Ombudsman Bank Dunia akan Investigasi Pendanaan PLTU Jawa 9/10
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Jumat, 19 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Badan pengawas Compliance Advisor Ombudsman (CAO) akan melakukan investigasi atas investasi International Finance Corporation (IFC) kepada bank komersial yang mendanai pembangunan dua pembangkit listrik baru di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Banten. Sementara itu, masyarakat sipil juga menuntut IFC untuk ikut bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh proyek PLTU itu.
Dalam sebuah rilis dijelaskan, investigasi CAO tersebut merupakan respons atas pengaduan organisasi masyarakat sipil yang mengatakan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 memberikan dampak buruk sosial, lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Pengaduan tersebut diajukan oleh Pena Masyarakat, Trend Asia, Inclusive Development International, dan Recourse pada Kamis, 11 Juli 2024.
"Investigasi yang akan dilakukan CAO itu membawa kita selangkah lebih dekat dengan keadilan," ujar Sarah Jaffe, Senior Legal dan Policy Associate dari Inclusive Development International, Kamis (18/7/2024).
Jaffe menambahkan, kehidupan masyarakat terganggu oleh proyek PLTU ini dan masyarakat berhak mendapatkan pemulihan penuh dan keadilan atas kerugian yang dialami. Menurutnya, IFC memiliki tanggung jawab untuk itu dan sekurang-kurangnya memastikan untuk mengambil langkah-langkah lebih demi melindungi masyarakat lokal.
Dalam rilis itu diterangkan, berdasarkan laporan penilaian CAO atas pengaduan tersebut, IFC mendukung pembangunan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 melalui investasi ekuitas senilai USD46,9 juta atau lebih dari Rp756 miliar dari salah satu pendana proyeknya, Hana Bank Indonesia. Dengan melakukan investigasi, CAO mengakui ada indikasi IFC tidak mematuhi kebijakan lingkungan dan sosial lembaganya yang tercermin dari investasi proyek yang mampu memberi dampak buruk lingkungan dan sosial.
CAO mengajukan pertanyaan serius tentang pengelolaan resiko IFC atas investasi bersama Hana Bank Indonesia. Laporan penilaian CAO memperkirakan IFC meremehkan risiko-risiko buruk investasinya dengan mengklasifikasikan dampaknya sebagai "risiko sedang", alih-alih "risiko tinggi".
Selain itu, CAO mencatat bahwa IFC gagal memastikan, selama bertahun-tahun, kekurangan dalam sistem pengelolaan lingkungan dan sosial Hana Bank Indonesia. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan pengawasan dan pelaporan klien IFC, Hana Bank Indonesia, terkait risiko sosial maupun lingkungan dari proyek-proyeknya, termasuk PLTU Jawa 9 dan 10.
PLTU Jawa 9 dan 10 akan memperburuk kerusakan di Banten
Pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 yang kapasitas gabungannya sebesar 2.000 megawatt akan memperluas ukuran kompleks PLTU Suralaya sebesar 50 persen. Organisasi masyarakat sipil menilai, pembangunan ini tidak diperlukan karena pasokan energi di grid Jawa-Bali telah oversupply.
Selain itu, pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 akan memasifkan dampak-dampak buruk, seperti polusi udara, infeksi pernapasan akut maupun permasalahan kesehatan lainnya yang diakibatkan oleh debu batu bara dan limbah beracun, hingga emisi gas rumah kaca. PLTU tersebut diperkirakan akan menyebabkan ribuan kematian dini dan diperkirakan akan melepaskan 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer selama 30 tahun umur pakainya.
Proyek tersebut juga menyebabkan penggusuran dan kerugian ekonomi kepada masyarakat tanpa adanya kompensasi atau pengembalian mata pencaharian. Masyarakat terdampak menyatakan minimnya informasi maupun konsultasi sebelum lahan mereka diakuisisi untuk pengembangan PLTU Jawa 9 dan 10 dalam pengaduannya kepada CAO.
Selain itu, mereka juga menerima tekanan dan merasa takut jika tidak setuju dengan syarat pemindahan dengan kompensasi yang mereka nilai tidak setara. Pantai Kepala Tujuh yang hancur karena PLTU berdampak pada pendapatan masyarakat dari sektor pariwisata dan perikanan.
Nelayan terpaksa memancing jauh dari pantai menggunakan perahu yang meningkatkan pengeluaran mereka secara signifikan. Karena itu, masyarakat khawatir proyek tersebut akan mengakibatkan penurunan pendapatan ekonomi yang akan terus berlanjut sebab hasil tangkapan yang berkurang.
"Proyek PLTU baru akan menambah dampak buruk lingkungan maupun kesehatan yang dialami masyarakat. Proyek itu membawa risiko ekstrem dan manfaat yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali kepada masyarakat Provinsi Banten," kata Novita Indri, Pengampanye Energi dari Trend Asia.
