Sorbatua: Saya Tak Menduduki Hutan Negara, Ini Tanah Adat Saya
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Kamis, 18 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sidang tuduhan kriminalisasi terhadap Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan, yang digelar di Pengadilan Negeri Simalungun memasuki agenda keterangan saksi ahli dari pihak terdakwa pada Senin (15/7/2024). Ketiga saksi yang dihadirkan menyebutkan kasus Sorbatua tak layak masuk ranah pidana.
Sorbatua Siallagan juga turut memberikan keterangan pada persidangan ini. Di depan hakim, ia mengatakan tidak pernah menduduki hutan. Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menguasai wilayah yang menjadi tanah adat mereka itu secara turun temurun sejak tahun 1700-an, lalu wilayah adat tersebut diklaim sepihak oleh Negara dengan memberikan izin konsesi kepada PT. Indorayon yang kemudian berganti nama menjadi PT. TPL.
“Kami tinggal di wilayah itu sejak tahun 1700-an dan secara turun temurun hidup dari hutan itu,” ucap dia dalam persidangan.
Saksi Ahli, Ahmad Sofyan, yang juga merupakan ahli Pidana dari Binus University Jakarta, menerangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum menerapkan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tidak tepat digunakan sebagai dasar mendakwa karena Undang-Undang 11 Tahun 2020 telah dinyatakan MK Inkonstitusional bersyarat dan telah dicabut oleh Perppu 2 Tahun 2022 dan Perppu 2 Tahun 2022 ditetapkan Pemerintah menjadi UU No.6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.
Beleid itu tidak dapat diterapkan untuk mendakwa Sorbatua Siallagan karena asas hukum ‘Lex posterior derogat legi priori’ (peraturan yang baru dapat menyampingkan atau meniadakan peraturan yang lama).
“Selanjutnya ada konflik dari kedua belah pihak baik itu dari pihak penggugat yang merupakan PT Toba Pulp Lestari dan pihak tergugat dari Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan. Ada konflik yang seharusnya tidak masuk dalam ranah pidana. Sengketa harus diselesaikan tidak dalam ranah pidana dengan menangkap ketua komunitas masyarakat adat,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara dan Hak Masyarakat Adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yance Arizona, yang turut duduk sebagai saksi ahli menyebutkan bahwa konflik tanah antara PT TPL dengan masyarakat adat ini terjadi karena Negara mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Putusan MK No 35 Tahun 2012 menegaskan bahwa bahwa hutan adat bukan hutan negara.
“Seharusnya negara hadir untuk menyelesaikan konflik antara Masyarakat Adat dengan PT. TPL. Untuk kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan PT. TPL, Menteri KLHK telah menerbitkan 5 SK Penetapan Hutan Adat dan mengeluarkan dari wilayah konsesi PT. TPL,” kata dia.
Saat ini Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan tengah mengajukan permohonan kepada KLHK agar wilayah adat mereka dikeluarkan dari Konsesi PT. TPL. Permohonan tersebut telah di proses oleh KLHK dengan menerbitkan SK No 352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang Langkah-langkah Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba. Proses ini seharusnya mendudukkan konflik masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dengan PT. TPL menjadi prioritas penyelesaian dan berada di urutan pertama.
Seharusnya, kata Yance, pendekatan penyelesaian yang dilakukan adalah hukum administrasi bukan pidana.
“Jika ada penetapan hutan Adat dari KLHK, sementara Sorbatua Siallagan telah mendapatkan sanksi pidana, maka pengadilan telah menghukum orang yang tidak bersalah,” ujarnya.
Penasihat hukum dari Sorbatua Siallagan yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), Hendra Sinurat, berharap majelis hakim mempertimbangkan keterangan ahli pidana, ahli hukum tata negara, dan hak masyarakat adat serta Badan registrasi Wilayah Adat (BRWA).
“Nantinya pendekatan yang diberikan untuk penyelesaian konflik tanah Adat masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan adalah pendekatan administrasi sehingga putusan yang dijatuhkan kepada Sorbatua Siallagan adalah bebas murni," ujar dia.
Ketika sidang berlangsung, aksi demonstrasi digelar di luar PN Simalungun. Komunitas masyarakat adat, kelompok masyarakat sipil, dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL menggelar aksi tuntutan pembebasan Sorbatua. Mereka mengalunkan musik gondang dan ritual adat yang dibawakan sebagai doa bersama untuk pembebasan Sorbatua Siallagan.
Veronica Siallagan yang merupakan cucu dari Sorbatua Siallagan melalui orasinya menyatakan bahwa mereka sudah 11 generasi mendiami desa Dolok Parmonangan. Negara sudah menangkap orang yang tidak bersalah.
Sorbatua ditangkap polisi pada 22 Maret lalu. Aksi penangkapan ini mirip penculikan.