Semut Mampu Obati Luka Hingga Amputasi Rekannya

Penulis : Aryo Bhawono

Satwa

Minggu, 14 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Semut dapat merawat luka teman satu sarangnya hingga melakukan amputasi. Mereka selalu menangani cedera tulang paha dengan jalan amputasi dan memiliki tingkat keberhasilan 90 sampai 95 persen.

Semut itu adalah semut carpenter, yakni semut genus Camponotus. Genus ini sangat besar, beragam, dan terdapat di banyak kawasan hutan di dunia. Mereka secara selektif merawat anggota tubuh sesama semut yang terluka.

Banyak spesies hewan menggunakan senyawa antimikroba pada luka terbuka. Pada tahun 2023, para peneliti menemukan bahwa spesies semut yang berbeda, semut pemakan rayap (Megaponera analis), menggunakan kelenjar khusus untuk menginokulasi luka dengan senyawa antimikroba untuk memadamkan kemungkinan infeksi.

Namun semut carpenter florida (Camponotus floridanus) dan spesies lain dari genus Camponotus tidak memiliki kelenjar seperti itu. Mereka pun menggunakan cara mekanis untuk merawat teman satu sarangnya.

Sekelompok semut carpenter (genus camponotus). Sumber :Pixabay

Erik Frank dari Universitas Würzburg dan rekan-rekannya menemukan perawatan mekanis ini dilakukan dengan dua jalur. Semut akan melakukan pembersihan luka hanya dengan bagian mulutnya atau melakukan pembersihan yang diikuti dengan amputasi seluruh kaki.

Temuan Frank ini dituliskan dalam jurnal berjudul ‘Wound-dependent Leg Amputations to Combat Infections in An Ant Society’ yang dipublikasikan jurnal Current Biology. Semut  memilih jalur penanganan yang mereka lakukan setelah menilai jenis cedera. 

Pada studi itu, dua jenis cedera kaki dianalisis, yaitu laserasi (luka yang disebabkan oleh robeknya jaringan lunak tubuh) pada tulang paha dan cedera pada tibia (patah tulang yang terjadi pada tulang tibia atau tulang kering) seperti pergelangan kaki. Rekan satu sarang melakukan pembersihan awal luka diikuti dengan mengunyah seluruh bagian kaki. Sebaliknya, cedera tibia hanya mendapat pembersihan mulut.

Dalam kedua kasus tersebut, intervensi menghasilkan semut dengan luka yang terinfeksi secara eksperimental memiliki tingkat kelangsungan hidup yang jauh lebih besar.

“Cedera tulang paha yang selalu mengamputasi kaki, tingkat keberhasilannya sekitar 90 hingga 95 persen. Dan untuk tibia, yang tidak diamputasi, tingkat kelangsungan hidupnya masih mencapai 75 persen,” kata Frank.

Menurutnya hal ini berbeda dengan tingkat kelangsungan hidup yang masing-masing kurang dari 40 persen dan 15 persen untuk lecet tulang paha dan tibia yang terinfeksi tanpa pengawasan.

Hipotesis para ilmuwan menyebutkan jalur perawatan luka yang dipilih mungkin terkait dengan risiko infeksi dari lokasi luka.

Pemindaian mikro-CT pada tulang paha menunjukkan bahwa sebagian besar jaringan otot tulang tersebut memainkan peran fungsional dalam memompa darah, hemolimfa, dari kaki ke tubuh utama.

Jika terjadi cedera pada tulang paha, otot menjadi terganggu sehingga mengurangi kemampuannya untuk mengedarkan darah yang berpotensi mengandung bakteri.

Tibia, sebaliknya, memiliki sedikit jaringan otot sehingga sedikit terlibat dalam sirkulasi darah.

Frank menjelaskan pada cedera tibia, aliran hemolimfa tidak terlalu terhambat, sehingga bakteri bisa masuk ke dalam tubuh lebih cepat. Sedangkan pada cedera tulang paha kecepatan peredaran darah di kaki melambat.

“Jadi, Anda mungkin mengira, jika kerusakan pada tibia menyebabkan infeksi lebih cepat, amputasi seluruh kaki adalah pilihan yang paling tepat, namun yang terjadi justru sebaliknya,” kata dia.

Kecepatan semut mengamputasi salah satu kakinya memiliki perbedaan. Amputasi dengan bantuan semut membutuhkan waktu setidaknya 40 menit untuk menyelesaikannya.

Pengujian eksperimental menunjukkan bahwa dengan cedera pada tibia, jika kaki tersebut tidak segera diangkat pasca infeksi, semut tidak akan dapat bertahan hidup.

Ahli biologi evolusi di Universitas Lausanne, Dr. Laurent Keller, menyebutkan semut ini tidak mampu memotong kakinya dengan cukup cepat untuk mencegah penyebaran bakteri berbahaya. Mereka mencoba membatasi kemungkinan infeksi mematikan dengan meluangkan lebih banyak waktu untuk membersihkan luka tibia. 

“Fakta bahwa semut mampu mendiagnosis suatu luka, melihat apakah luka tersebut terinfeksi atau steril, dan mengobatinya dengan tepat dalam jangka waktu yang lama oleh individu lain – satu-satunya sistem medis yang dapat menyaingi sistem tersebut adalah sistem manusia,” kata dia. 

Langkah semut ini tergolong canggih, pemikiran selanjutnya yang masuk akal adalah bagaimana semut ini mampu memberikan perawatan yang tepat.

“Itu semua adalah perilaku bawaan. Perilaku semut berubah berdasarkan usia individu, namun hanya ada sedikit bukti adanya pembelajaran,” kata Dr. Keller.