Menurut Indri, pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 sama sekali tidak beralasan. Sebab, kebutuhan listrik di wilayah tersebut sudah terpenuhi, dan jaringan listrik Jawa-Bali juga sudah oversupply, apalagi proyek ini akan menghancurkan kehidupan masyarakat lokal. "Dan membawa kita lebih dekat dengan bencana iklim, di mana Indonesia dan warganya sangat rentan terkait hal itu. Ini berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai target nol emisi dan meremehkan Perjanjian Paris," kata Indri.
Direktur PENA Masyarakat, Mad Haer Effendi, mengaku tidak dapat memahami mengapa PLTU Jawa 9 dan 10 harus dibangun. Menurutnya, masyarakat Suralaya tidak menerima manfaat dari proyek yang justru memperburuk kerusakan lingkungan yang sudah ada dan menyebabkan penyakit pernapasan.
"Sungguh konyol jika perusahaan mengklaim proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat," katanya.
IFC harus bertanggung jawab atas kerusakan akibat proyek PLTU Jawa 9 dan 10
Masyarakat Banten dan organisasi masyarakat sipil yakin investigasi CAO akan mengonfirmasi bahwa IFC telah gagal bertanggung jawab atas uji kelayakan untuk mencegah dampak buruk yang terjadi saat ini dan di masa mendatang akibat pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10. Mereka juga meminta agar IFC yang memiliki pengaruh besar menghentikan pembangunan PLTU baru.
Jika penghentian pembangunan tidak dapat dilakukan, IFC harus memastikan untuk mengurangi dampak sosial maupun lingkungan akibat proyek tersebut. Hal ini mencakup implementasi praktik-praktik baik untuk pengelolaan limbah yang sampai saat ini gagal dilakukan dan menimbulkan dampak berbahaya bagi masyarakat di sekitar proyek PLTU.
Selain itu, para penuntut juga meminta penyelesaian untuk kerusakan yang telah diakibatkan oleh proyek tersebut, termasuk pemulihan mata pencaharian dan kompensasi bagi masyarakat yang digusur atau diusir untuk pembangunan PLTU. Mereka juga menginginkan agar Hana Bank Indonesia menghentikan semua pendanaan proyek PLTU seiring dengan perubahan kebijakan secara komprehensif untuk menghapus segala dukungan tidak langsung terhadap proyek batu bara dari IFC.
“Mempromosikan perluasan PLTU bertentangan dengan misi IFC. PLTU Jawa 9 dan 10 tidak selaras dengan kemungkinan yang sangat kecil untuk mematuhi standar lingkungan dan sosial yang ditetapkan oleh lembaga tersebut. Tanggung jawab IFC saat ini adalah untuk menghentikan dampak buruk lebih lanjut dari proyek ini dan membantu memperbaiki dampak yang telah ditimbulkan," kata Jaffe.
Langgar pendekatan keadilan ramah lingkungan
Laporan pengaduan dari masyarakat menekankan bahwa IFC gagal menilai proyek besar pembangunan PLTU batu bara yang didanai oleh salah satu klien perantaranya itu bertentangan dengan kebijakan lingkungan dan sosial lembaganya. Pengaduan itu juga menggarisbawahi kelemahan dari Pendekatan Ekuitas Hijau IFC yang memungkinkan mereka untuk mendanai proyek PLTU baru secara tidak langsung.
Walaupun kebijakan itu telah diperbarui dengan komitmen anti-batu bara, IFC masih mengizinkan klien perantara keuangannya untuk berinvestasi dalam proyek PLTU captive atau pembangkit listrik khusus industri dan mendukung obligasi untuk pengembangan proyek batu bara. Meskipun IFC menyatakan kebijakan itu berlaku untuk semua kliennya, penegakannya secara tegas masih belum jelas.
Daniel Willis, Pengampanye Keungan dari Recourse, mengatakan, pendanaan IFC atas PLTU Jawa 9 dan 10 adalah contoh risiko dalam praktik pemberian pinjaman kepada perantara keuangan. Dengan menyerahkan dana publik kepada bank-bank komersial yang lebih mementingkan keuntungan daripada kebutuhan masyarakat, IFC mendukung megaproyek batu bara yang pembangunannya tidak dibutuhkan dan juga menghancurkan lingkungan.
"IFC harus bekerjasama dengan badan pengawas untuk memperbaiki kerusakan yang diidentifikasi dalam investigasi ini dan mereka harus melakukan perubahan sistemik terkait cara mereka berinvestasi di masa depan," ujar Willis.
Dukungan terhadap proyek PLTU Jawa 9 dan 10 membuat Grup Bank Dunia bertentangan dengan rencana Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, sebuah inisiatif pendanaan senilai USD20 juta untuk mempercepat transisi dari penggunaan batubara ke sumber energi bersih.
Direktur Program Recourse, Kate Geary, menyatakan, dukungan untuk pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 berbanding terbalik dengan misi Bank Dunia itu. PLTU itu akan memperburuk, bukan mengurangi, dampak kemiskinan dan perubahan iklim. "Kegagalan IFC untuk mencegah kliennya mendanai dua pembangkit listrik batu bara baru dalam jumlah besar di situasi darurat iklim global melemahkan komitmen IFC terhadap Perjanjian Paris soal perubahan iklim," kata Geary.