Demi Konservasi, Konflik dengan Masyarakat Adat Perlu Dihindari
Penulis : Gilang Helindro
Konservasi
Sabtu, 20 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Mantan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, mengatakan konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat seharusnya bisa dihindari. Konflik ini perlu dihindari untuk menyelamatkan hutan, khususnya kawasan konservasi. ”Karena konflik sebetulnya bisa diselesaikan dan tidak membawa korban kalau pejabatnya mau duduk bersama membicarakan batas kawasan itu," kata Wiratno dalam sebuah acara, Senin 15 Juli 2024.
Dalam bedah bukunya yang berjudul Evolusi Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia, Wiratno mengatakan masyarakat adat berperan dalam menjaga hutan dan alam. Konflik dengan masyarakat adat oleh karenanya dapat mengganggu peran tersebut.
Wiratno sendiri pernah mengalami kasus itu ketika bertugas di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Nusa Tenggara Timur. “Kisah Rabu Berdarah yang dialami oleh petani kopi Colol dari Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, itu menyisakan luka bagi warga maupun aparat pemerintah terkait,” kata Wiratno.
Dari pengalaman itu, ketika menjabat sebagai Direktur Jenderal KSDAE, Wiratno berupaya untuk menjauhkan konflik. Ia mengaku telah menyelesaikan 200 ribu kemitraan konservasi untuk daerah-daerah Taman Nasional atau kawasan konservasi lain yang memang sudah ada masyarakatnya, sebelum kawasan itu menjadi hutan negara yang namanya Taman Nasional.
Dia berpendapat, kerusakan alam lebih banyak terjadi akibat ulah manusia sejak revolusi industri pada 1850. Sayangnya yang disalahkan pertumbuhan penduduk, tapi sebetulnya tidak. “Manusia bisa menjadi kunci perubahaan, dialah yang juga mampu menyelamatkan kawasan hutan kita," ungkap Wiratno.
Menurut laporan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luas wilayah adat yang sudah diregistrasi per 18 Maret 2024 mencapai 28,2 juta hektare yang mencakup 1.425 wilayah adat di 33 provinsi dan 161 kabupaten/kota. Sementara, luas wilayah adat yang sudah mendapatkan penetapan status pengakuan oleh pemerintah hanya 3,9 juta hektare.
Prof Hadi Alikodra, Guru Besar IPB dan Ketua Bogor Nature Indonesia (BNGI) dalam bedah buku itu mengatakan, percepatan pengelolaan taman nasional juga merupakan respon terhadap krisis lingkungan. “Sebenarnya taman nasional dilahirkan atas krisis lingkungan,” kata Prof Hadi.
Prof Hadi bilang, taman nasional memiliki potensi dengan syarat percepatan. Pertama, manajemen intensif, kesiapan dan konsistensi pelaksanaan. Kedua, capacity building untuk kapasitas sumber daya manusia, organisasi, kecukupan dana, mekanisme, dan aturan. Ketiga, mekanisme monitoring dan evaluasi. Keempat, melakukan penyempurnaan terbuka dan kerjasama.