MA akan Coba Jurus Terbaru Selesaikan Tuntutan Suku Awyu dan Moi
Penulis : Oskar Ugipa, Jakarta & Muhammad Ikbal Asra, Papua
Masyarakat Adat
Selasa, 23 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin kembali menyambangi Gedung Mahkamah Agung (MA) Jakarta pada Senin, 22 Juli 2024. Kedatangan perwakilan suku Awyu dan sub suku Moi Sigin ke MA untuk kali kedua ini untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit. Sebelumnya mereka juga mendatangi Gedung Mahkamah Agung Jakarta pada Senin 27 Mei 2024 lalu dan booming melalui tagar #Alleyesonpapua.
Aksi kali ini dihadiri berbagai kalangan, seperti Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Ada pula kelompok anak muda dan organisasi masyarakat sipil diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan lainnya. Mereka mengenakan baju adat dari berbagai daerah, mereka membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.
Rombongan ini berkunjung ke MA dengan dua agenda: menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, serta mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA, yang diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.
Ihwal dukungan, “Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk Suku Awyu dan Moi, yang hari ini (Senin kemarin) akan diserahkan langsung ke MA.” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. "Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadibukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” ujarnya.
Tigor menambahkan, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik itu kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Dari para hakim, mereka mendapat komitmen untuk melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. "Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua,” ujarnya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup antara lain mengatur soal kewenangan pengadilan dalam menangani perkara lingkungan hidup, termasuk sengketa yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, izin lingkungan, dan kerusakan lingkungan. Yang juga diatur adalah penegasan prinsip perlindungan lingkungan, termasuk prinsip keberlanjutan, pencegahan, dan pemulihan lingkungan dan penyelesaian sengketa lingkungan melalui mediasi dan upaya hukum yang dapat diajukan. PMA No. 1/2023 ini, yang menggantikan PMA tahun 2013, dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan jelas bagi para hakim dalam memutuskan perkara lingkungan hidup, termasuk penanganan sengketa lingkungan yang melibatkan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
Suku Moi dan Awyu ke MA lagi. Kali ini menyerahkan petisi dukungan.
Adapun soal kejelasan perkara, menurut Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, hingga sekarang pihaknya belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang didaftarkan ke MA. "Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus Woro.
Gugatan Hendrikus Woro menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro, bagian dari suku Awyu.
Selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.
Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutanadat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutandan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.
Diana Klafiyu, perempuan adat Moi Sigin, berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka.“Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya dalam rilis yang diterima Betahita di Jayapura.
Pemilik siniar (podcast) Sabda Bumi, Kiki Nasution, mengungkapkan alasannya ikut menandatangani petisi untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan subsuku Moi Sigin. Menurut Kiki, generasi muda mesti memperhatikan keterkaitan isu kerusakan lingkungan dengan isu-isu lainnya, seperti ketidakadilan terhadap masyarakat adat.
“Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih: dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan Bumi. Namun setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya. Wilayah adat yang akandiambil dari suku Awyu dan Moi cukup luas, dengan cadangan karbon yang juga besar. Jika kita tidak menghentikannya, dampaknya akan ke mana-mana,” kata Kiki, yang dikenal di media sosial dengan nama akun@kikitube ini.
Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia mengatakan bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Sekar mengatakan, mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat. “Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini. Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua, selanjutnya giliran Mahkamah Agung menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia.