sebuah rilis, Senin (8/7/2024).

Sumber-sumber kontaminasi APIs yang mungkin masuk ke dalam sungai Citarum, lanjut Rosetyati, bisa teridentifikasi dari kegiatan peternakan yang banyak sekali menggunakan obat-obatan dan juga hormon yang tujuannya untuk meningkatkan hasil peternakan, penggunaan APIs rumah tangga, industri dan juga sistem pengelolaan limbah obat di rumah sakit yang masih mungkin terdapat kebocoran sehingga dapat mengakibatkan masuknya obat ke ekosistem akuatik.

Rosetyati menjelaskan, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan survei penggunaan obat skala rumah tangga. Perhitungannya dilakukan dengan memformulasikan beberapa persamaan, menghitung penggunaan dari 2 jenis obat-obatan yaitu obat-obatan berbahan dasar kimia paracetamol, ibuprofen, dll dan juga obat-obatan berbahan herbal yang juga sering digunakan seperti OBH, obat masuk angin, dan lain-lain

“Dari kedua jenis obat-obatan tersebut, dalam perhitungannya kita membaginya menjadi 2 yaitu obat-obatan yang berbentuk padat dan yang cair, hal ini dilakukan karena perhitungannya pun berbeda,” ujarnya.

Metodologi yang digunakan dalam perhitungannya melibatkan konsentrasi APIs yang diminum, frekuensi penggunaan obat atau seberapa sering diminum, kemudian berapa banyak jumlah obat yang dikonsumsi, dan berapa lama masa sakit responden dalam setahun. Kemudian ia dan para peneliti lainnya akan mengestimasi seberapa banyak dari rata-rata penggunaan itu, dengan ekstrapolasi terhadap jumlah penduduk di suatu DAS.

"Hasilnya untuk bahan kimia aktif dapat dilihat bahwa ternyata paracetamol dan amoxilin menjadi APIs dengan penggunaan paling besar di DAS Citarum Hulu” kata Rosetyati.

Plt. Kepala Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, BRIN, Luki Subehi, mengatakan tingkat populasi yang tinggi dan sebaran wilayah DAS yang menjadi sumber kehidupan, menjadikan penelitian ini menjadi penting. Menurutnya, banyak sungai di Indonesia sudah tercemar oleh limbah rumah tangga dan industri, dan menambah beban polusi dengan obat-obatan yang dibuang sembarangan yang dapat memperburuk kondisi perairan.

"Ini bisa mencakup pembuangan ke dalam toilet, sampah, atau metode lainnya. Aspek berikutnya adalah persepsi publik yaitu memahami pandangan dan persepsi masyarakat mengenai bahaya yang ditimbulkan dari obat-obatan yang dibuang sembarangan terhadap lingkungan,” kata Luki.

Menurut Luki Subehi, penelitian ini penting karena dapat memberikan wawasan tentang bagaimana perilaku masyarakat terkait penggunaan dan pembuangan obat-obatan yang dapat mempengaruhi lingkungan, khususnya di wilayah daerah aliran sungai atau badan air.

“Dengan informasi ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya pola perilaku yang tidak mencemari badan air/sungai dan praktik yang lebih baik dalam pengelolaan limbah obat-obatan,” katanya.

Luki menganggap pengetahuan tentang risiko yang berhubungan dengan APIs masih cukup terbatas. Masyarakat terkadang tidak menyadari bahwa membuang sisa obat-obatan dengan sembarangan akan memberikan risiko kesehatan bagi mereka maupun lingkungan.

Rumah tangga diidentifikasi sebagai salah satu sumber pencemaran senyawa aktif farmasi yang cukup signifikan, tetapi karena di Indonesia dikombinasikan dengan kapasitas pengolahan air limbah yang kecil maka perilaku konsumen dalam membuang obat-obatan menjadi penting.